Selasa, 28 April 2015

Filsafat menurut Descrates (1596-1650)

Filsafat menurut Rene Descrates (1596-1650)

Rene Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. bukunya di caurs deia methode ( 1537) dan meditations ( 1642) kedua buku ini saling melengkapisatu sama lain. Didalam kedua buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode ini juga sering disebut cogito Descartes, atau metode catigo saja.

Ia mengatahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokooh-tokoh gereja. Bahwa dasar filsafat vharuslah rasio (akal) untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun orgumentasi yang sangat terkenal.

Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu segala sesuatu yang dapat diragukan. Didalam mimpi seolah olah seorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (juga) begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi.

Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi dan kejadian dengan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita juga, itu tidak ada. Akan tetapi benda-benda itu sunguh-sunguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi. Hausinasi. Ilusi dan roh halus


Filsafat Descrates

Sumbangan Descrates yang menonjol dalam bidang psikologi ialah ingin memecahkan persoalan tentang hubungan antara psikis atau jiwa (mind) dan badan (mind-body problem). Menurut Descrates psikis merupakan dunia mental dan badan atau jasmaniah merupakan dunia material (material world), dua hal yang memiliki sifat-sifat yang berbeda.

Teori sebelum Descrates menyatakan bahwa hubungannya searah, yaitu bahwa psikis berpengaruh pada badan, tetapi badan tidak berpengaruh pada psikis. Tetapi menurut Descrates, psikis dapat mempengaruhi badan dan badan juga dapat mempengaruhi psikis.jadi memiliki hubungan dua arah, mutual interaction.

Menurut Descrates psikis itu mempunyai satu fungsi, yaitu berfikir, sedangkan proses yang lain adalah fungsi dari badan. Descrates adalah seorang rasionalis, oleh sebab itu pandangannya sangan menitik beratkan pada segi ratio. Karena itu pula metode yang semula bersifat spekulatif berubah ke observasi secara objektif.

Setelah Descrates, perkembangan ilmu pada umumnya khususnya psikologi mengalami perkembangan yang cepat. Segala sesuatu yang berdasarkan spekulasi atau metafisis tidak dapat diterimanya. Di samping aliran empirisme, timbul juga pandangan yang materialistis, yang berpandangan semua hal itu dapat dijabarkan secara fisik. Mereka berpendapat bahwa kesadaran dapat juga dijelaskan dalam istilah fisika dan kimia. Proses mental difokuskan pada aspek fisik, yaitu secara anatomis dan struktur fisiologis dari otak. Namun demikian dari kedua pandangan tersebut, empirislah yang sangat jauh berkembang apabila dibandingkan dengan yang lainnya.

Skeptisisme

Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

Dalam penggunaan sehari-hari skeptis-isme bisa berarti:
  1. suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek tertentu;
  2. doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau
  3. metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (Merriam-Webster).

Dalam filsafat, skeptis-isme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
  1. sebuah pertanyaan,
  2. metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
  3. kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral,
  4. keterbatasan pengetahuan,
  5. metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.

Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptis-isme macam itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaitu: cogito atau subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D.Hume kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.

Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran mengenai "Skeptikoi". Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka "tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott). Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933, 21

RENE DESCARTES DAN RASIO MODERN

Kata modern berasal dari bahasa latin moderna, secara terminologis dapat diartikan; sekarang, baru, saat ini. Maksudnya kita selalu berada dalam periode modern sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Melanjutkan arti harfiahnya, bahwa modern tidak lain adalah kesadaran itu sendiri. Konseptualisasi kesadaran ini dapat diketahui dengan jelas dari bapak Rasionalisme, Rene Descartes. Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas. Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Semua akar dari metode filsafat Descartes berasal dari pernyataan yang terkenal seperti yang dikatakan oleh Tom Sorrel;
“Descartes' key to the overall deduction will be certain axioms which will serve as a premise and are beyond doubt. And his claim that this axiom is famous Cogito ergo sum "I think then I exist[3]”.

Konsep yang sekaligus menjadi manifestonya, yaitu Cogito Ergo Sum, bahwa melalui potensi rasio murni (pure reason) subyek dapat menyadari kesanksiannya terhadap kebenaran yang diidapnya. Sehingga menurut Descartes, manusia bisa berjarak dengan jamannya dan bisa merefleksikan kesadarannya sendiri, dengan kata lain tidak larut terhadap kesadaran jaman. Dengan rasio murni ini pula Descartes mampu melakukan perlawanan terhadap dogmatika gereja sekaligus memberikan perlawanan yang sengit terhadap mewabahnya filsafat aristotelian dijamannya.

Inti metode Descartes adalah ragu-seragunya, mengkritik semua dan menyangsikan semua yang dulunya dianggap benar. Menolak semua gagasan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dengan nalar dan logika ketat. Bahkan descartes meragukan Indra-nya sendiri karena menurutnya indra sangat mudah untuk ditipu. Dia juga menyangsikan realitas yang ditinggalinya, menurut dia bisa saja kita ditipu oleh imajinasi kita bahkan dalam titik yang paling ekstrim Descartes juga menyangsikan eksistensi dirinya sendiri. Dan menurut dia satu hal yang tidak bisa diragukan adalah ”aku yang sedang meragukan semuanya”, maka pikiran itu adalah hal yang eksis dan nyata. Sampailah Descartes pada kesimpulan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Jiwa selanjutnya meyakini bahwa gagasan akan pikiran itu sangat jelas (claire) sehingga gagasan itu benar. Kejelasan menjadi kriteria untuk menguji gagasan lain dalam pikiran yang ditujukan untuk menguji benar tidaknya. Pada titik ini Descartes membangun pondasi untuk membangun ide terang benderang dan terpilahnya (idees claires et distinctes). Untuk kemudian Descartes merasakan bahwa inderanya memberi kesan bahwa pikiran (mind) terikat dengan semacam ”tubuh”(elhomme mechine). Dan pikirannya memutuskan bahwa memang ada eksistensi di luar pikirannya yaitu dunia keluasan/materi (res extensa). Untuk kemudian res cogito dan res extensa mengawal Descartes pada filsafat dualismenya.

Metode keraguan dan idees claires et distinctes

Keraguan yang mendasar merupakan inti dari metode Descartes. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan, antara lain semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pernyataan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingkat kesalahan yang lebih tinggi. Meskipun demikian dia tidak mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.

Descartes mengatakan bahwa ia ingin mempelajari hal-hal yang dia pikir benar dan menyisihkan semua kepercayaan yang mungkin ada keraguan. Untuk memeriksa apa yang dia percayai selama ini dan mengoreksinya tentu akan memakan waktu yang sangat lama, maka Descartes melakukan investigasi keraguan terhadap keyakinannya dengan cara mengelompokan setiap sistem keyakinan itu berdasarkan kode fakultasnya seperti Indera dan imajinasi. Metode keraguan descartes ini kemudian menggunakan skeptical hypothesis untuk membedakan apa yang tidak bisa diragukan dan apa yang tidak bisa. Tabel berikut menyajikan perkembangan metodis yang membuat Descartes dalam menemukan sesuatu yang ia tidak dapat meragukannya, sehingga tahu dengan pasti.


Skeptical Hypothesis What Can Be Doubted What Cannot be doubted Faculty Science
The Senses Deceive us at a distance Ukuran matahari dan bintang-bintang, bentuk menara dan warna gunung Hal-hal yang diamati dekat, misalnya bahwa saya sekarang duduk di sebuah ruangan dll The senses (Indra) Astronomy
The Dream Hypothesis Bahwa saya duduk di ruangan ini, bahwa aku berpakaian, bahwa saya punya tangan, mata atau tubuh sama sekali Kebenaran matematika, misalnya. 2 +2 = 4, kotak memiliki empat sisi dll The imagination
(Imajinasi)
 Physiology, physics, medicine etc.
The Evil Genius hypothesis 2 + 2 = 4, kotak memiliki empat sisi, dll Bahwa aku ada dll Reason (akal) Mathematics, arithemetic , geometry etc.
















Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepastian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct. Singkatnya untuk menjadi jelas (clear) sebuah ide harus terbuka, hadir dan bisa diterima oleh pikiran. Sedangkan untuk menjadi terpilah (distinct) tidak hanya jelas melainkan gagasan itu harus tepat (precise) dan terpilah dari gagasan yang lain sehingga jelas mengandung dalam dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Lacewing;
At this point, Descartes has only argued that we can know a clear and distinct idea to be true at the time we hold it in mind. However, he goes on, we cannot think of that one thing all the time so as to keep perceiving it clearly. When our attention is turned away from it, we can no longer be certain of it, even though we remember that we were certain of it. This is because we can go wrong, we can think we clearly and distinctly perceived some idea when we did not. In order to be certain that what we once thought was clear and distinct really is certain, we need to know that we are not being deceived by an evil demon. Descartes sets out to show that we can know this, because we can know that God exists, and would not allow an evil demon to deceive us, nor would God deceive us[4].
Descartes membahas ide-ide terang benderang dan terpilah sebagai hasil dari suatu "operasi mental". Dia mengatakan: "Dengan intuisi saya mengerti, bukan kesaksian yang fluktuatif dari indera, maupun penilaian menyesatkan hasil dari konstruksi imajinasi, tetapi konsepsi dari pikiran yang jernih (pure reason) dan penuh ketelitian dan kehati-hatian akan menghantarkan kita pada kejelasan, bahwa kita sepenuhnya dibebaskan dari keraguan tentang apa yang kita mengerti".

Dia menggunakan gagasan untuk mencapai aksioma dengan metode deduktif yang ketat. Descartes dibuat mabuk kepayang oleh prinsip-prinsip ketepatan dari matematika, sehingga ambisi Descartes adalah mampu menemukan kebenaran pengetahuan mutlak tentang segala hal melalui nalar (rasio) dan selalu mencurigai indera dan jebakan kekeliruan persepsi tubuh. Descartes menerapkan metode deduktif ketatnya pada fisika, astronomi, psikologi, anatomi, dan tentu saja pada matematika yang sangat dia cintai. Produk matematika milik Descartes sampai saat ini yang termasyur adalah sistem koordinat cartesius yang menjadi dasar geometri analitis.

Dualisme realitas

Seperti yang sudah saya sebutkan diawal, Inti metode Descartes adalah ragu-seragunya, mengkritik semua dan menyangsikan semua yang dulunya dianggap benar. Menolak semua gagasan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dengan nalar dan logika ketat. Bahkan descartes meragukan Indra-nya sendiri karena menurutnya indra sangat mudah untuk ditipu. Dia juga menyangsikan realitas yang ditinggalinya, menurut dia bisa saja kita ditipu oleh imajinasi kita bahkan dalam titik yang paling ekstrim Descartes juga menyangsikan eksistensi dirinya sendiri. Dan menurut dia satu hal yang tidak bisa diragukan adalah ”aku yang sedang meragukan semuanya”, maka pikiran itu adalah hal yang eksis dan nyata. Sampailah Descartes pada kesimpulan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) ini untuk nantinya disebut sebagai res cogito. Untuk kemudian Descartes merasakan bahwa inderanya memberi kesan bahwa pikiran (mind) terikat dengan semacam ”tubuh”(elhomme mechine). Dan pikirannya memutuskan bahwa memang ada eksistensi di luar pikirannya yaitu dunia keluasan/materi (res extensa). Dari sinilah pangkal dari filsafat dualisme Descartes, dimana dia membagi realitas alam pikiran/jiwa (res cogito) dan alam keluasan/materi (res extensa). Meskipun dua realitas ini merupakan subtansi yang independen antara satu sama lain. Tetapi menurut Descartes subtansi pikiran haruslah didahulukan sebelum subtansi tubuh yang didalamnya termasuk indera. Bahkan subtansi pikiran lebih superior terhadap indera.

Descartes secara garis besar membagi dua dunia yang paralel tapi independen, yakni dunia jiwa dan dunia materi, yang masing-masing dapat dipelajari tanpa mengacu pada lainnya. Bahwa jiwa tidak menggerakkan tubuh secara implisit dan tubuh tidak menggerakkan jiwa. Dan seorang pribadi adalah penyambung bagi dua substansi yang berbeda tersebut. Dan pembedaan tersebut memberikan suatu bidang khusus pada ilmu, yang berkenaan pada dunia fisik dan agama. Jadi tubuh dan jiwa seperti sebuah koin yang satu menghadap keatas maka yang satu menghadap kebawah. Dan hal inilah yang menunjukkan sifat dualisme dalam pemikiran Descartes.

Pandangan ini melihat segala sesuatu secara serba terpilah dan dikotomis. Realitas yang kompleks, kesaling hubungan dipandang hanya sebagai kumpulan balok atom. Layaknya puzzle realitas dicopot satu per satu, kemudian dari pengamatan terpilah tersebut digabungkan, dan kemudian dikuantifikasikan. Pandangan tersebut sejatinya, selain gagal dalam menangkap realitas secara utuh atau holisitik, pandangan ini, yang kemudian dikenal dengan Cartesian-Newtonian, turut menyumbangkan krisis kompleks dan multidimesional.

Rasionalisme dan Absennya Indera (Sense)

Jika kita melihat dari sudut pandang sejarah filsafat barat, maka lawan terdekat dari Rasionalisme adalah tradisi fislsafat empirisme yang digagas oleh Locke dan Hume. Berbeda dengan rasionalisme, empirisme lebih mengutamakan kerja indera ketika mereka merefleksi objek pengetahuan untuk mencari kebenaran pada-nya. Argumen Rene Descartes mendukung rasionalisme, ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak, adalah pengetahuan yang pencapaiannya melalui akal. Sedangkan David Hume yang mendukung empirisme, pengetahuan yang tidak melalui pengalaman Inderawi atau alat bantu indera, maka tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan melainkan dogmatika belaka. Hume menyebutnya sebagai pengetahuan yang apriori. Ilmu pengetahuan apriori bagi kalangan empirisme tidak lebih dari dogmatika agama yang mengagungkan materi transedental. Maka langkah awal bagi kalangan empirisme ini adalah membedakan objek kajian ilmu pengetahuan (objects of science) adalah semua benda yang nyata dan bisa direfleksi dengan indera. Sedangkan objek kajian yang tidak bisa diindera bukanlah objek pengetahuan, dan pengetahuan yang memiliki objek kajian yang tidak tampak maka tidak layak untuk disebut sebagai pengetahuan. Dari poin ini, empirisme menyerang sangat keras rasionalisme karena dasar filsafat rasionalisme keagungan akal. Dan posisi akal itu sendiri tidak bisa dihadirkan didunia nyata (metafisik).

Rasionalisme juga mendapatkan kritik pada klaim akan yang mewadai (sufficient reason). Pada prinsip sufficient reason, objek nyata di alam materi atau res extensa bisa layak direfleksi sebagai pengetahuan jika objek tersebut mampu diterima oleh akal. Berbeda dengan rasionalisme, empirisme berpendapat jika pengetahuan hanya didasarkan pada kememadaian akal, maka pengetahuan tidak akan bekerja di ranah yang akal tidak bisa menjangkaunya. Pengetahuan yang seperti ini menurut empirisme akan mengubur dirinya sendiri karena dia sudah terpuaskan dengan apa yang sudah disediakan pada akal. Empirisme melawannya dengan konsep pengetahuan haruslah aposteriori. Maksudnya untuk menemukan kebenaran, hanya memakai logika deduktif tidaklah cukup, tetapi prinsip-prinsip deduktif itu harus diuji dengan pengalaman (eksperimen). Meneruskan argument empirisme, maka pengetahuan haruslah bisa dihadirkan di ruang nyata dan bisa di verifikasi oleh indera. Keagungan akal yang dihadirkan oleh rasionalisme bukanlah bakat bawaan (inate), melainkan itu merupakan rekaman otak terhadap pengalaman inderawi. Sehingga akal tidak lebih tinggi atau superior terhadap dunia nyata. Melainkan dunia nyata inilah yang memberikan informasi bagi akal.

Daftar Pustaka
Michael Lacewing, Descartes: Cogito and Clear and Distinct Ideas, Routledge.
Tom Sorrel, Descartes: A Very Short Introduction, Oxford University Press. 1996
[1] Artikel ini merupakan draft buku ajar yang sedang disusun oleh Hari Fitrianto.
[2] Staf Pengajar di Departemen Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
[3] Tom Sorrel, Descartes: A Very Short Introduction, Oxford University Press. 1996
[4] Michael Lacewing, Descartes: Cogito and Clear and Distinct Ideas, Routledge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar