Senin, 09 November 2015

Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dan Badan

Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dan Badan



Berdasarkan UU KUP NOMOR 28 TAHUN 2007 Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam pengertian tersebut ada beberapa komponen yang WAJIB Anda tahu yaitu:
1.      Pajak adalah Kontribusi Wajib Warga Negara
2.      Pajak bersifat MEMAKSA untuk setiap warga negara
3.      Dengan membayar pajak, Anda tidak akan mendapat imbalan langsung 
4.      berdasarkan Undang-Undang


Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007  tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) 2007  pengertian pajak penghasilan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut Wajib Pajak (WP). WP dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kapada surat ketetapan pajak.
Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya. Pajak Penghasilan termasuk salah satu jenis pajak subjektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final.

Filosofi PPh
Definisi penghasilan menurut UU PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah objek pajak. Atas dasar penyederhanaan, keadilan dan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak maka atas beberapa hal diberlakukan pajak final, diantaranya ialah pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. PPh atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan bersifat final dimaksudkan agar:
1.      Proses administrasi menjadi lebih sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas,
2.      Untuk keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh,
3.      Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena PPh ini memiliki tarif tunggal yaitu sebesar 5% (lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat.
Dengan semakin meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk melakukan pengujian data, maka diharapkan akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

DASAR HUKUM

1.    Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
2.    Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

JENIS-JENIS SUBJEK PAJAK PENGHASILAN
1. Subjek Pajak Orang Pribadi
a. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (SPOPDN) yaitu :
·      Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau
·      Orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia
b. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri ( SPOPLN) adalah :
·      Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari  183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
·       Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari  183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.








Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri
No.
Perbedaan
SPOPDN
SPOPLN
1.
Berada
di Indonesia
Bertempat tinggal diIndonesia, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
Tidak bertempat tinggal diIndonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
2.
Penghasilan yang dikenakan pajak
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesiadan dari luar Indonesia
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di Indonesia
3.
Tarif pajak
Berdasarkan penghasilan neto dengan tariff umum (Tarif Umum PPh Pasal 17)
Berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadaan (Tarif PPh Pasal 26 atau sesuai Tax Treaty)
4.
Penyampaian SPT
Wajib menyampaikan SPT PPh, untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak
Tidak wajib menyampaikan SPT PPh, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final (PPh Pasal 26)

2. Subjek Pajak Warisan
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak:
  •  Subjek Pajak warisan dapat menggantikan pemenuhan kewajiban pajak dan penunjukkan yang mewariskan (Almarhum).
  • Apabila warisan telah terbagi kepada ahli waris, maka kewajiban pajak Almarhum harus diselesaikan oleh ahli warisnya tersebut.

3. Subjek Pajak Badan
·           Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
·      Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
1.      Tempat kedudukan manajemen;
2.       Cabang perusahaan;
3.       Kantor perwakilan;
4.       Gedung kantor;
5.       Pabrik;
6.       Bengkel;
7.       Gudang;
8.       Ruang untuk promosi dan penjualan;
9.       Pertambangan dan penggalian sumber alam;
10.   Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11.   Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
12.   Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13.   Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
14.   Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15.   Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;
16.   Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas pengasilan baik yang berasal dari usaha atau kegiatan maupun yang berasal dari harta yang dimiliki atau yang dikuasainya. Dengan demikian semua pengasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.

OBYEK PAJAK PENGHASILAN
Objek Pajak penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Yang termasuk Objek Pajak penghasilan adalah
1.         penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.  
2.         Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
3.         Laba usaha
4.         Kuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
5.         Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6.         Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengermbalian utang.
7.         Deviden dengan nama dan bentuk apapun.
8.         Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
9.         Sewa dan pengasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10.     Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11.     Keuntunggan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
12.     Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13.     Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14.     Premi asuransi
15.     Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
16.     Tambahan kekayan neto yang berasal dari pengasilan yang belum dikenakan pajak.
17.     Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
18.     Imbalan bunga sebagaimana dimaksud Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara perpajakan .
19.     Surplus Bank Indonesia.

Objek PPh bersifat final:
1.      penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,  bunga  obligasi  dan  surat  utang negara, dan  bunga  simpanan  yang  dibayarkan  oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2.      penghasilan berupa hadiah undian;
3.      penghasilan  dari  transaksi  saham  dan  sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa,  dan  transaksi  penjualan  saham  atau pengalihan  penyertaan  modal  pada  perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4.      penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5.      penghasilan tertentu lainnya, yang  diatur  dengan  atau  berdasarkan  Peraturan Pemerintah.
  

Dikecualikan dari objek pajak
1.      (a) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima  oleh  badan  amil  zakat  atau  lembaga amil  zakat  yang  dibentuk  atau  disahkan  oleh pemerintah  dan  yang  diterima  oleh  penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah  dan  yang  diterima  oleh  penerima sumbangan  yang  berhak,  yang  ketentuannya diatur  dengan  atau  berdasarkan  Peraturan Pemerintah; dan (b)  harta  hibahan  yang  diterima  oleh  keluarga sedarah  dalam  garis  keturunan  lurus  satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan  kecil,  yang  ketentuannya  diatur  dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang  tidak  ada  hubungan  dengan  usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2.      warisan;
3.      harta  termasuk  setoran  tunai  yang  diterima  oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat  (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4.      penggantian  atau  imbalan  sehubungan  dengan pekerjaan  atau  jasa  yang  diterima  atau  diperoleh dalam  bentuk  natura  dan/atau  kenikmatan  dari Wajib  Pajak  atau  Pemerintah,  kecuali  yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma  penghitungan  khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
5.      pembayaran  dari  perusahaan  asuransi  kepada orang  pribadi  sehubungan  dengan  asuransi kesehatan,  asuransi  kecelakaan,  asuransi  jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
6.      dividen  atau  bagian  laba  yang  diterima  atau diperoleh  perseroan  terbatas  sebagai  Wajib  Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau  badan  usaha  milik  daerah,  dari  penyertaan modal  pada  badan  usaha  yang  didirikan  dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: (a) dividen  berasal  dari  cadangan  laba  yang ditahan; dan (b) bagi  perseroan  terbatas,  badan  usaha  milik negara  dan  badan  usaha  milik  daerah  yang menerima  dividen,  kepemilikan  saham  pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
7.      iuran  yang  diterima  atau  diperoleh  dana  pensiun yang  pendiriannya  telah  disahkan  Menteri Keuangan,  baik  yang  dibayar  oleh  pemberi  kerja maupun pegawai;
8.      penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun  sebagaimana  dimaksud  pada  huruf  g, dalam  bidang-bidang  tertentu  yang  ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9.      bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari  perseroan  komanditer  yang  modalnya  tidak terbagi  atas  saham-saham,  persekutuan, perkumpulan,  firma,  dan  kongsi,  termasuk pemegang  unit  penyertaan  kontrak  investasi kolektif;
10.  penghasilan  yang  diterima  atau  diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan  pasangan  usaha  yang  didirikan  dan menjalankan  usaha  atau  kegiatan  di  Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
11.  merupakan  perusahaan  mikro,  kecil, menengah,  atau  yang  menjalankan  kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau  berdasarkan  Peraturan  Menteri Keuangan; dan
12.  sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
13.  beasiswa  yang  memenuhi  persyaratan  tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
14.  sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga  nirlaba  yang  bergerak  dalam  bidang pendidikan  dan/atau  bidang  penelitian  dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang  membidanginya,  yang  ditanamkan  kembali dalam  bentuk  sarana  dan  prasarana  kegiatan pendidikan  dan/atau  penelitian  dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)  tahun  sejak  diperolehnya  sisa  lebih tersebut,  yang  ketentuannya  diatur  lebih  lanjut dengan  atau  berdasarkan  Peraturan  Menteri Keuangan; dan
15.  bantuan  atau  santunan  yang  dibayarkan  oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak  tertentu,  yang  ketentuannya  diatur  lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam konteks orang pribadi, penghasilan dapat berasal kegiatan usaha, pekerjaan bebas ataupun penghasilan-penghasilan lainnya.
Dalam hal orang pribadi menjalankan kegiatan usaha dan melaksanakan pembukuan, penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan peredaran usaha dengan harga pokok penjualan dan biaya usaha. Penghasilan neto dari kegiatan usaha selanjutnya akan dilakukan beberapa penyesuaian fiskal baik positif maupun negatif. Penyesuaian ini adalah penyesuaian penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, yang dapat bersifat menambah maupun mengurangi penghasilan kena pajak.
Dalam hal wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun peredaran usahanya atau peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan bebas seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan, konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan penghasilan brutonya dan Pajak Penghasilannya. 

Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan
Penghasilan Pajak dapat juga yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari yang berhubungan dengan pekerjaan yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain. Dalam hal ini penghitungan pajak akan mengacu pada ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 21. Penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan pajaknya akan dipotong oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan.

Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
Selain berbagai penghasilan yang telah disebutkan diatas, Wajib pajak juga wajib melaporkan penghasilan dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta, dan penghasilan lain-lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri, istri, dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak bersangkutan.

1.        Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi
            PPh Orang Pribadi diperhitungkan berdasarkan jumlah penghasilan yang diterima oleh WP dalam setahun (12 bulan) setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hasil pengurangan ini merupakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan tarif progresif.
Mulai 1 Januari 2013 PTKP telah diubah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berikut PTKP yang berlaku sejak 1 Januari 2013 adalah:
1.    Rp 24.300.000,- untuk diri WPOP
2.    Rp 2.025.000,- tambahan untuk WP yang Kawin
3.    Rp 24.300.000,- tambahan untuk isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
4.    Rp 2.025.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Dengan demikian maka status dan PTKP pada 1 Januari 2013 menjadi:
1.  TK/0           = Rp 24.300.000,-
2.  K/0             = Rp 26.325.000,-
3.  K/1             = Rp 28.350.000,-
4.  K/2             = Rp 30.375.000,-
5.  K/3             = Rp 32.400.000,-
dan perhitungan penghasilan neto gabungan harta pisah, maka:
1.  K/I/0           = Rp 50.625.000,-
2.  K/I/1           = Rp 52.650.000,-
3.  K/I/2           = Rp 54.675.000,-
4.  K/I/3           = Rp 56.700.000,-
sedangkan untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak pada tahun 2013 masih tetap dan tidak ada perubahan, yaitu tarif PPh 21 berdasarkan pasal 17 UU PPh atas PKP huruf B angka 8:
1.    0 s.d 50 Juta                    = 5%
2.    50 Juta s.d 250 Juta        = 15%
3.    250 Juta s.d 500 Juta      = 25%
4.    Diatas 500 Juta               = 30%

2.        Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Pada dasarnya, tarif PPh Badan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menganut tarif tunggal yaitu sebesar 28% pada tahun 2009 atau 25% pada tahun 2010 dan seterusnya.
Namun demikian, ternyata tarif PPh Badan juga harus memperhitungkan fasilitas pengurangan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 31E Undang-undang tersebut. Adanya batasan peredaran usaha bagi WP badan yang berhak mendapatkan pengurangan tarif ini membuat tarif PPh Badan menjadi tidak sederhana. Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17 ayat (2a) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyederhanakannya dengan memperkenalkan tarif tunggal yaitu 28% tahun pajak 2009 atau 25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya.
Berikut adalah perubahannya:
Tarif UU Nomor 17 Tahun 2000
Tarif UU Nomor 36 Tahun 2008
Lapisan PKP
Tarif
Lapisan PKP
Tarif
 s.d Rp 50 Juta
10%

Berapapun nilai PKP
28% (2009)
25% ( 2010 dst)
di atas Rp 50 Juta s.d Rp 100 Juta
15%
di atas Rp 100 Juta
30%



3.    Tarif Pasal 31E
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 ini juga memberikan fasilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17 ayat (2b) berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal. Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00,  WP tersebut diberikan fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a).
Dengan demikian, WP yang berhak atas fasilitas pengurangan tarif ini adalah WP badan dalam negeri yang peredaran brutonya tidak lebih dari Rp 50 milyar. Jadi, selain WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto kurang dari Rp 50 milyar tidak berhak atas pengurangan tarif ini, misalnya WP orang pribadi dalam negeri ataupun WP luar negeri. Begitu juga, WP badan dalam negeri yang peredaran brutonya lebih dari Rp 50 Milyar juga tidak mendapatkan fasilitas ini.
Terkait Pasal 31E ayat (1), penerapan pengurangan tarif sebesar 50% ini pun dibatasi yaitu hanya atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00.
Hal ini berarti bahwa untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) atas bagian peredaran bruto di atas Rp 4,8 milyar sampai dengan Rp 50 milyar, tetap dikenakan tarif normal 28% (tahun pajak 2009) atau 25% (tahun pajak berikutnya).

REFERENSI
1.      Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2.      Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
3.      Mardiasmo. 2011 Perpajakan Edisi Revisi, Yogyakarta : Andi
6.      http://www.pajak.go.id/content/pajak-penghasilan-orang-pribadi-untuk-keadilan

5 komentar:

  1. min, ini bisa diperbarui nggakk? ehehe, makasiii

    BalasHapus
  2. mr pedro dan perusahaan pinjamannya benar-benar hebat untuk diajak bekerja sama. dia sangat jelas, teliti dan sabar saat dia membimbing saya dan istri saya melalui proses pinjaman. dia juga sangat tepat waktu dan bekerja keras untuk memastikan semuanya siap sebelum menutup pinjaman. mr pedro adalah petugas pinjaman bekerja dengan sekelompok investor yang membantu kami mendapatkan dana untuk membeli rumah baru kami, Anda dapat menghubungi dia jika Anda ingin mendapatkan pinjaman dengan tingkat rendah yang terjangkau 2 rio email dia di . pedroloanss@gmail.com atau chat whatsapp: + 1-863-231-0632

    BalasHapus