Minggu, 29 November 2015

Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD

Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD

Dalam bulan-bulan ini, pemerintah daerah (Pemda) disibukkan oleh penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ada fenomena menarik terkait proses penyusunan APBD tersebut.
Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang dari tahun ke tahun seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan berpotensi merugikan masyarakat, maka seharusnya menjadi perhatian bersama, terutama bagi Pemda.

Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah:

  1. APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefesiensi dan praktik koruptif. 
  2. desain APBN/APBD hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi (anggaran), tetapi APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis untuk mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi.
  3. asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasawrkan kepada tujuan sempit tetapi mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan. 
  4. besaran anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan nasional. Buktinya, alokasi anggaran ke sektor pertanian dan industri tergolong kecil padahal sebagian tenaga kerja berada di sektor tersebut. 
  5. amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2 persen.
  6. penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara seperti yang terus berulang selama ini.
2 (dua) hal yang perlu dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat;
  1. berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat publik daerah yang merasa terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran, karena hal tersebut secara tidak langsung akan mengurangi otoritas yang selama ini mereka nikmati. 
  2. persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada, bahwa masing-masing pihak dan lembaga memilki batas kewenangan serta prosedurnya sendiri. Kedua kendala inilah yang menyebabkan alokasi anggaran dalam APBD seringkali tidak mencerminkan keberpihakan kepada publik. Selama ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai alasan belum mampunya peemrintah daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas memadai adalah keterbatasan dana, sehingga APBD lebih terfokus pada optimalisasi penggalian PAD.
Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah :
  1. waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.

  2. Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya juga molor.
    keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota terlambat juga menyerahkan RAPBD  ke Pemprov untuk dievaluasi.
    Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus tertunda menunggu selesainya penetapan APBD.
    Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan dipotong 25% oleh pemerintah pusat.
    Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang kurang masuk akal.
    Logikanya,
    bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD?
    APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan. Selama APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa?
    Secara de-jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD itu bisa dikatakan lemah.
    Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota DPRD. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat terbit, sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD.

  3. Persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.

  4. Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu menutup besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut “direkayasa” sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah dana perimbangan atau dana kontingensi.
    Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma “besar pasak daripada tiang” dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah berasal dari DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
    Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang terhambat.

  5. Minimnya semangat efisiensi. Berhubungan dengan persoalan defisit anggaran, pemerintahan yang terlalu boros akan cenderung menciptakan defisit.

  6. Di Permendagri No 25/2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 juga telah disebutkan guna mencapai sasaran pembangunan, dalam penyusunan program dan kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi.
    Perjalanan dinas dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan secara transparan dan akuntabel. Bahkan ditentukan pula pembatasan penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan lokakarya.
    Namun, kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, tidak sedikit daerah yang justru melakukan pembahasan RAPBD-nya di luar daerah.
    Mungkin anggaran yang dibutuhkan untuk membiayainya relatif kecil dibanding angka-angka yang dibahas, tapi bagaimana dengan semangat efisiensinya? Kurangnya sense of crisis Pemda juga terlihat dari tidak pekanya mereka atas kondisi masyarakat dan kondisi keuangan daerah. Sungguh ironis, meskipun masih banyak masyarakat yang terhimpit kesusahan ekonomi dan kondisi keuangan daerah yang terbatas, di beberapa daerah justru berencana memborong mobil dinas hingga miliaran rupiah.
    Daerah semestinya memahami dan menempatkan prioritas pengalokasian anggarannya dengan tepat. Sebagaimana arahan Permendagri No 25/2009, masalah dan tantangan utama yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2010. Di antaranya adalah upaya untuk menanggulangi kemiskinan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas kesehatan.
    Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan berkesinambungan perlu mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja daerah.

  7. Kurang berpihaknya anggaran pemerintah kepada publik. 

  8. Hampir semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna memenuhi belanja pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan, honor dan uang lembur.
    Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan semakin memperbesar kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik. Kebanyakan daerah lebih dari 75% anggarannya digunakan dalam rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas.
    Seberapa jauh anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari bagaimana pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; diselenggarakan pemerintah.

Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling tidak dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku (legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).

APBD sering TERLAMBAT

Ada beberapa kemungkinan mengapa dapat terjadi keterlambatan Pemda dalam menyelesaikan APBD, yakni:
  1. proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Forum yang semestinya bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik) kurang mendapat perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap penganggaran. Mudah dipahami, sebab pada tahap penganggaran-lah perhitungan biaya (uang) mulai terbahas. Akibatnya rencana kegiatan yang telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya transaksi politik.
  2. keterlambatan penyusunan RAPBD sehingga terlambat diserahkan Kepala Daerah kepada DPRD. Keterlambatan ini bisa disebabkan karena masalah teknis manajerial, rendahnya kompetensi birokrasi, atau tidak sinkronnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sebagai pedoman.
  3. DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya hampir sama dengan apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah teknis manajerial dan rendahnya kompetensi anggota DPRD. Di samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD terlalu jauh sampai jenis kegiatan, besaran anggaran, dan lokasi program.
  4. terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota DPRD yang menghendaki kepentingan politiknya (dan juga kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada Pemda untuk dimasukkan dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut sebenarnya belum urgen untuk direalisasikan. Pemda akhirnya menghadapi dilema. Jika  menolak maka terjadilah ketegangan yang mengakibatkan pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian rakyat lain.
  5. keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui Bupati/Walikota bersama DPRD, sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.

Masihkah upaya perbaikan kualitas perencanaan APBD bernilai strategis? 

Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan APBD, masih merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.

Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.

Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut:
  1. Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi.
  2. Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan yang sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah.
  3. Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah.
  4. Bila usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya.
  5. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran.
  6. Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.
  7. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD.
  8. Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
  9. Relevansi Program / Kegiatan: kurang responsif dengan permasalahan dan / atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi.
  10. Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya. Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.
  11. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan penggunaan dana.
  12. Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja.
    Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.
  13. Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah.
  14. Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran (output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu, Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih tetap belum jelas.
  15. Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat.
  16. Bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawaban pertanyaan ini sangat tergantung konteks, potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini, inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.
disamping hal-hal diatas, ada juga yang berpendapat bahwa permasalahan penyusunan APBD bersumber pada:
  • Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat
  • dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
    Beberapa faktor-faktor intervensi hak budget DPRD yang dapat menjadi penghambat dalam penyusunan APBD, adalah:
    1. Usulan dari DPRD yang terkadang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
    2. Unsur politis dalam rangka mewujudkan kepentingan tertentu
    3. Motif pada saat pelaksanaan proyek di lapangan dalam rangka mencari keuntungan pribadi
    4. Adanya istilah “sinterklas”(bagi-bagi proyek) kepada oknum anggota DPRD atau pejabat daerah

  • Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika
  • Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim. ------- Perencanaan pembangunan di bidang apapun sebagian besar masih didominasi oleh berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD, program dan kegiatan SKPD itu sendiri bahkan kepentingan dari elemen – elemen masyarakat. Hal ini telah banyak terlihat buktinya di lapangan, bahwa apa yang sudah di buat perencanaannya sesuai matrix dan usulan yang berasal dari masayarakat (bottom up) dengan sebelumnya telah melalui proses penyusunan usulan program dan kegiatan di tingkat kelurahan dan kecamatan misalnya ternyata realisasinya sangatlah minim. Kondisi ini membuat pelaksanaan musrenbang menjadi acara rutinitas dan formalitas belaka sehingga menjadi kurang diminati oleh pihak-pihak yang selayaknya mengikuti kegiatan tersebut.
  • Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran
  • Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
  • Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu
  • Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
  • Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match)
  • Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
  • Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal
  • Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
  • Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan 
  • dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
  • Adanya intervensi pada saat proses penyusunan perencanaan
  • Perencanaan suatu kegiatan terutama yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan di semua sektor dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya diawali dengan perencanaan yang didasari oleh pedoman – pedoman yang ada termasuk rencana strategis yang telah disusun dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan tanpa mengesampingkan isu-isu strategis yang ada selama masih berkaitan dan mempunyai output yang jelas. Akan sangat selaras ketika semua bisa mengacu pada pedoman yang ada dan akan sangat mudah nantinya dalam proses monitoring dan evaluasi. Namun jika perencanaan keluar dari pedoman-pedoman strategis yang telah ditetapkan maka daerah akan menemui kesulitan dalam menyusun perencanaan program dan kegiatan satu tahun ke depan.
  • Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah 
  • sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
  • SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai 
  • Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
  • SDM Evaluasi Anggaran pada Pemerintah Provinsi.
  • APBD Kabupaten/ Kota wajib dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Pelaksanaan evaluasi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan dan kompetensi SDM pada Pemerintah Provinsi yang terlibat saat melakukan evaluasi anggaran. Hal ini membuat proses penganggaran menjadi tidak efektif dan efisien. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
  • Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas.
  • Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
  • Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan cukup rumit
  • (misal Permendagri 66 tahun 2007), complicated dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
  • Faktor Team Work dan Komitmen.
  • Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain. Hal ini harus dilakukan karena penganggaran merupakan media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan yang baik, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas. Saat penyusunan perencanaan, pimpinan terkadang hanya melibatkan segelintir pegawai saja, sementara perencanaan program dan kegiatan adalah atas nama organisasi, sehingga akan lebih baik apabila keseluruhan proses penganggaran mulai dari awal perencanaan sampai pada kegiatan monitoring dan evaluasi terakhir melibatkan seluruh pegawai sebagai team work dalam rangka mencapai tujuan akhir yang akan dicapai oleh organisasi. Selain itu, pada penyusunan APBD, pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Adanya komitmen memberikan gambaran bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan motivasi dan kemauan bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan penyusunan APBD yang lebih baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Dalam praktek penerapan P3MD,
  • pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan formal tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-sungguh dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah.

Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan buruk rupa manajemen keuangan daerah saat ini

Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.

Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada, bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.

Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.

Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.

Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).

Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah TIDAK EFEKTIFnya PERAN INSPEKTORAT (dulu bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.

Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan kapasitas kerja.

Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis.
  1. menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas eksternal (BPK, KPK, dll). 
  2. sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input), pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung untuk menghindari kerusakan masif. 

Upaya Mengatasi Masalah tersebut

Beberapa terobosan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam penyusunan APBD, yakni:
  1. perlu dilakukan inovasi-inovasi dalam proses perencanaan partisipatif sedemikian rupa sehingga aspirasi-aspirasi politik diyakini benar-benar terserap dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian, pembahasan rancangan APBD dapat lebih terfokus pada besaran dana yang seharusnya dialokasikan dan tidak lagi terlalu terbebani dengan transaksi-transaksi politik.
  2. perlu dikembangkan strategi berupa dialog ataupun sosialisasi mengenai perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Tujuan utama dilakukannya langkah ini adalah untuk mengubah paradigma tradisional yang berfokus pada penganggaran uang menjadi paradigma yang berbasis kinerja yang menitikberatkan pada perencanaan kegiatan yang menjawab akar permasalahan di masyarakat.
  3. perlu penguatan kapasitas dan komitmen, baik bagi kalangan Pemda maupun DPRD. Pada umumnya Pemda yang mengalami keterlambatan APBD adalah daerah tertinggal, sehingga perlu fasilitasi dan pengawasan lebih intensif dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat. Namun sebenarnya yang utama adalah komitmen, dan justru inilah yang paling sulit. Proses politik berbiaya tinggi barangkali menjadi akar masalah kenapa seringkali anggota dewan (begitu pula Kepala Daerah) bernafsu besar ingin menguasai anggaran.
  4. pemberian sanksi sesuai aturan mesti tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih spesifik. Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20 Maret. Bagi yang terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen per bulan. atau Sanksi penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan pembayaran tunjangan pejabat pemerintah dan anggota DPRD.
disamping itu, upaya meminimalkan permasalahan atau setidaknya mengeliminasi polemik/konflik kepentingan antara pemerintah dan DPRD dalam penyusunan APBD, menurut penulis terdapat sejumlah alternatif solusi yang dapat dilakukan;
  1. proses politik dalam penyusunan APBD jangan hanya menjadi arena interkasi antara DPRD dan pemerintah, tapi juga sebagai arena publik dimana ada transparansi dan akses bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi, dan mengkritisi proses tersebut. 
  2. para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD (DPRD dan pemerintah daerah) harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan dan memprioritaskan proposal anggaran. 
  3. sebagai konsekuensi dari hak budget yang dimiliki DPRD maka anggota DPRD harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pokok siklus anggaran, yang meliputi tahap persiapan dan penyusunan anggaran, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan evaluasi. 
  4. selain memhami proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar biaya agar dapat memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu kegiatan. Melalui penerapan standar ini, praktik-praktik manipulasi atau mark-up angaran dapat diminimalkan. 
  5. perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil misalnya dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Selain itu juga perlu ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka.

Gambaran SANKSI TERLAMBAT MENETAPKAN APBD

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,
dalam ketentuan Pasal 311 ayat:
  1. Kepala daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan untuk memperoleh persetujuan bersama. 
  2. Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrative berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur dalam ketentuan Perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
Sedangkan pada ketentuan Pasal 312, dalam ayat
  1. Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. 
  2. DPRD dan Kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan. 
  3. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh Kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Sanksi sebelumnya, diatur oleh PMK No.04/PMK.07/2011 Tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah (IKD).
Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa
IKD yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah mencakup:
  • APBD;
  • Perubahan APBD;
  • Laporan Realisasi APBD Semester I;
  • Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, terdiri dari:
    1. Realisasi APBD;
    2. Neraca;
    3. Laporan Arus Kas; dan
    4. Catatan atas Laporan Keuangan;
  • Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;
  • Laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan
  • Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah.
Pasal 9;
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan IKD dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri
kemudian dalam Pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa
Sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan sebesar 25% dari jumlah DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran berjalan.

Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.
demikian  Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD ini yang disadur dari berbagai sumber.

6 komentar:

  1. Hal yang menarik yang perlu dicermati adalah perilaku intervensi pada saat perencanaan dan penyusunan anggaran. Kecenderungan ini menurut Wildavsky dan Caiden (2004) diantaranya karena kurangnya kontrol, niat pihak-pihak terkait, pertarungan antara elit politik, keterbatasan anggaran dari kebutuhan, dan persoalan prinsip atau nilai-nilai. Oleh sebab itu, mekanisme proses penganggaran dirancang sedemikian rupa untuk menghindari tindakan inkonstitusional dan selanjutnya dapat berimplikasi dalam merangsang bertumbuhnya sektor ekonomi, melawan pengangguran, dan atau menekan inflasi.

    BalasHapus
  2. terimakasih izin referensi buat persentasi pagi ini..

    BalasHapus
  3. Kapai ketudu kasih jawaban yang salah

    BalasHapus
  4. kesaksian nyata dan kabar baik !!!

    Nama saya mohammad, saya baru saja menerima pinjaman saya dan telah dipindahkan ke rekening bank saya, beberapa hari yang lalu saya melamar ke Perusahaan Pinjaman Dangote melalui Lady Jane (Ladyjanealice@gmail.com), saya bertanya kepada Lady jane tentang persyaratan Dangote Loan Perusahaan dan wanita jane mengatakan kepada saya bahwa jika saya memiliki semua persyarataan bahwa pinjaman saya akan ditransfer kepada saya tanpa penundaan

    Dan percayalah sekarang karena pinjaman rp11milyar saya dengan tingkat bunga 2% untuk bisnis Tambang Batubara saya baru saja disetujui dan dipindahkan ke akun saya, ini adalah mimpi yang akan datang, saya berjanji kepada Lady jane bahwa saya akan mengatakan kepada dunia apakah ini benar? dan saya akan memberitahu dunia sekarang karena ini benar

    Anda tidak perlu membayar biayaa pendaftaran, biaya lisensi, mematuhi Perusahaan Pinjaman Dangote dan Anda akan mendapatkan pinjaman Anda

    untuk lebih jelasnya hubungi saya via email: mahammadismali234@gmail.comdan hubungi Dangote Loan Company untuk pinjaman Anda sekarang melalui email Dangotegrouploandepartment@gmail.com

    BalasHapus
  5. widya Tarmuji, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan baik Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan beberapa daSaya ri kata-kata itu, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi, Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman curang di internet, tetapi mereka sangat asli di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban 6 kreditor pemberi pinjaman, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka.

    Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya, kemudian memperkena
    Jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan baik Tuhan melalui TRACYMORGANLOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinyalkan saya ke sebuWah perusahaan pinjaman yang kredibel, TRACYMORGANLOANFIRM. Saya mendapat pinjaman Rp. 800.000.000 dari TRACYMORGANLOANFIRM dengan tingkat rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman, Anda dapat menghubungi MRS melalui email: (TRACYMORGANLOANFIRM@gmail.com)

    Jika Anda memerlukan bantuan dalam proses pinjaman, Anda juga dapat menghubungi saya melalui email: (widyatarmuji@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka, Tn. Tonimark, email: (Tonimark28@gmail.com). Apa yang saya lakukan adalah memastikan bahwa saya tidak pernah dipenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sebagaimana disepakati dengan perusahaan pinjaman. 

    BalasHapus
  6. mr pedro dan perusahaan pinjamannya benar-benar hebat untuk diajak bekerja sama. dia sangat jelas, teliti dan sabar saat dia membimbing saya dan istri saya melalui proses pinjaman. dia juga sangat tepat waktu dan bekerja keras untuk memastikan semuanya siap sebelum menutup pinjaman. mr pedro adalah petugas pinjaman bekerja dengan sekelompok investor yang membantu kami mendapatkan dana untuk membeli rumah baru kami, Anda dapat menghubungi dia jika Anda ingin mendapatkan pinjaman dengan tingkat rendah yang terjangkau 2 rio email dia di . pedroloanss@gmail.com atau chat whatsapp: + 1-863-231-0632

    BalasHapus