Selasa, 28 April 2015

Bagaimana SAYA TAHU bahwa saya tahu?

Bagaimana SAYA TAHU bahwa saya tahu?


Epistemologi atau teori mengenai pengetahuan adalah cabang ilmu filsafat yang memelajari hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar pengetahuan, dan sejauh mana klaim-klaim kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan (D.W Hamlyn: 1972, hlm. 9). Demikianlah, studi mengenai pengetahuan dalam cabang filsafat ini biasanya difokuskan pada, pertama, hakikat pengetahuan itu sendiri. Mempersoalkan hakikat pengetahuan berkisar pada pertanyaan-pertanyaan seperti “apa yang dimaksud dengan mengatakan bahwa seseorang mengetahui atau gagal mengetahui sesuatu?” Pertanyaan ini sendiri langsung menyentuh persoalan bagaimana memahami apa itu pengetahuan dan membedakan kondisi-kondisi yang memungkinkan seseorang mengetahui sesuatu dari keadaan di mana seseorang tidak memiliki pengetahuan.


Kedua, wilayah epistemologi juga meliputi persoalan keluasan pengetahuan manusia. Pertanyaan yang diajukan antara lain, seberapa luas pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia bersifat tak terbatas? Apakah manusia mampu mengetahui seluruh alam semesta? Bagaimana subjek pengetahuan menggunakan nalar, penginderaan, dan kesaksian orang lain atau sumber-sumber lain sebagai sumber pengetahuan? Apakah ada batas atau keterbatasan dalam pengetahuan kita? Jangan-jangan kita mengetahui sedikit hal dari yang kita sangka? Atau, sebenarnya kita tidak mengetahui sebanyak yang kita kira? Atau, realitas ini tidak bisa diketahui sama sekali. Jika demikian persoalannya, sejauh mana skeptisisme masih bisa diterima sebagai keraguan filosofis, bahwa pengetahuan kita memang terbatas?

Makna Pengetahuan
Kata epistemologi diturunkan dari kata bahasa Yunani episteme yang artinya “pengetahuan” dan kata logos yang artinya “studi atau ilmu tentang”. Demikianlah, epistemologi secara etimologis dipahami sebagai “studi atau ilmu tentang pengetahuan.” Pembaca tentu familiar dengan kata “logos” yang adalah akar dari semua kata yang berakhiran dengan “logi”, misalnya biologi, antropologi, sosiologi, teologi, dan sebagainya. Demikianlah, biologi adalah ilmu (logos) tentang makhluk hidup (bios), sosiologi adalah ilmu (logos) tentang masyarakat (socius), teologi adalah ilmu (logos) tentang Tuhan (theos), dan seterusnya.

Apakah “pengetahuan” itu sehingga nalar manusia ingin mengetahuinya? Kita familiar dengan kata “pengetahuan” dan turunannya yang digunakan secara beragam, antara lain kata “tahu” atau “mengetahui”. Apakah yang dimaksud dengan “tahu” atau “mengetahui”? Sebenarnya kedua kata itu merupakan ekspresi dari keyakinan psikologis manusia. Demikianlah, ketika seseorang berkata, “Saya mengetahui apa yang terjadi tadi pagi di gedung ini!”, orang itu sebenarnya sedang menegaskan keyakinan psikologisnya. Mengatakan bahwa saya mengetahui sesuatu tidak sekadar afirmasi terhadap pengetahuanku sekarang, tetapi juga pengakuan bahwa saya tidak bisa mengatakan sesuatu yang tidak saya ketahui.

Tidak hanya terdapat beragam jenis pengetahuan, cara penggunaannya pun bervariasi. Salah satu contoh adalah pengetahuan prosedural atau “pengetahuan tentang bagaimana”. Misalnya, saya tahu mengendarai sepeda, menerbangkan pesawat terbang, membuat kue tar, dan sebagainya. Di sini kita berhubungan dengan jenis pengetahuan praktis. Ada juga jenis pengetahuan lain yang disebut pengetahuan familiar (acquintance knowledge or familiarity). Berbeda dengan pengetahuan prosedural yang diperoleh melalui pelatihan dan pembiasaan, pengetahuan familiar diperoleh karena relasi yang dekat dan akrab dengan objek pengetahuan. Misalnya, karena dekat dan mengenal sebuah keluarga pejabat publik, seseorang berani mengatakan bahwa dia mengenal dan mengetahui anak pejabat itu sebagai orang baik.

Para filsuf yang menaruh minat pada masalah epistemologi umumnya tidak menaruh minat pada kedua jenis pengetahuan yang disebutkan di atas. Mereka lebih memusatkan perhatian pada pengetahuan propoposisional (propositional knowledge). Sebuah pengetahuan disebut proposisional jika pengetahuan itu bisa diungkapkan melalui kalimat deklaratif. Sebuah proposisi disebut bersifat deklaratif jika merupakan pernyataan yang mendeskripsikan keadaan sesuatu atau menyatakan sesuatu. Misalnya: “Anjing adalah binatang mamalia”, “2+5 = 7”, atau “tidak dibenarkan membunuh orang yang tidak berdosa tanpa alasan.” Pernyataan deklaratif ini bisa benar tetapi bisa juga salah. Pernyataan “air mendidih pada suhu 75 derajat celsius” adalah. Tetapi tidak demikian dengan pernyataan terakhir di atas. Membunuh orang yang tidak berdosa tanpa alasan disebut sebagai pernyataan yang salah bagi mereka yang menolak aborsi, tetapi tidak demikian bagi para pendukung aborsi.

Tampak bahwa pengetahuan proposisional mencakup wilayah pengetahuan yang sangat luas, antara lain pengetahuan ilmiah, pengetahuan geografis, pengetahuan matematika, pengetahuan mengenai diri (self knowledge), dan seluruh jenis pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar. Meskipun ada optimisme bahwa manusia mampu mencapai pengetahun apa pun, harus diakui juga bahwa ada kebenaran tertentu yang tidak bisa diketahui secara menyeluruh. Salah satu tujuan mempelajari epistemologi adalah menentukan kriteria bagi pengetahuan. Tujuannya adalah agar kita bisa mengetahi apa saja yang bisa diketahui dan apa yang tidak bisa diketahui.

Pengetahuan proposisional dapat diurai dan dipilah-pilah lagi, terutama ke dalam jenis pengetahuan non-empiris dan pengetahuan empiris. Pengetahuan non-empiris disebut juga pengetahuan a priori. Disebut demikian karena pengatahuan yang dihasilkan mendahului pengalaman. Pengetahuan a priori atau non-empiris termasuk jenis pengetahuan ini yang mengandalkan hanya rasio (reason). Dengan kata lain, pengetahuan a priori mengandalkan semata-mata kerja nalar dalam menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan dari sebuah kebenaran logis termasuk ke dalam jenis pengetahuan ini, misalnya pengetahuan yang dihasilkan dari hukum non-kontradiksi, klaim-klaim abstrak seperti klaim etika, dan sebagainya. Jenis pengetahuan proposisional yang lainnya disebut pengetahuan a posteriori atau pengetahuan empiris. Berbeda dengan pengetahuan a priori, jenis pengetahuan a posteriori menuntut adanya pengalaman pengindraan tanpa mengabaikan kerja atau fungsi nalar. Berhadapan dengan objek fisik tertentu, misalnya “ember berwarna merah”. Pengalaman a penginderaan menghasilkan pengetahuan mengenai warna hitam atau ukuran besar kecilnya ember. Tetapi kerja nalar memungkinkan dihasilkannya pengetahuan mengenai “bentuk” atau “warna” yang lebih abstrak, melampaui ember sebagai benda fisik. Para filsuf yang mendukung jenis pengetahuan a priori disebut kaum rasionalis, karena mereka mengandalkan nalar sebagai satu-satunya sarana mencapai pengetahuan. Sementara itu, para filsuf pendukung jenis pengetahuan kedua disebut kaum empiris. Mereka mengandalkan nalar atau rasio dan pengalaman inderawi sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan.

Pengetahuan Proposisional
Epistemologu memusatkan perhatian pada jenis pengetahuan proposisional. Pengetahuan manusia mengenai suatu objek selalu dinyatakan melalui bahasa dengan mengambil bentuk kata (term) atau putusan (proposisi). Hanya pengetahuan yang dinyatakan dalam bentuk proposisilah yang menjadi objek kajian epistemologi. Pertanyaan bagaimana manusia mengetahui sesuatu hanya bisa dijawab dengan meneliti proposisi yang adalah ungkapan pengetahuan manusia. Misalnya: “Para wartawan Indonesia semakin tidak memihak kebenaran yang objektif, karena pemberitaan mereka semakin tidak imparsial.” Proposisi inilah yang kemudian menjadi objek kajian epistemologi. Epistemologi akan meneliti kondisi-kondisi yang perlu dan memadai dalam menghasilkan proposisi ini, objektivitasnya, dan seterusnya.

Meskipun pengetahuan manusia bersifat proposisional dan epistemologi berusaha meneliti kondisi-kondisi pengetahuan proposisional tersebut, seorang filsuf tidak akan meloloskan pikiran kritisnya dalam mempertanyakan kemampuan dirinya dalam mengetahui. Apa sebenarnya yang membentuk pengetahuan? Apa yang maksudnya bagi seseorang jika dia mengatakan bahwa dia mengetahui sesuatu? Apa beda dirinya dengan orang lain yang tidak mengetahui sesuatu? Atau, apa perbedaan antara sesuatu yang diketahui dan sesuatu yang tidak diketahuinya? Karena ruang lingkup pengetahuan itu begitu luas, dibutuhkan karakteristik umum pengetahuan untuk bisa memahami pengetahuan itu. Karakteristik umum pengetahuan mengacu kepada karakteristik yang dapat diterapkan dalam setiap jenis proposisi apa pun. Umumnya para filsuf yang mendalami epistemologi mengambilalih tugas ini dengan mencari analisis yang tepat dan benar mengenai konsep pengetahuan. Dengan kata lain, seperangkat kondisi yang memadai yang sifatnya tunggal (individual) dan mencukupi sebenarnya dibutuhkan untuk menentukan apakah seseorang itu benar-benar mengetahui sesuatu atau tidak.

Karakteristik umum pengetahuan meliputi keyakinan (belief), kebenaran (truth) dan pembuktian (justification). Dengan demikian, setiap jenis pengetahuan proposisional akan diteliti berdasarkan ketiga karakteristik umum ini. Jadi terhadap proposisi “Para wartawan Indonesia semakin tidak memihak kebenaran yang objektif, karena pemberitaan mereka semakin tidak imparsial”, kita dapat bertanya dengan mengacu kepada ketiga karakteristik umum ini. Sejauh mana subjek yakin bahwa proposisi tersebut benar adanya? Sejauh mana keyakinan subjek itu memadai atau memenuhi kondisi-kondisi yang diprasyaratkan sebagai proposisi yang benar? Bagaimana membuktikan proposisi ini sebagai benar?

a. Keyakinan (belief)
Kita bisa mengatakan bahwa sebenarnya pengetahuan adalah keadaan mental (mental state). Artinya, pengetahuan ada dan terjadi dalam pikiran seseorang, bahwa semua hal yang tak-terpikirkan tidak dapat diketahui. Mengetahui suatu objek berarti menangkap objek tersebut, memikirkannya sebagai objek dalam pikiran, dan mengungkapkan hasil pemikiran. Apa yang dipikirkan adalah objek pemikiran. Seperti dikatakan John Locke, sesuatu hanya menjadi objek pemikiran kalau objek tersebut tidak sekadar ide atau gagasan yang dipikirkan dan memenuhi pikiran manusia. Sesuatu hanya bisa disebut objek pemikiran jika dia eksis atau yang dapat diimajinasikan (John Locke, Essay Concerning Human Understanding, Pringle-Pattison [ed.]), Oxford, Clarendon Press, 1924, hlm. 121-122). Sehubungan dengan pengetahuan sebagai keadaan mental (mental state), harus dikatakan bahwa pengetahuan sendiri termasuk keadaan mental yang khas. Pengetahuan adalah sejenis keyakinan (belief), dan itulah keadaan mental yang khas. Artinya, seseorang tidak bisa mengetahui sesuatu jika dia tidak memiliki keyakinan akan objek yang diketahuinya tersebut sebagai sesuatu yang sifatnya khas dan tertentu. Kembali ke contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa wartawan Indonesia yang semakin tidak imparsial dalam pemberitaan adalah objek pengetahuan yang sifatnya khas dan tertentu.

Contoh lain dapat diberikan di sini. Misalnya, saya membayangkan bahwa saya akan mengalami kenaikan gaji di akhir tahun ini. Untuk merealisasikannya, saya akan melakukan apa saja yang dituntut perusahaan. Tentu saya bisa meraih apa yang saya inginkan. Jika saya seorang peragu dan meragukan bahwa saya akan mendapat kenaikan gaji, misalnya karena keadaan keuangan di perusahaan saya yang masih dilanda krisis atau karena pimpinan lebih memilih orang lain dari pada saya. Dan jika saya terus dikuasai oleh keraguan bahwa saya akan menerima kenaikan gaji, maka saya tidak bisa mengatakan bahwa saya tahu saya akan mengalami kenaikan gaji. Saya dapat mengetahui dan mengatakan mengenai pengetahuanku itu (dalam konteks ini adalah pengetahuan akan kenaikan gaji) jika saya memiliki keyakinan akan sesuatu tersebut.

Keyakinan tertentu, yang sejauh ini diyakini oleh seseorang disebut occurent beliefs (keyakinan yang sedang diyakini). Keyakinan manusia umumnya bukan merupakan occurent beliefs tetapi keyakinan yang tidak sedang diyakini (non-occurent beliefs). Jenis keyakinan terakhir termasuk jenis keyakinan yang sedang tidak diyakini dan menjadi latar belakang pengetahuan. Hanya sedikit saja dari dari pengetahuan seseorang yang merupakan pengetahuan yang sedang aktif dalam pikiran si subjek.

b. Kebenaran (truth)
Keyakian saja tidak cukup menjadi dasar pengetahuan, karena tidak semua jenis keyakinan membentuk pengetahuan. Keyakinan itu penting dan perlu (necessary) tetapi bukanlah kondisi yang memadai (sufficient) bagi terbentuknya pengetahuan. Mengapa demikian? Karena dalam hal keyakinan, manusia umumnya keliru tentang apa yang diyakininya. Jika mengatakan bahwa tidak semua keyakinan kita membentuk pengetahuan, konsekuensi logisnya adalah beberapa keyakinan membentuk pengetahuan, sementara beberapa pengetahuan lainnya harus dianggap keliru. Sebagai pemikir yang tidak mau menerima segala keyakinan sebagai sumber pengetahuan tanpa dukungan sikap kritis, seharusnya setiap subjek pengetahuan berusaha selalu meningkatkan atau memperlebar margin keyakinannya sebagai keyakinan yang benar (true belief) dan meminimalisasi keyakinan-keyakinan yang keliru dan menyesatkan. Subjek pengetahuan, dengan demikian, harus bergerak dari sekadar memiliki keyakinan kepada memiliki keyakinan yang benar akan apa yang diketahuinya.

Hakikat dari setiap keyakinan adalah deskripsi atau penjelasan tentang keadaan aktual dari objek yang diketahui. Maksudnya, ketika seseorang membentuk keyakinannya, dia sebenarnya mencoba mencocokkan apa yang ada dalam pikirannya dengan dunia. Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa kadang-kadang kita membentuk keyakinan untuk tujuan-tujuan lainnya, misalnya untuk menciptakan sikap yang positif, untuk menipu diri sendiri, dan sebagainya. Tetapi ketika kita mencari pengetahuan, kita berangkat dari keyakinan kita mengenai objek yang diketahui lalu mencoba memahami sesuatu seperti apa adanya. Tanpa dipungkiri, kadang-kadang kita gagal dalam mencocokkan apa yang ada dalam pikiran kita dengan realitas.

Mencocokan apa yang kita pikirkan dengan realitas mengandaikan ada atau diterimanya suatu kebenaran objektif yang ingin kita periksa, apakah sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kita atau tidak. Agar seseorang bisa mengetahui sesuatu, harus ada sesuatu yang mengenainya diketahui. Ingat kembali apa yang sudah ditegaskan di atas, bahwa kita mendiskusikan pengetahuan dalam pengertian faktual. Jika tidak tersedia fakta dari hal yang diketahui, tidak ada sesuatu yang diketahui atau yang mengenainya diketahui. Pandangan ini memang tidak diterima secara universal, terutama oleh mereka yang menyebut diri sebagai pendukung relativisme. [Relativisme adalah konsep atau pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Setiap kebenaran selalu bersifat relatif dan subjektif karena tergantung pada perbedaan dalam mempersepsi sesuatu]. Meskipun demikian, kita bisa mengatakan kebenaran (truth) adalah kondisi pengetahuan. Maksudnya, jika sebuah keyakinan salah, keyakinan itu tidak bisa membentuk pengetahuan. Lebih lanjut, jika tidak ada kebenaran (truth), tidak ada pula pengetahuan. Sebaliknya, meragukan kebenaran absolut sama saja dengan menerima kenyataan bahwa manusia hanya bisa mencapai pengetahuan yang relatif dan partikular, bahwa domain ketidaktahuan selalu eksis dalam domain pengetahuan manusia.

Persoalan absolut-relatifnya pengetahuan manusia sebenarnya adalah persoalan bagaimana membuktikan (justifikasi) keyakinan subjek pengetahuan akan sesuatu yang diketahuinya. Bagaimana keyakinan yang benar (true belief) akan sesuatu merupakan pengetahuanku akan sesuatu sebagai benar?

c. Justifikasi
Sekali lagi, pengetahuan memang mengandalkan keyakinan. Meskipun demikian, harus dikatakan bahwa kondisi ini tidak mencukupi untuk menangkap hakikat dari pengetahuan secara lengkap dan menyeluruh. Pengetahuan harus dihasilkan dari keyakinan yang benar akan sesuatu. Di sini pengetahuan menuntut objektivitas dari keyakinan yang benar tersebut. Tidak hanya itu. Bagaimana mencapai sebuah pengetahuan pun merupakan hal penting yang harus dipertanyakan. Setiap pengetahuan harus dibuktikan, karena tidak semua keyakinan yang benar (true belief) membentuk keyakinan. Pengetahuan harus dihasilkan oleh keyakinan yang benar (true belief) dan melalui proses yang benar.

Pertanyaannya, proses atau cara yang benar seperti apa yang dituntut untuk mencapai keyakinan (yang benar) yang menjadi kondisi niscaya bagi terbentuknya pengetahuan? Unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi oleh keyakinan supaya menjadi keyakian yang benar dalam membentuk sebuah pengetahuan?

Menjawab pertanyaan ini, harus ditegaskan bahwa tampaknya kebenaran hanya bisa dicapai melalui penalaran yang benar (sound reasoning) dan bukti yang solid (solid evidence). Penegasan lain yang juga perlu dalam proses mencapai kebenaran adalah bahwa ketidakakuratan informasi dan penalaran yang keliru akan mempersulit jalan mencapai pengetahuan, bahkan kalau pun informasi dan penalaran tersebut tampaknya membawa kita kepada keyakinan yang benar. Kita kembali ke contoh di atas. Mengatakan bahwa “semua wartawan Indonesia bersikap tidak imparsial dalam pemberitaan” dan “beberapa wartawan Indonesia tidak bersikap imparsial dalam pemberitaan” merupakan proposisi yang berbeda dalam membentuk keyakinan yang benar, dan dengan demikian berpengaruh pada kebenaran yang akan diungkapkan. Sejauh mana proposisi tersebut didukung oleh informasi yang akurat? Jika informasi yang akurat berasal dari penelitian faktual, apakah data-data yang tersedia sanggup membuktikan sikap imparsial wartawan Indonesia sebagai “kenyataan universal” (semua wartawan) atau “kenyataan partikular” (beberapa wartawan)? Manakah yang merupakan keyakinan yang benar (true belief), dan manakah yang merupakan keyakinan yang menyesatkan?

Setiap pembuktian kebenaran menuntut agar keyakinan yang membentuk pengetahuan dan kebenaran itu haruslah keyakinan yang terbukti (justified belief). Suatu keyakinan hanya bisa disebut terbukti jika dicapai melalui cara yang benar. Cara yang benar dalam pembentukan pengetahuan tidak bisa didasarkan semata-mata pada pengetahuan proposisional, tetapi harus didukung pula oleh pengetahuan faktual. Jadi, mengatakan bahwa beberapa wartawan Indonesia bersifat tidak imparsial dalam pemberitaan seharusnya didukung oleh pengetahuan faktual (penelitian), dan tidak sekadar dihasilkan dari penyusunan proposisi yang benar (beberapa wartawan Indonesia bersikap tidak imparsial sebagai konsekuensi logis dari tidak semua wartawan Indonesia bersikap imparsial dalam pemberitaan). Setuap pembuktian pengetahuan menuntut agar keyakinan yang menjadi dasar pengetahuan harus merupakan keyakinan yang terbukti dan dukungan penalaran yang tepat, dan bukan berdasarkan suatu misinformasi.

Tuntutan bahwa pengetahuan harus melibatkan pembuktian (justifikasi) tidak otomatis berarti bahwa pengetahuan menuntut adanya kepastian yang absolut (absolute certainty). Jangan lupa, manusia adalah makhluk yang dapat salah (fallible). Falibilisme sendiri merupakan pandangan yang mengatakan bahwa adalah mungkin untuk mencapai pengetahuan meskipun ketika keyakinan yang benar dari seseorang pada akhirnya menjadi salah. Di antara keyakinan yang semestinya benar dan keyakinan yang benar semata-mata karena keberuntungan, di sana terletak sebuah spektrum keyakinan yang di dalamnya kita memiliki alasan-alasan tertentu untuk meyakini sesuatu sebagai benar. Misalnya, ketika kita mendengar pengumuman prakiraan cuaca bahwa hari ini akan hujan dan kemungkinannya adalah 90 persen. Sebagai hasilnya, saya membentuk keyakinan dalam diriku bahwa hari ini akan turun hujan, maka keyakinan yang benar dalam diriku itu bahwa akan turun hujan tidak menjadi benar semata-mata karena keberuntungan. Meskipun tetap ada kemungkinan bahwa keyakinanku ini bisa salah, tetapi tersedia dasar yang mencukupi bagi keyakinanku yang membentuk pengetahuan – bahwa hari ini kemungkinan besar hujan. Dasar seperti ini yang dirujuk dalam pembuktian (justifikasi) keyakinanku tersebut. Para ahli epistemologi berpendapat bahwa untuk membentuk pengetahuan, sebuah keyakinan harus memenuhi dua syarat, yakni keyakinan tersebut adalah benar dan terbukti (justified).

Bisa saja terjadi bahwa karena keberuntungan, sebuah keyakinan dapat saja tidak bisa dibuktikan tetapi tetap benar. Dan karena hakikat manusia yang bisa salah, sebuah keyakinan dapat saja dibuktikan (sebagai benar) tetapi merupakan hal yang keliru (salah). Dengan kata lain, di sini mau dikatakan bahwa kebenaran (truth) dan pembuktian (justification) adalah dua kondisi yang mandiri dari keyakinan. Fakta bahwa keyakinan adalah benar tidak mengatakan kepada kita apakah keyakinan tersebut telah terbukti atau tidak. Itu sangat tergantung pada bagaimana keyakinan itu terbentuk. Jadi, bisa saja terjadi bahwa dua orang mempertahankan satu keyakinan yang sama sebagai keyakinan yang benar, tetapi demi alasan yang berbeda, dan karena itu satu dari mereka dapat terbukti dan yang lainnya tidak bisa dibuktikan (unjustified). Fakta bahwa sebuah keyakinan terjustifikasi tidak mengatakan kepada kita apakah keyakinan tersebut salah atau benar. Tentu keyakinan yang terbukti dapat lebih mempermudah untuk mencapai pengetahuan dari pada sebaliknya.

Problem Gettier (the Gettier Problem)
Pada tahap tertentu, keyakinan yang telah terbukti (justified true belief/JTB) diterima sebagai yang bisa menjelaskan kemungkinan pengetahuan manusia. Keadaan berubah sejak tahun 1963 ketika Edmund Gettier menerbitkan sebuah tulisan pendek berjudul Is Justified True Belief Knowledge? di jurnal Analysis (Vol. 23, No. 6, June 1963, pp. 121-123). Meskipun singkat, tulisan ini menolak apa yang disebut JTB yang sebelumnya diterima secara luas sebagai cara membuktikan pengetahuan manusia. Gettier sendiri mengemukakan dua contoh di mana seseorang memiliki keyakinan yang benar dan terbukti (justified and true belief), tetapi melalui contoh itu ditunjukkan bahwa subjek sebenarnya tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu.

JTB sebenarnya adalah klaim yang menyatakan bahwa pengetahuan dapat dianalisis secara konseptual sebagai justified true belief jika makna dari kalimat “Endang tahu bahwa hari ini hujan” adalah benar jika kondisi yang mendukung terbentuknya pengetahuan adalah kondisi yang perlu (necessary) dan mencukupi (suffient) terpenuhi. Dalam contoh “Endang tahu bahwa hari hujan”, subjek A mengetahui bahwa sebuah proposisi P adalah benar jika dan hanya jika:
P adalah benar.
S yakin bahwa P adalah benar, dan
S adalah terbukti (justified) sebagai yang meyakini bahwa P adalah benar.
Dengan demikian, harus disimpulkan bahwa pengetahuan Endang ini benar jika dan hanya jika: (1) hari ini hujan (P adalah benar), (2) bahwa Endang yakin bahwa hari ini jujan, dan (3) bahwa Endang terbukti sebagai orang yang benar yakin bahwa hari ini hujan.

Gettier mengemukakan 2 contoh untuk menolak JTB sebagai berikut:
Contoh 1:
Pada suatu kesempatan Smith tampak melamar sebuah pekerjaan. Dia memiliki keyakinan yang terbuktikan (justified belief) bahwa “Jones yang akan mendapatkan pekerjaan itu”. Smith juga memiliki keyakinan yang terbuktikan bahwa “Jones memiliki 10 koin dalam kantongnya”. Didukung oleh keyakinan yang terbuktikan sebagai kondisi yang perlu (necessary), dapat disimpulkan di sini bahwa bahwa “orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin di dalam kantongnya”. Apakah keyakinan yang terbuktikan ini menyingkapkan sebuah pengetahuan? Faktanya, bukan Jones tetapi justeru Smith yang mendapatkan pekerjaan itu. Hal lain yang juga terjadi – tanpa tanpa diketahui dan bersifat semata-mata kebetulan – adalah bahwa Smith juga memiliki 10 koin di dalam kantongnya. Itu artinya keyakinan yang terbuktikan bahwa “orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki 10 koin di dalam kantongnya” tampaknya terbukti dan benar. Meskipun demikian, keyakinan yang terbuktikan tersebut tidak tampak sebagai sebuah pengetahuan.

Contoh 2:
Smith memiliki keyakinan terbuktikan bahwa “Jones mempunyai sebuah kereta Ford”. Smith kemudian menyimpulkan bahwa “Jones memang memiliki sebuah mobil Ford, atau Brown sedang berada di Barcelona”, bahkan ketika Smith tidak punya pengetahuan apa-apa mengenai lokasi di mana Brown berada. Kenyataannya, Jones memang tidak memiliki mobil Ford, tetapi semata-mata kebetulan, bahwa Brown memang sedang berada di Barcelona. Sekali lagi, keyakinan Smith bahwa Brown berada di Barcelona merupakan sebuah keyakinan yang terbuktikan dan terbukti benar, tetapi tetap saja itu bukan merupakan sebuah pengetahuan.

Apa yang hendak ditunjukkan melalui kedua contoh di atas. Kedua contoh ini digunakan untuk menegaskan bahwa keyakinan yang terbuktikan (JTB) memiliki kemungkinan (probabilitas) untuk gagal membentuk pengetahuan. Itu artinya, eksistensi kondisi-kondisi yang perlu (necessary condition) dan memadai (sufficient condition) dalam membentuk pengetahuan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Di sini kondisi-kondisi yang diprasyaratkan untuk menjustifikasi pengetahuan dimaksudkan untuk memastikan bahwa pengetahuan didasarkan pada bukti yang kuat dan bukan semata-mata berdasarkan pada keberuntungan atau misinformasi (pada kasus JTB). Lebih dari itu, melalui problem Gettier sebenarnya mau ditekankan bahwa JTB ternyata masih memberi ruang bagi eksisnya keberuntungan (luck), dan dengan demikian gagal membentuk pengetahuan yang benar.

Menanggapi problem yang dikemukakan Gettier mengenai kondisi yang perlu dan memadai bagi terbentuknya pengetahuan, tiga jalan keluar bisa dikemukakan, yakni (1) syarat keyakinan-tak-keliru (no-false-belief condition); (2) syarat tiadanya-penakluk (the no-defeaters condition); dan (3) penjelasan sebab-akibat (kausal) dari pengetahuan (causal accounts of knowledge). Ketiga jalan keluar inilah yang menjadi prasyarat bagi terbentuknya pengetahuan yang benar.

d.1 Syarat keyakinan-tak-keliru
Untuk membentuk sebuah pengetahuan, sebuah keyakinan harus menjadi keyakinan yang benar dan terbukti dan keyakinan tersebut harus dibentuk tanpa mendasarkannya pada keyakinan apa pun yang keliru. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa pembuktian (justification), kebenaran, dan keyakinan adalah kondisi yang perlu (necessary condition) bagi terbentuknya pengetahuan. Meskipun demikian, kondisi-kondisi ini bukanlah kondisi yang memadai (sufficient condition) bagi terbentuknya pengetahuan. Dibutuhkan syarat keempat, yakni apa yang disebut sebagai tiadanya-keyakinan-yang-keliru (no false belief), dan syarat ini mutlak ada dalam setiap penalaran yang dalam setiap pembentukan keyakinan – yang juga adalah perlu (necessary).

Apakah dengan terpenuhinya keempat kondisi ini bisa dikatakan bahwa seseorang memiliki pengetahuan? Ternyata ini tidak mencukupi juga sebagai kondisi. Misalnya, Muhammad Nazaruddin minta dipindahkan dari tahanan Mako Brimob ke penjara Cipinang atau Salemba karena merasa ditekan. Taruhlah bahwa keempat kondisi di atas terpenuhi dalam kondisi ini (justifikasi, kebenaran, keyakinan, dan tiadanya keyakinan yang keliru), apakah saya sungguh-sungguh mengetahui bahwa Nazaruddin memang merasa tertekan di Mako Brimob. Anggap saja saya tidak memiliki keyakinan bahwa Nazaruddin memang tertekan di Mako Brimob. Pengetahuan saya bersifat umum saja, bahwa seseorang yang tinggal di rumah tahanan pasti merasa tertekan, apalagi ditahan di rumah tahanan yang de facto dikendalikan 24 jam oleh polisi. Keyakinan yang lebih bersifat umum ini memang mencukupi untuk menjustifikasi keyakinan saya bahwa Nazaruddin memang tertekan, tetapi saya sebenarnya tetap tidak memiliki pengetahuan mengenai keadaan Nazaruddin yang sebenarnya.

d.2 Syarat tiadanya-penakluk
Mengkritik syarat pertama di atas tidak langsung berarti bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi terbentuknya pengetahuan itu salah sama sekali. Yang dibutuhkan adalah bagaimana memperlengkapi syarat-syarat di atas agar menjadi syarat yang perlu dan mencukupi bagi terbentuknya pengetahuan. Terhadap keempat syarat di atas, kita bisa menambahkan satu syarat lagi, yakni tiadanya-penakluk. Seseorang dapat mencapai pengetahuan jika pengetahuannya tersebut didasarkan pada keyakinan yang benar (true belief), keyakinan yang benar tersebut memang terbukti (justified true belief), dan tidak ada penakluk (keadaan negasi) yang membuktikan keadaan sebaliknya.

Kembali ke contoh di atas. Misalnya, keyakinan bahwa Nazaruddin tertekan di tahanan Mako Brimob sungguh-sungguh merupakan keyakinan yang benar dan terbuktikan. Keyakinan itu hanya bisa benar dan membentuk pengetahuan jika tidak terbukti sebaliknya (no-defeater) mengenai keadaan Nazaruddin yang sebenarnya.

d.3 Penjelasan Sebab-akibat pengetahuan (causal accounts of knowledge)
Kondisi keempat yang ditambahkan pada JTB di atas dapat membantu kita menjawab pertanyaan tentang seberapa yakinkah kita bahwa kita mengetahui sesuatu. Meskipun demikian, apa yang dikemukakan Gettier pun mengandung kelemahan persis ketika dia masih memberi ruang bagi eksisnya faktor keberuntungan (luck) dalam pembentukan pengetahuan. Harus diingat bahwa hal yang penting dalam setiap pembuktian sebuah keyakinan adalah bahwa faktor-faktor yang bertanggung jawab bagi pembuktian tersebut juga bertanggung jawab bagi kebenaran. Itu artinya keyakinan yang benar dan terbuktikan saja tidak cukup. Dan bahwa tidak adanya negasi terhadap pembuktian (no-defeater) juga tidak cukup sebagai alasan. Untuk membentuk pengetahuan, sebuah keyakinan harus menjadi baik benar dan terbukti serta kebenaran dan justifikasinya haruslah merupakan rangakaian yang dalam arti tertentu saling mengandaikan.

Tentang hubungan saling mengandaikan antara kebenaran dan justifikasi ini, harus dikatakan bahwa untuk bisa mengetahui kebenaran sebuah proposisi, harus ada sebuah hubungan sebab-akibat antara keyakinan subjek pengetahuan terhadap proposisi tersebut dengan kenyataan bahwa proposisi itu memang mengungkapkan kebenaran, dan bahwa hubungan itu bersifat hubungan sebab-akibat. Kembali ke contoh di atas. Keyakinan yang benar dan terbuktikan bahwa Nazaruddin tertekan di Mako Brimob dan bahwa itu merupakan kebenaran, harus ditambahkan bahwa keadaan tertekannya Nazaruddin memang benar disebabkan oleh tinggalnya dia di Mako Brimob sebagai tahanan, dan bukan oleh sebab-sebab lainnya.

Hakikat Pembuktian
Uraian di atas mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana Anda yakin bahwa Anda mengetahui sesuatu?” Pertanyaan ini dijawab dengan pertama-tama menegaskan bahwa mengandalkan JTB saja tidak mencukupi dalam pembentukan pengetahuan. Meskipun demikian, mengandalkan kondisi pembuktian keyakinan yang dikemukakan Gettier maupun jalan keluar yang ditawarkan pemikir lain atas kritik Gettier pun belum tentu memadai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di sini kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan serius berhubungan dengan pembuktian (justifikasi) pengetahuan itu sendiri. Apakah hakikat pembuktian (justifikasi) itu sendiri?

Telah dikemukakan alasan mengapa subjek pengetahuan membentuk keyakinan, yakni agar dia dapat mencapai kebenaran sambil pada saat bersamaan menghindari kekeliruan. Juga dikatakan bahwa pembuktian atau justifikasi adalah bagian dari keyakinan yang dibentuk sedemikian rupa dengan tujuan untuk menegaskan keyakinan tersebut sebagai benar. Jika kita beranggapan bahwa keyakinan dibentuk sebagai usaha untuk menyesuaikan apa yang ada dalam pikiran dengan apa yang ada dalam realitas, dan jika kita juga berpendapat bahwa sejauh mana syarat-syarat pembuktian pengetahuan dapat menjelaskan sebuah kebenaran merupakan elemen penting dalam setiap pembuktian pengetahuan, tampaknya kita sedang menegaskan dua pendekatan yang ditempuh dalam pembuktian kebenaran. Kedua pendekatan itu adalah pembentukan pengetahuan dalam konteks pikiran si subjek yang percaya dan dalam konteks realitas di luar subjek pengetahuan. Pembentukan pengetahuan dalam konteks subjek yang percaya disebut internalisme, sementara konteks pembentukan pengetahuan kedua disebut eksternalisme. Kedua konteks justifikasi ini bisa dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

Internalisme
Sebenarnya keyakinan adalah keadaan mental (mental state), dan pembentukan-keyakinan (belief-formation) adalah sebuah proses mental (mental process). Demikianlah, seseorang dapat saja berpendapat, apakah sebuah keyakinan dibuktikan atau tidak – apakah itu dibentuk dalam cara yang tepat – dapat ditentukan melalui menguji proses-berpikir dari subjek pengetahuan yang percaya selama pembentukan keyakinan tersebut. Pendapat demikian, yang sebenarnya mempertahankan pendapat bahwa pembuktian tergantung semata-mata pada faktor-faktor internal, yakni dalam pikiran subjek pengetahuan yang memiliki keyakinan disebut dengan istilah internalisme. Sebagai catatan, meskipun kata ini bisa memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda, di sini kata ini dipakai terutama untuk merujuk kepada pembuktian kebenaran pengetahuan.

Internalisme berpendapat bahwa satu-satunya faktor yang relevan bagi penentuan apakah sebuah keyakinan terbukti atau tidak adalah keadaan mental dari subjek pengetahuan yang memiliki keyakinan itu sendiri. Para pendukung aliran ini akan berpendapat bahwa hanya keadaan mental individual – keyakinannya mengenai dunia, informasi-informasi yang diperolehnya dari kerja penginderaannya dan keyakinannya mengenai hubungan antara berbagai keyakinannya – dapat menentukan keyakinan baru apa yang akan dia bentuk. Karena itu, hanya keadaan mental individu yang dapat menentukan apakah keyakinan tertentu dapat dijustifikasi atau tidak. Terutama lagi, agar dapat dibuktikan, sebuah keyakinan harus didasarkan pada atau didukung oleh keadaan mental lainnya.

Pertanyaannya, apa menjadi dasar atau mendukung relasi antara sebuah keyakinan dengan keadaan mental si subjek yang memiliki keyakinan? Salah satu kemungkinan jawaban adalah bahwa A hanya bisa percaya sebagai sesuatu didasarkan secara memadai pada keyakinan B (atau keyakinan-keyakinan B1 dan B2, atau B1, B2, dan … Bn), jika kebenaran dari B memang memadai untuk membentuk kebenaran A. Dengan kata lain, B harus membatasi atau melingkup A. Misalnya, saya yakin bahwa bangkrutnya perusahaan Maju Lancar (A) disebabkan oleh mismanajemen (B), dan bahwa keyakinanku itu terbukti sebagai benar, maka di sini tampak tidak hanya adanya relasi sebab-akibat antara A dan B. Tetapi saya memiliki keyakinan yang terbuktikan dan memadai bahwa kebenaran A (bangrutnya perusahaan) hanya bisa dijelaskan oleh B (mismanajemen), dan bahwa B memang memadai untuk membentuk kebenaran A. Apakah pembuktian ini bersifat absolut dalam arti kebenaran yang tersingkap memiliki keluasan yang tak-berhingga? Mempertimbangkan faktor falibilitas kita (kemungkinan dapat salah dalam pembentukan pengetahuan), kita sebaiknya mengatakan bahwa kebenaran dari B merupakan landasan yang menyediakan alasan yang memadai untuk meyakini bahwa A juga benar.

Meskipun demikian, ada kondisi tambahan yang harus kita perhatikan: keyakinan B itu sendiri harus dibuktikan, karena keyakinan yang tak terbuktikan tidak sanggup mengubah pembuktian keyakinan-keyakinan lainnya. Karena keyakinan B juga harus bisa dibuktikan, apakah harus tersedia keyakinan lain (keyakinan C, misalnya) yang telah terbuktikan dan yang menjadi dasar bagi pembuktian kebenaran B? Jika demikian, apakah C itu sendiri juga harus telah terbukti, dan itu berarti juga bahwa keyakinan lain yang menjadi landasan pembuktian kebenaran keyakinan C pun harus telah terbukti, misalnya D, dan seterusnya? Di sini tampak keyakinan yang mendasarkan pembuktiannya pada keyakinan-keyakinan lainnya ini akan terus berputar sampai tak berhingga, dan membawa kita terus berputar-putar.

Demi menghindari hal ini, ada hanya 4 kemungkinan yang dapat dikemukakan sebagai struktur dalam membuktikan keyakinan. Keempat kemungkinan itu adalah sebagai berikut.

Serangkaian keyakinan yang terbuktikan, yang satu didasarkan pada yang lainnya, terus menerus begitu sampai tak berkesudahan. Rangkaian keyakinan yang terbuktikan berputar kembali kepada titik di mana dia memulainya (A didasarkan pada B, B pada C, C pada D, dan D pada A).
Rangkaian keyakinan yang terbuktikan yang dimulai dengan keyakinan yang tak terbuktikan.
Keyakinan yang terbuktikan yang dimulai dengan sebuah keyakinan yang terbuktikan, tetapi tidak mendasarkan dirinya pada keyakinan lain yang terbuktikan.


Foundasionalisme
Kita bisa menguji keempat alternatif di atas, apakah masing-masingnya cukup meyakinkan dalam menjustifikasi kebenaran? Alternatif pertama tampaknya sulit diterima karena pikiran manusia memiliki banyak sekali keyakinan yang sifatnya terbatas dan dapat salah. Karena itu setiap proses berpikir yang mengarah kepada pembentukan sebuah keyakinan yang baru seharusnya memiliki titik berangkat (starting point) tertentu. Alternatif kedua tampak tidak lebih baik, karena penalaran yang berputar terbukti menyesatkan. Alternatif ketiga dengan sendirinya tidak dapat diandalkan, karena dia tergantung pada alternatif kedua, dan karena itu tidak dapat dijustifikasi. Konsekuensinya, satunya-satunya alternatif yang tersisa seharusnya merupakan jalan keluar yang benar.

Cara berargumentasi dan pembuktian semacam ini mengarah kepada kesimpulan bahwa ada dua jenis keyakinan yang terbuktikan: keyakinan yang menjadi titik berangkat keyakinan yang terbuktikan dan keyakinan yang didasarkan pada keyakinan terbuktikan lainnya. Keyakinan yang terbuktikan jenis pertama disebut sebagai keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs). Jenis keyakinan ini mampu mengubah justifikasi atas keyakinan-keyakinan lainnya. Keyakinan terbuktikan jenis kedua disebut keyakinan bukan-dasar (non-basic beliefs) yang justifikasinya tidak bisa diubah oleh keyakinan-keyakinan lainnya. Pemahaman seperti ini menunjukkan adanya hubungan tidak simetris antara keyakinan dasar dan keyakinan bukan-dasar. Pandangan mengenai struktur keyakinan terbuktikan seperti ini dikenal dengan nama “foundasionalisme”. Secara umum, foundasionalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa ada hubungan tidak simetris antara dua keyakinan apa pun: jika A didasarkan pada B, B tidak bisa didasarkan pada A.

Ini menunjukkan bahwa paling tidak beberapa keyakinan (yakni keyakinan dasar) terbuktikan dalam cara tertentu di luar hubungannya dengan keyakinan-keyakinan lainnya. Keyakinan dasar harus pada dirinya bersifat self-justified, atau yang harus menarik pembuktiannya dari sumber mandiri (tidak ditentukan oleh opini) tertentu seperti input dari data-data penginderaan. Sumber yang tepat dari justifikasi keyakinan dasar harus dijelaskan oleh penjelasan lengkap dari foundasionalis mengenai pembuktian.

Koherentisme
Kaum internalis bisa saja tidak puas karena foundasionalisme memberi ruang bagi kemungkinan keyakinan yang dibuktikan tanpa didasarkan pada keyakinan-keyakinan lain. Sejauh ini merupakan solusi kita atas masalah kemunduran yang mengantar kita kepada foundasionalisme, dan sejauh tak satu pun dari alternatif tampaknya meyakinkan, kita mungkin saja melihat solusinya dalam problem itu sendiri. Hendaknya diingat bahwa problem didasarkan pada asumsi yang tidak terkatakan, yakni bahwa justifikasi bersifat linear dalam penampakannya. Yakni bahwa pernyataan dari problem regres mengasumsikan bahwa pendasaran relasi menyejajarkan sebuah argumen logis, dengan satu keyakinan didasarkan pada yang lainnya atau lebih banyak keyakinan lainnya dalam bentuknya yang tidak simetris.

Jadi, kaum internalis yang menemukan bahwa foundasionalisme adalah pandangan yang tidak meyakinkan bisa saja menolak asumsi ini, dan mempertahankan pendapat bahwa justifikasi adalah hasil dari sebuah hubungan menyeluruh (holistic) di antara berbagai keyakinan. Demikianlah, orang bisa mempertahankan posisi bahwa keyakinan menurunkan justifikasi mereka dengan menginklusikan ke dalam serangkaian keyakinan yang berkoherensi satu sama lain sebagai keseluruhan. Pendukung dari pandangan semacam ini disebut kaum koherentis.

Seorang pendukung koherentisme kemudian memandang justifikasi sebagai saling mendukung timbal-balik antar berbagai keyakinan, dan bukan serangkaian keyakinan yang tidak simetris satu dengan lainnya. Menurut pandangan ini, sebuah keyakinan menurunkan justifikasinya tidak melalui mendasarkan dirinya pada sati atau lebih keyakinan, tetapi karena statusnya sebagai anggota dari serangkaian keyakinan yang semuanya cocok satu sama lain dalam cara yang benar.

Kohenrentisme adalah pandangan yang rentan terhadap “keberatan isolasi” (“isolation objection”). Tampaknya mungkin bagi serangkaian keyakinan untuk menjadi koheren, tetapi untuk semua keyakinan itu harus terisolasi dari realitas. Pertimbangkan, misalnya, sebuah karya fiksi. Semua pernyataan dalam karya fiksi dapat membentuk sebuah rangkaian yang koheren, tetapi mempercayai semua dan hanya pernyataan-pernyataan dalam karya fiksi tidak akan render one justified. Demikianlah, bentuk apa pun dari internalisme tampaknya rentan terhadap keberatan ini, dan dengan demikian sebuah penjelasan yang komplet dari kaum internalis mengenai justifikasi harus menjawab persoalan ini. Ingat bahwa justifikasi menuntut adanya kesesuaian (match) antara pikiran seseorang dengan dunia, karena itu sebuah penekanan yang inordinate pada relasi antara keyakinan-keyakinan dalam pikiran seseorang tampaknya meremehkan pertanyaan apakah keyakinan-keyakinan itu cocok atau sesuai dengan adanya benda-benda (objek) secara aktual.

Eksternalisme
Mengikuti uraian di atas, orang mungkin saja berkesimpulan bahwa menaruh perhatian berlebihan pada faktor-faktor internal dari pikiran subjek yang memiliki keyakinan akan mengarahkan secara tak terelakkan kepada kekeliruan pembuktian. Alternatif dari ini adalah asumsi bahwa setidak-tidaknya ada faktor eksternal tertentu dari pikiran subjek pengetahuan yang menentukan apakah keyakinannya terbukti atau tidak terbukti. Pendukung dari pandangan seperti ini disebut eksternalis.

Menurut eksternalisme, satu-satunya jalan untuk menghindari isolasi objek dan memastikan bahwa pengetahuan tidak menyertakan keberuntungan adalah mempertimbangkan beberapa faktor berbeda dari keyakinan yang dimiliki subjek yang meyakini. Faktor-faktor apakah yang harus dipertimbangkan? Versi yang paling terkenal dari eksternalisme adalah reliabilisme, mengusulkan bahwa kita mempertimbangkan sumber (source) dari keyakinan. Keyakinan dapat dibentuk sebagai hasil dari banyak sumber yang berbeda, seperti misalnya pengalaman pengindraan inderawi, reason, kesaksian, ingatan, dan sebagainya. Tepatnya, kita bisa merinci lagi indera yang manakah yang digunakan, siapa yang memberikan kesaksian, jenis penalaan seperti apa yang digunakan, atau ingatan terbaru apa yang relevan, Untuk setiap keyakinan, kita dapat mengindikasikan proses kognitif yang mengarahkan kepada pembentukannya. Dalam bentuknya yang sederhana dan lebih langsung, reliabilisme mempertahankan pandangan bahwa apakah sebuah keyakinan terbuktikan atau tidak tergantung pada apakah proses itu adalah sebuah sumber yang andal dari keyakinan-keyakinan yang benar. Sejauh kita mencari kesesuaian antara pikiran kita dengan dunia, keyakinan yang terbuktikan adalah keyakinan-keyakinan yang dihasilkan dari proses yang secara reguler mencapai kesesuaian (match) dimaksud. Jadi, misalnya, menggunakan visi untuk menentukan warna dari sebuah objek yang well-lit dan relatif dekat adalah proses pembentukan keyakinan yang reliabel bagi seseorang yang memiliki penglihatan normal, dan bukan seseorang yang menderita buta warna. Pembentukan keyakinan berdasarkan kesaksian dari seorang ahli tampaknya menegaskan keyakinan yang benar, tetapi pembentukan keyakinan dengan mendasarkan pada kesaksian dari orang pembohong tentu bukanlah keyakinan yang terbuktikan. Singkatnya, jika sebuah keyakinan adalah hasl dari sebuah proses kognitif yang bersifat reliabel mengarahkan kepada keyakinan yang benar, maka keyakinan seperti itu terbuktikan.

Satu kritik kepada reliabilisme dapat dikemukakan. Pembentukan keyakinan adalah sebuah kejadian yang terjadi sekali (one-time event), tetapi kelenturan (reliability) dari proses sangat tergantung pada performans dari proses yang lama. Dan ini menuntut agar kita menspesifikasi proses yang mana yang sedang digunakan, sehingga kita bisa mengevaluasi ferformansnya dalam contoh-contoh lainnya. Bagaimana pun, proses kognitif dapat dideskripsikan dakan term yang kurang lebih umum: misalnya, proses pembentukan-keyakinan yang sama dapat dideskripsikan secara beragam sebagai pengalaman inderawi, visi, visi oleh mereka yang memiliki penglihatan yang normal, visi dari mereka yang memiliki penglihatan yang normal hanya di siang hari, visi bagi mereka yang memiliki penglihatan yang normal di siang hari ketika melihat sebuah pohon, dan seterusnya. “Problem menyeluruh” (generality problem) menunjukkan bahwa beberapa dari deskripsi ini dapat menspesifikasi sebuah proses yang lentur (reliable) tetapi yang lainnya mungkin saja menspesifikasi proses yang tidak lentur, sehingga kita tidak dapat mengetahui apakah sebuah keyakinan terbuktikan atau tidak terbuktikan kecuali kita mengetahui level yang sesuai (appropriate) dari generalitas yang digunakan dalam mendeskripsikan proses.


Luasnya Pengetahuan Manusia
Sumber Pengetahuan
Uraian di atas mencoba menjawab pertanyaan “apa yang dapat kita ketahui?”. Pertanyaan epistemologis berikutnya adalah “sejauh atau seluas apa pengetahuan kita?” Tentu harus diingat bahwa ada banyak cara untuk sampai pada pengetahuan. Pengetahuan mengenai hal-hal empiris akan melibatkan persepsi. Pengalaman penginderaan dituntut dalam jenis pengetahuan ini. Pengetahuan ilmiah yang menekankan pentingnya pengumpulan data dan pengujian di laboratorium, dan itulah paradigma pengetahuan ilmiah. Meskipun demikian, harus ditegaskan bahwa umumnya pengetahuan kita berasal dari apa yang kita inderai, dan itu terikat erat dengan pengalaman kita sebagai manusia.

Terlepas dari perdebatan mengenai sumber pengetahun – apakah murni pengalaman inderawi atau murni idealisme – satu hal jelas: semua pengetahuan menuntut adanya penalaran (reasoning). Data-data yang dikumpulkan para ilmuwan harus dianalisis sebelum merumuskan hasilnya atau menarik kesimpulan dari pengumpulan data-data tersebut. Pembacaan data-data tersebut hanya bisa dilakukan melalui sebuah penalaran. Melalui penalaranlah manusia sebagai subjek pengetahuan membaca dan memahami data-data. Data-data yang sifatnya empiris, melalui penalaran, dihasilkan pengetahuan (kesadaran mengenai data-data tersebut) dalam sebuah alur atau penalaran tertentu. Dalam penalaran tersebut sering terjadi bahwa intuisi memainkan peranan penting. Intuisi sejauh dipahami sebagai pemahaman tiba-tiba mengenai sesuatu dilihat sebagai semacam akses langsung kepada pengetahuan, tentu bersifat a priori.

Begitu kita sudah mencapai pengetahuan, pengetahuan tersebut bisa dipertahankan (diandalkan untuk pembentukan pengetahuan selanjutnya), tetapi juga dapat diwariskan kepada orang lain. Ingatan memungkinkan kita mengetahui sesuatu di masa lampau, mungkin, jika kita tidak lagi mengingat dengan tepat pembenaran pengetahuan itu di masa lampau. Pengetahuan juga dapat diwariskan dari satu orang kepada orang lain melalui kesaksian (testimony). Kesaksian sebagai pengetahuan dipandang sebagai justifikasi atas jenis keyakinan tertentu, misalnya dengan merujuk kepada sumber tertentu yang diyakini sebagai benar. Bandingkan dengan jenis pengetahuan yang kita terima dari pendahulu kita mengenai sesuatu. Kita seakan-akan menerima begitu saja bahwa apa yang disingkapkan sebagai pengetahuan tersebut adalah benar adanya.

Skeptisisme
Kembali ke pertanyaan yang di atas mengenai luasnya pengetahuan. Apakah kita bisa mengetahui semua hal? Para ahli epistemologi juga menyibukkan diri untuk menanggapi pertanyaan ini, terutama dalam diskusi mengenai skeptisisme. Pertanyaan yang diajukan dalam skeptisisme biasanya seputar apakah kita sungguh-sungguh dapat mengetahui sesuatu? Sejauh mana kita bisa mengetahui sesuatu? Jangan-jangan kita mengklaim bahwa kita mengetahui sesuatu, padahal kita tidak dapat mengetahui sesuatu apa pun.

Tentang skeptisisme dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama, ada orang yang tidak menjadi pengikut skeptisisme secara mutlak. Dia meragukan beberapa hal saja dari kemampuannya mengetahui. Misalnya, wilayaj matematika, moralitas, atau pengetahuan mengenai dunia eksternal lainnya. Jenis skeptisisme semacam ini dapat disebut sebagai skeptisisme lokal atau skeptisisme moderat.

Kedua, ada pemikir atau ahli epistemologi yang berpandangan bahwa manusia tidak mengetahui sesuatu apa pun. Mereka yakin bahwa semua jenis pengetahuan manusia tidak bisa dijustifikasi, karena manusia tidak dapat mengetahui apapun. Jenis skeptisisme semacam ini dikategorikan sebagai skeptisisme global atau skeptisisme keras.

Apa yang harus dikatakan mengenai posisi skeptisisme dalam pengetahuan? Apakah manusia memang tidak mampu mengetahui apa pun juga? Atau, manusia mengetahui sebagian kecil yang apa yang dapat diketahuinya? Yang jelas, klaim bahwa manusia bisa mengetahui segala hal tidak bisa dibuktikan sebagai benar. Keluasan pengetahuan manusia tetap bersifat terbatas. Sebaliknya, mengatakan bahwa manusia sama sekali tidak bisa mengetahui apa pun juga tidak bisa dijustifikasi sebagai benar, setidak-tidaknya jika mereferensi kepada pengalaman. Posisi yang benar adalah bahwa pengetahuan manusia bersifat terbatas. Manusia tidak bisa mencapai pengetahuan absolut. Manusia hanya mencintai pengetahuan. Mengutip Witgenstein, “Apa yang dapat kuketahui secara jelas harus saya katakan secara jelas, apa yang tidak kuketahui, aku diam.”

Skeptisisme Kartesian
Dalam bagian pertama dari buku Meditations Rene Descartes berusaha untuk menolak apa yang ada di bagian akhir bukunya. Argumen ini mengatakan bahwa tidak semua persepsi kita bersifat akurat. Ada persepsi tertentu yang tidak akurat. Penginderaan kita dapat menipu dan menjebak.

Menurut Descartes, penginderaan kita dapat menipu dan menjebak. Kita kadang-kadang keliru membedakan antara manakah pengalaman yang benar-benar nyata dan manakah mimpi, dan itu mungkin saja terjadi karena ada “evil demon” (setan yang jahat) yang sedang mempermainkan kita. Akibatnya, beberapa keyakinan kita adalah keliru. Agar kayakinan kita bisa dijustifikasi, kita harus memiliki cara tertentu dalam membedakan keyakinan-keyakinan yang memang benar (atau yang kelihatan bisa benar) dan keyakinan-keyakinan yang tidak benar. Tetapi karena tidak ada tanda-tanda yang bisa membawa kita kepada kemampuan membedakan antara keadaan tersadar (terjaga) dan keadaan bermimpi, maka juga tidak ada tanda yang memampukan kita membedakan keyakinan yang benar dari keyakinan palsu sebagai akibat dari machinations dari setan yang jahat. Keadaan ketidakmampuan membedakan keyakinan yang benar dan palsu ini akan menyebabkan seluruh keyakinan kita sebagai tidak terbuktikan, dan karena itu kita tidak dapat mengetahui sesuatu apa pun. Jawaban yang kurang lebih meyakinkan dari argumentasi semacam ini, lalu harus menunjukkan apakah kita memang sungguh-sungguh memiliki kemampuan membedakan keyakinan yang benar dari yang palsu atau kita memang tidak memiliki kemampuan membedakan sama sekali.

Skeptisisme Humean
Menurut kaum skeptis, pengindraan kita dapat memberitahu kita bagaimana tampaknya (appear) benda-benda, tetapi bukan bagaimana keadaan mereka yang sesungguhnya. Kita harus menggunakan nalar (reason) kita untuk mengkonstruksi argumentasi yang mengarahkan kita dari keyakinan mengenai bagaimana sesuatu nampak (things appear) keyakinan yang benar (justified) mengenai bagaimananya sesuatu. Tetapi kalau pun kita dapat mempercayai persepsi kita, supaya kita tahu bahwa mereka akurat, David Hume berpendapat bahwa keraguan skeptisisme tidak pernah bisa dihapus. Ketahui bahwa kita hanya bisa memahami sebagian kecil dari alam semesta ini, meskipun kita mungkin mengira bahwa kita memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai semesta, bahkan yang melampaui dunia yang kita alami. Ini artinya panca indera sendiri tidak bisa diandalkan dalam menghasilkan pengetahuan manusia, dan bahwa nalar harus melengkapi penginderaan dalam caranya dalam memproduksi pengetahuan. Meskipun demikian, Hume sendiri tetap berpendapat bahwa nalar tidak mampu menyediakan justifikasi bagi berbagai keyakinan mengenai dunia eksternal melampaui atau mengatasi wilayah persepsi inderawi kita saat ini.

Identitas numerikal versus kualitatif
Umumnya kita yakin bahwa dunia eksternal ini bersifat stabil. Misalnya, saya yakin bahwa mobil saya tetap terparkir di tempat di mana saya memarkirnya pagi ini, meskipun saat memiliki keyakinan ini saya sedang tidak mengamati mobil tersebut. Jika saya beranjak ke jendela sekarang untuk melihat mobilku, saya boleh membentuk keyakinan bahwa mobilku masih berada di tempat yang saya sepanjang hari. Apa dasar bagi keyakinan ini? Saya mengajukan pertanyaan ini untuk membuat penalaranku menjadi eksplisit, dan dengan begitu saya melanjutkannya lagi:
Aku punya dua pengalaman-inderawi akan mobilku: satu pagi ini dan satu barusan.
Kedua pengalaman-inderawi ini (kurang lebih) identik.
Karena itu, tampaknya demikian bahwa objek yang menyebabkannya adalah identik.
Karena itu, sebuah objek tunggal – mobilku – telah berada di tempat parkir itu sepanjang hari.

Cara berpikir yang sama akan mendasari seluruh keyakinan kita mengenai persistensi (hal yang tetap) dari dunia eksternal dan semua objek yang kita pahami. Tetapi apakah keyakinan ini terbuktikan? Hume menolak posisi ini. Bagi Hume, dunia eksternal yang kita pahami sebagai sesuatu yang persisten tidak dapat dijustifikasi. Mengapa? Karena argumen ini dan argumen-argumen lainnya yang mirip mengandung equivocation.

Secara khusus, apa yang terjadi pertama dari hal yang “identik” mengacu kepada identitas kualitatif. Kedua pengalaman-inderawi bukanlah satu dan sama, melainkan berbeda. Ketika kita mengatakan bahwa mereka adalah identik, kita memaksudkan bahwa yang satu adalah serupa dengan yang lainnya dalam seluruh kualitasnya atau kekayaannya. Tetapi kejadian kedua dari yang “identik” mengacu kepada identitas numerik. Ketika kita mengatakan bahwa objek yang menyebabkan kedua pengalaman-inderawi menjadi identik, maksud kita adalah bahwa ada sebuah objek, dan bukan dua, yang bertanggung jawab bagi kedua pengalaman tersebut. Equivocation semacam ini, menurut Hume, menyebabkan argumen menjadi sesat. Jadi, kita membutuhkan argumen yang lain untuk mendukung keyakinan kita bahwa objek-objek tetap tidak berubah bahkan ketika kita tidak sedang mengamati mereka.

Skeptisisme Hume tentang induksi
Taruhlah bahwa sebuah argumen yang memuaskan bisa ditemukan demi mendukung keyakinan kita mengenai dunia fisikal yang bersifat tetap (persisten). Ini akan menyediakan bagi kita pengetahuan bahwa objek yang kita amati telah menjadi objek yang tetap bahkan ketika kita tidak mengamatinya. Tetapi sebagai tambahan terhadap keyakinan bahwa objek-objek ini telah menjadi objek yang tetap sampai sekarang, kita meyakini bahwa objek-objek tersebut akan bertahan (tidak berubah) di masa depan. Kita juga meyakini bahwa objek-objek yang tidak pernah kita amati akan mengalami hal yang sama yakni tidak berubah. Dengan kata lain, kita mengharapkan agar objek-objek tersebut di masa depan akan tetap menjadi objek seperti yang kita amati sekarang. Misalnya, saya yakin bahwa mobilku akan tidak berubah di masa depan. Apa yang menjadi dasar bagi keyakinan semacam ini? Jika saya diminta untuk membuktikan keyakinan saya secara eksplisit, saya mungkin saja akan mengatakan sebagai berikut:
Mobilku tidak pernah berubah di masa lampau.
Alam bersifat uniform melampaui ruang dan waktu (dan dengan demikian masa depan akan sama seperti masa sekarang).
Dan karena itu, mobil saya akan tidak berubah di masa depan.

Keyakinan yang sama akan mendasari seluruh keyakinan kita mengenai masa depan dan mengenai hal-hal yang tak-teramati. Apakah keyakinan semacam ini dapat dijustifikasi? Sekali lagi, David Hume berpendapat bahwa tidak bisa dijustifikasi, karena argumen di atas dan argumen-argumen lainnya yang serupa, mengandung premis yang tidak memiliki dukungan, yakni premis kedua, yang dapat disebut sebagai the Principle of the Uniformity of Nature (PUN). Mengapa kita harus meyakini prinsip ini sebagai benar? Hume memberi alasan bahwa kita memberikan beberapa alasan tertentu untuk mendukung keyakinan ini. Karena argumen di atas adalah induktif dan bukan deduktif, persoalan yang muncul yang menunjukkan bahwa ini adalah argumen yang baik secara khas dirujuk sebagai “persoalan induksi”. Kita barangkali berpendapat bahwa ada jalan keluar yang lebih sederhana dan langsung untuk mengatasi persoalan induksi, dan bahwa kita bisa menyediakan dukungan bagi keyakinan kita bahwa PUN adalah benar. Argumen semacam ini dirumuskan demikian:
PUN telah dan selalu benar di masa lampau.
Alam semesta adalah uniform melampaui ruang dan waktu (dan dengan demikian di masa depan pun sama).
Jadi, PUN akan selalu benar di masa depan.
Argumen semacam ini, bagaimana pun, bersifat melingkar. Premis kedua dari argumen ini adalah PUN! Jadi, kita membutuhkan argumen lain untuk mendukung keyakinan kita bahwa PUN adalah benar, dan dengan demikian kita menjustifikasi argumen induktif kita mengenai masa depan dan hal yang tak-teramati.

Kesimpulan
Studi mengenai argumentasi ini merupakan satu dari aspek yang paling mendasar dari penyelidikan filosofis. Klaim apa pun mengenai pengetahuan harus dievaluasi untuk menentukan apakah klaim tersebut sanggup membentuk pengetahuan atau tidak. Evaluasi semacam ini secara mendasar menuntut sebuah pemahaman bahwa pengetahuan adalah dan selalu merupakan seberapa besar pengetahuan menjadi mungkin. Ini tetap akan menjadi pertanyaan besar yang harus selalu dicarikan jawabannya dalam setiap refleksi epistemologi.

Bacaan
Truncellito, David A., Epistemologi, dalam http://www.iep.utm.edu/epistemo/(Diunduh tanggal 25 Agustus 2011).
Gettier, Edmund L., Is Justified True Belief Knowledge?, “Analysis”, vol. 23, No. 6 (Jun., 1963), pp. 121–123.
Halyn, D.W., The History of Epistemology, dalam: “Encyclopedia of Philosophy”, Vol. 3 dan 4, Macmillan, Inc., Great Britain, 1972

Tidak ada komentar:

Posting Komentar