Senin, 29 Juni 2015

Permasalahan Dalam Penyusunan LAKIP

Permasalahan Dalam Penyusunan LAKIP


hasil penilaian/evaluasi AKIP yang kurang memuaskan, bukan semata-mata kesalahan dari proses penyusunan LAKIP, tetapi lebih merupakan kelemahan pelaksanaan sistem AKIP secara keseluruhan. 
Berdasarkan evaluasi terhadap beberapa Laporan Hasil Evaluasi AKIP serta hasil diskusi dengan beberapa instansi pemerintah yang bertugas menyusun LAKIP, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam penyusunan LAKIP, antara lain : 
  • Pelaksanaan manajemen kinerja yang masih berorientasi pada “output” daripada “outcome”; 
  • Kualitas perencanaan kinerja yang belum menggambarkan alur logika program dan kinerja yang logis; 
  • Penetapan kinerja baik kinerja utama maupun kinerja sasaran atau kinerja program yang belum berorientasi hasil (outcome); 
  • Belum optimalnya evaluasi kinerja internal yang dilakukan serta dibahas dalam LAKIP; 
  • Belum dimanfaatkannya LAKIP dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan manajemen kinerja pada periode berikutnya.

Permasalahan 1 : Paradigma “Output” daripada “Outcome”

Sistem secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa orang atau kelompok orang untuk melakukan suatu prosedur yang terkait satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Berdasarkan pengertian tersebut unsur utama sistem adalah unsur manusia pelaksana sistem tersebut. Dalam pelaksanaan sistem penyelenggaraan pemerintahan, masih perlu diakui bahwa unsur aparatur pemerintah merupakan faktor utama sebagai suatu penyebab belum berlangsungnya sistem pemerintahahan. Demikian pula halnya dalam pelaksanaan sistem akuntabilitas, para aparatur baik dalam penyusunan rencana, penyusunan anggaran, pelaksanaan program serta pertanggungjawabannya, masih didominasi oleh orientasi keluaran (ouput) daripada orientsi hasil (outcome). Fokus utama dalam penyelanggaraan manajemen masih berorientasi pada “jenis program atau kegiatan yang akan dilaksanakan” dan belum berorientasi pada : “jenis kebutuhan masyarakat yang diperlukan”. Dalam istilah akuntabilitas, aparatur pemerintah masih berfokus pada “kewajiban untuk bekerja (obligation to do) atau responsibilitas daripada “kewajiban untuk menjawab kebutuhan masyarakat sebagai suatu amanah/ mandat (obligation to answer) atau akuntabilitas.

Kondisi ini terlihat baik dari segi dokumentasi maupun implemenatasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi tersebut di lapangan. Dokumentasi perencanaan kinerja serta penetapan kinerja (indikator kinerja utama) masih merumuskan keluaran (output) sebagai sasaran maupun indikator kinerja, seperti rumusan berikut : 

No
Sasaran Stratejik
Indikator Kinerja Utama
1.
Terlaksana pembangunan rumah susun sewa (rusun sewa)
Terbangunnya rumah susun sewa sebanyak 100 Twin Block
2.
Meningkatnya pengembangan kebijakan dan koordinasi
Jumlah produk perundangan dan pengaturan sebanyak 20 peraturan
3.
Terselenggara peningkatan kuantitas dan kualitas SDM dan tata laksana organisasi
Jumlah kegiatan peningkatan kapasitas SDM aparatur sebanyak 2 kegiatan


Rumusan sasasarn stratejik dan IKU tersebut masih mencerminkan keluaran (output) dan bukannya hasil (outcome). Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 29 tahun 2010 menyatakan bahwa :
Kementerian/Lembaga/PemerintahProvinsi/Kabupaten/Kota melaporkan pencapaian tujuan/sasaran strategis yang bersifat hasil (outcome); Unit kerja organisasi eselon I pada Kementerian/ Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melaporkan pencapaian tujuan/sasaran strategis yang bersifat hasil (outcome) dan atau keluaran (output) penting; unit kerja mandiri lainnya melaporkan pencapaian sasaran strategis yang bersifat keluaran (output) penting dan atau keluaran (output) lainnya”. 
Dalam implementasi program maupun kegiatannya, paradigma keluaran (output) para aparatur terlihat antara lain dari fenomena sebagi berikut:
  • Tidak berkelanjutannya pelaksanaan suatu kegiatan atau program pada periode berikutnya, karena program hanya dirancang secara tahunan, tanpa diikuti dengan program atau kegiatan lanjutan seperti monitoring program atau kegiatan yang telah berlangsung tahun sebelumnya. Selain itu, pada rencana kerja tahun berikutnya terdapat rencana program atau kegiatan baru yang tidak ada kaitannya dengan program atau kegiatan sebelumnya.
  • Tidak tersedianya data capaian hasil (outcome) suatu program atau kegiatan, seperti data tentang jumlah warga miskin yang telah menempati rumah susun (Program Penyediaan Rumah Susun layak huni bagi warga miskin), tidak tersedianya data tingkat capaian kompetensi pengembangan SDM (Program Pengembangan Kompetsni Pegawai)
Paradigma ini mendorong aparatur pemerintah hanya berfokus pada tema “yang penting pekerjaan selesai” atau “yang penting penyerapan anggaran telah terlaksana seratus persen”, dan mengabaikan pada hasil yang mampu memberikan pertanggungjawaban apakah pelaksanaan tugas pokok dan fuungsi tersebut telah memenuhi kebutuhan masyarakat atau tidak.

Permasalahan 2 : Alur Logika Penyusunan Renstra dan Renja

Permasalahan tidak memadainya pelaksanaan sistem AKIP bermula dari awal sistem AKIP itu sendiri yaitu penyusunan rencana stratejik (Renstra). Renstra yang disusun dengan pendekatan “output” berfokus pada selesainya atau tersedianya dokumen renstra atau suatu pemikiran “yang penting renstra telah tersusun” dan mengabaikan faktor kualitas.

Analisis pada beberapa dokumen renstra menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar rentra tidak memiliki alur logika yang jelas, tidak adanya kesinambungan logis antara rumusan visi, misi, tujuan, sasaran dan program, seperti :
  • Rumusan misi tidak teruraikan dalam rumusan tujuan atau sasaran stratejik atau sebaliknya rumusan sasaran stratejik tidak ada kaitan atau hubungan logis dengan rumusan misi.
  • Beberapa sasaran stratejik tidak diuraikan dalam langkah-langkah logis strategi program dan kegiatan ; atau sebaliknya rumusan program dan kegiatan dalam renstra tidak terkait dengan sasaran stratejik.
Rumusan renstra yang tidak menggambarkan hubungan logis antara rumusan visi, misi, tujuan, sasaran dan program stratejik tersebut mengakibatkan dokumen renstra tidak dijadikan acuan dalam penyusunan rencana kerja tahunan serta penganggaran. Kondisi yang sering diketemukan antara lain tidak adanya hubungan antara renstra dengan penyusunan rencana dan anggaran (RKA-KL/RKA SKPD). Akibat selanjutnya, ketika program dan kegiatan dilaksanakan, maka hasil capaian kinerja program dan kegiatan tidak dapat dikaitkan dengan sasaran stratejik dalam Renstra, sehingga menyulitkan dalam penyusunan LAKIP pada tahap pengukuran kinerja serta evaluasi kinerja.

Selain itu, renstra yang kehilangan alur logis tersebut menjadikan visi dan misi instansi pemerintah hanya sebatas dokumen yang tidak mampu mengikat komitmen seluruh aparatur pemerintah di instansi tersebut untuk merealisasikan amanah yang diembannya, sehingga masing-masing bagian organisasi melaksanakan tugas pokok dan fungsi dengan pikiran, bahasa dan tindakan mereka masing-masing. Akibat selanjutnya, ketika LAKIP disusun, maka seluruh data kinerja yang tersedia sulit untuk digabungkan dalam suatu ukuran yang menyatakan capaian kinerja instansi.

Permasalahan 3 : Penetapan Kinerja yang belum berorientasi hasil (outcome)

Dokumen Penetapan Kinerja merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja kesepakatan kinerja/ perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh instansi. Sesuai dengan ketentuan dalam Permenpan 29 tahun 2010 tersebut, bahwa setiap kementerian/ lembaga atau unit kerja eselon I harus melaporkan kinerjanya yang bersifat hasil (outcome) ataupun outcome penting. Dengan kata lain, penetapan kinerja merupakan janji seorang bawahan untuk mewujudkan target kinerja kepada atasan langsungnya.

Sebagai sebuah janji, sudah barang tentu, seseorang ingin merealisasikan target yang lebih mudah dicapai. Dengan demikian, penyusunan penetapan kinerja mempunyai kecenderungan untuk menetapkan target kinerja yang bersifat keluaran (output) daripada target kinerja yang bersifat hasil (outcome). Selain itu, paradigma para aparatur pemerintah sebagaimana diuraikan dalam butir permasalahan 1, memberikan kontribusi bahwa penetapan kinerja yang dituangkan dalam Dokumen Penetapan Kinerja hingga saat ini masih banyak bersifat keluaran (output) dan belum bersifat hasil (outcome). Kondisi ini ditambah lagi dengan ketentuan bahwa penetapan kinerja harus disusun dengan merujuk pada dokumen perencanaan jangka menengah yaitu Rencana Pembangunan Nasional Jangka Mennengah (RPJM); sedangkan target kinerja yang ditetapkan dalamRPJM juga masih lebih bersifat keluaran (output) daripada hasil (outcome). Oleh karena itu, indikator kinerja utama dalam dokumen penetapan kinerja tersebut merupakan kelemahan yang mendapatkan nilai kurang memuaskan dalam evaluasi LAKIP.

Permasalahan 4 : Kualitas Evaluasi Internal

LAKIP merupakan suatu laporan yang menyediakan informasi mengenai keberhasilan atau kegagalan instansi pemerintah dalam mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan visi dan misi instansi pemerintah. Informasi kinerja yang disajikan meluputi tingkat capaian sasaran yang dikuantifikasikan dalam bentuk capaian indikator kinerja utama (IKU), capaian indikator sasaran (IKS) dan capaian indikator kegiatan (IKK). Hal terpenting yang perlu diungkapkan dalam LAKIP, selain kuantifikasi capaian sasaran, adalah akuntabilitas kinerja yang menguraikan latar belakang di balik capaian kinerja yang telah disajikan secara kuantitatif. Informasi tersebut meliputi analisis hambatan dan kendala pencapaian indikator kinerja, analisis faktor kunci keberhasilan, serta analisis keuangan dan kinerja lainnya yang relevan. Analisis inilah yang disajikan dalam LAKIP, khususnya bab III yaitu Akuntabilitas Kinerja, pengukuran dan evaluasi kinerja serta akuntabilitas keuangan. Informasi ini sangat diperlukan oleh manajemen sebagai bahan masukan dalam penyempurnaan pelaksanaan manajemen kinerja pada periode berikutnya.

Sebagian besar kelemahan proses penyusunan LAKIP adalah minimnya informasi analisis capaian kinerja, baik pengungkapan mengenai hambatan dan kendala, serta analisis lainnya. Hal ini antara lain disebabkan :
  • Pengukuran kinerja yang dilaporkan pada umumnya adalah capaian kinerja masukan (input) berupa anggaran serta keluaran (output) yang pada umumnya telah tercapai 100 %. Jika capaian kinerja, dalam hal ini, yang dilaporkan hanya sebatas keluaran (ouput) sebesar 100 %, sudah barang tentu tidak ditemukan hambatan dan kendala capaian kinerja.
  • Minimnya data-data yang terkait dengan informasi kinerja, sehingga tidak memberikan informasi yang cukup bagi penyusun untuk melakukan analisis atas capaian kinerja. Data yang tersedia umumnya hanya data penyerapan anggaran serta realisasi fisik pekerjaan yang bersifat keluaran (output).
  • Tidak tersedianya data kinerja tersebut juga disebabkan karena beberapa kegiatan yang dilaksanakan tidak berkesinambungan dengan kegiatan lanjutan tahun berikutnya, sehingga setelah satu jenis kegiatan terlaksananya tidak lagi dilakukan aktivitas minitoring untuk memantau capaian kinerja yang bersifat hasil (outcome). Dengan demikian, setiap tahun dengan berakhirnya tahun anggaran, hanya diperoleh data capaian kinerja yang bersifat keluaran (output)
  • Kompetensi tim penyusun LAKIP yang kurang memadai untuk mengumpulkan, membaca dan menganalisis data-data kinerja serta latar belakang data tersebut. Tim penyusun, pada umumnya hanya melakukan penggabungan dari laporan capaian kinerja dari unit kerja di bawahnya, tanpa melakukan analisis yang mendalam atas data-data capaian kinerja dari unit kerja di bawahnya.

Permasalahan 5 : Pemanfaatan LAKIP dalam Perbaikan Manajemen Kinerja

Konsepsi akuntabilitas menuntut setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah tidak sekedar berorientasi output, melainkan berorientasi outcome. Hal ini menuntut manajemen instansi pemerintah berfikir tidak sekedar ”yang penting LAKIP tersusun” melainkan fokus pemikiran mengarah pada”apakah LAKIP bisa memberikan masukan perbaikan untuk perbaikan manajemen kinerja periode berikutnya?”. Kondisi inilah yang juga merupakan salah satu unsur yang menyebabkan skor hasil penilaian evaluasi LAKIP menjadi rendah, karena LAKIP tidak dimanfaatkan oleh manajemen untuk perbaikan manajemen kinerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar