Senin, 09 November 2015

Pokok Perubahan PPh Dan Bendaharawan KUP 2008

Pokok Perubahan PPh Dan Bendaharawan KUP 2008



Banyak yang berpendapat bahwa perubahan yang dibuat UU No. 36 Tahun 2008 pada dasarnya adalah mengenai hal penurunan tarif Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan saja. Padahal kalau kita kaji lebih lanjut, UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 mengatur tentang perubahan-perubahan yang lebih luas dari pendapat orang tersebut yang menimbulkan dampak yang signifikan terhadap Pajak Penghasilan di Indonesia, baik itu berdampak terhadap penghasilan wajib pajak. Pokok-pokok perubahan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:


Subjek Pajak
Terdapat perluasan pengertian Badan Usaha Tetap (BUT). Dalam pasal 2 ayat 5 UU No. 36 Tahun 2008 dijelaskan bahwa BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk BUT diperluas dengan ditambahnya bentuk BUT berupa gudang, ruang promosi, dan usaha melalui elektronik/internet.

Objek Pajak
Terjadi penegasan objek PPh dalam UU No. 36 Tahun 2008. Penegasan objek PPh tersebut terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dengan objek pajak berupa penghasilan, termasuk:
1.      Penghasilan dari usaha berbasis syariah
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut UU ini.
2.      Imbalan bunga sebagaimana dimaksud UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
3.      Surplus Bank Indonesia (BI)
Objek ini mengundang banyak pro dan kontra akibat perbedaan persepsi, yaitu BI sebagai badan hukum publik seharusnya tidak dikenakan pajak. Di sisi lain, BI berkewajiban menjamin stabilitas moneter sehingga pengenaan pajak terhadap surplus BI tidak memberikan dampak yang positif terhadap keuangan pemerintah.
Di dalam UU No. 36 Tahun 2008 juga terdapat perluasan objek PPh final. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 4 ayat 2 bahwa perluasan objek PPh final termasuk:
1.      Transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa
2.      Transaksi penjualan saham/pengalihan meodal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
3.      Jasa konstruksi
4.      Usaha real estate
Dalam pasal 4 ayat 3, terdapat penegasan non-objek PPh, yaitu:
1.      Deviden yang diterima korporasi
2.      Bagian laba yang diterima pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
3.      Beasiswa yang memenuhi syarat tertentu
4.      Sisa lebih yang diterima lembaga nirlaba di bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan (litbang)
5.      Bantuan/santunan yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu
6.      Pencabutan ketentuan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama lima tahun pertama

Biaya Yang Diperkenankan Sebagai Pengurang Penghasilan
Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M). Dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008 terdapat beberapa penambahan biaya 3M, yaitu:
1.      Biaya promosi dan penjualan
2.      Piutang tak tertagih
3.      Biaya beasiswa
4.      Pemupukan dana cadangan
5.      Sumbangan bencana nasional
6.      Sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
7.      Biaya infrastruktur sosial
8.      Sumbangan fasilitas pendidikan
9.      Sumbangan pembinaan olahraga

Penghasilan Tidak Kena Pajak
Pengaturan mengenai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam UU No. 36 Tahun 2008 diatur dalam pasal 7 ayat 1. Dalam UU No. 36 Tahun 2008, PTKP mengalami kenaikan dari UU PPh sebelumnya. Pengaturannya adalah sebagai berikut:
1.      Untuk diri wajib pajak orang pribadi Rp 15.840.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah Rp 13.200.000,00)
2.      Tambahan untuk wajib pajak yang kawin Rp 1.320.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 1.200.000,00)
3.      Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami Rp 15.840.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 13.200.000,00)
4.      Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga adalah Rp 1.320.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 1.200.000,00)

Pemisahan Pengenaan Pajak Suami Istri
Dalam pasal 8 ayat 2 huruf c UU No. 36 Tahun 2008, terdapat penambahan ketentuan baru mengenai pemisahan pangenaan pajak suami-istri. Pengenaan pajak suami-istri dikenai pajak secara terpisah apabila dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.


Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Dalam pasal 14 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008, batas peredaran usaha untuk dapat menggunakan norma penghitungan neto bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dinaikkan menjadi Rp 4,8 Milyar peredaran bruto per tahunnya (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah Rp 600 juta).

Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam pasal 17 UU PPh sebelumnya, pengenaan tarif pajak penghasilan dilakukan dengan lima lapisan, yaitu:
No.
Lapisan Penghasilan
Tarif
1.
S.d Rp 25.000.000,-
5%
2.
Di atas Rp25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-
10%
3.
Di atas Rp50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000
15%
4.
Di atas Rp100.000.000,- s.d.Rp200.000.000,-
25%
5.
Di atas Rp200.000.000,-
35%

Di dalam pasal 17 ayat 1 huruf a UU No. 36 Tahun 2008, pengenaan tarif pajak penghasilan disederhanakan menjadi empat lapisan, yaitu:
No
Lapisan Penghasilan
Tarif
1.
S.d. Rp 50.000.000,00
5%
2.
Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00
15%
3.
Di atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00
25%
4.
Di atas Rp500.000.000,00
30%






Tarif Wajib Pajak Badan
Di dalam ketentuan UU PPh sebelumnya, pengenaan tarif wajib pajak badan dikenakan secara progresif melalui tiga lapisan, yaitu:
Lapisan Penghasilan
Tarif
S.d. Rp 50.000.000,00
10%
Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00
15%
Di atas Rp100.000.000,00
30%

Di dalam pasal 17 ayat 1 huruf b UU No. 36 Tahun 2008, pengenaan tarif pajak badan dikenakan dengan tarif tunggal 28% pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 akan diturunkan menjadi 25% berdasarkan pasal 17 ayat 2a. Bagi perusahaan yang masuk bursa, tarif pajak masih diberi pengurangan 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (dimiliki masyarakat).

Pencegahan Penghindaran Pajak
Di dalam pasal 18 UU No. 36 Tahun 2008 terdapat penambahan ketentuan sesuai dalam rangka pencegahan penghindaran pajak pada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa, yaitu:
1.      Dalam pasal 18 ayat 3b, wajib pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang wajib pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga;
2.      Dalam pasal 18 ayat 3c, penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (Conduit Company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia;
3.      Dalam pasal 18 ayat 3d, besarnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.

Tarif Pemotongan/Pemungutan
Dalam UU No. 36 Tahun 2008 terjadi pembedaan pemungutan berdasarkan wajib pajak dengan NPWP dan tanpa NPWP. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pemerintah yang hendak melakukan ekstensifikasi pajak . Pengaturan tentang tarif ini berkaitan dengan ketentuan di dalam pasal 21, 22, dan 23.

Terjadi beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 21, yaitu:
1.      Tarif pemotongan PPh Pasal 21 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 20% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
2.      Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditiadakan, SPT Masa Bulan Desember menggantikan SPT Tahunan.

Terjadi beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 22, yaitu:
1.      Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
2.      WP yang membeli barang tergolong sangat mewah dipungut PPh Pasal 22 sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Terjadi beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 23, yaitu:
1.      Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
2.      Mempertegas definisi saat terutang pada penjelasan Pasal 23 ayat (1) yaitu pada saat jatuh tempo.
3.      Penghasilan yang diterima oleh jasa keuangan yang dilakukan oleh bank dan jasa yang sama yang dilakukan oleh WP bukan bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak dipotong Pajak Penghasilan, tetapi pembayaran pajaknya melalui angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25. (Pasal 23 (4) a).

Angsuran Pajak
Perubahan ketentuan dalam pasal 25 ayat 7 yaitu Menteri Keuangan menentukan besarnya angsuran pajak bagi wajib pajak pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari junlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan.

Fiskal Luar Negeri
Bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki NPWP tidak membayar fiskal luar negeri berdasarkan ketentuan pasal 25 ayat 8.

Fasilitas Pajak
Dalam pasal 31A ayat 1, kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
1.      pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
2.      penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
3.      kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
4.      pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
Dalam pasal 31A ayat 2, ketentuan mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal 31E ayat 1, wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00

Perjanjian Pajak (Tax Treaty) Obligasi Negara
Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

BENDAHARAWAN
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari APBN/APBD adalah bendahara pemerintah. Termasuk dalam pengertian bendahara pemerintah antara lain bendahara pengeluaran, pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama. Sebagai pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, bendahara pemerintah harus mengerti aspek-aspek perpajakan, terutama yang berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Bea Meterai. Secara umum, kewajiban perpajakan bagi bendahara pemerintah adalah:
1.      Mendaftarkan Diri Menjadi Wajib Pajak
Bendahara pemerintah yang mengelola dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas bendahara dalam menjalankan kewajiban perpajakannya yaitu memotong/memungut, menyetor, dan melaporkan PPh dan/atau PPN.
a.       Tempat pendaftaran
Bendahara pemerintah wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang sesuai dengan tempat kedudukan unit kerja.
b.      Tata cara pendaftaran
§  mengisi formulir pendaftaran Wajib Pajak untuk Wajib Pajak bendahara yang tersedia di KPP dengan melampirkan fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara dan Kartu Tanda Penduduk bendahara tersebut;
§  KPP menerbitkan NPWP yang terdiri dari 15 digit dan Surat Keterangan Terdaftar paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap; NPWP akan diterbitkan oleh KPP dengan nama bendahara unit/satuan kerja.
2.      Melakukan Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh, PPN dan Bea Materai
Kewajiban bendahara pemerintah sehubungan dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Meterai adalah pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Meterai.
a.       Pemotongan PPh Pasal 21
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan/jasa/kegiatan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Pembayaran Penghasilan yang wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh bendahara pemerintah antara lain adalah pembayaran atas gaji, tunjangan, honorarium, upah, uang makan dan pembayaran lainnya (tidak termasuk pembayaran biaya perjalanan dinas), baik kepada pegawai maupun bukan pegawai.
Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:
§  Pasal 21 Undang-undang PPh;
§  Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010;
§  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008;
§  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010;
§  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012;
§  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012;
§  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013.
b.      Pemungutan PPh Pasal 22
Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang seperti: komputer, meubeler, mobil dinas, ATK dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penyedia barang. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh:
§  bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
§  bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
§  Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut adalah: 1,5% x harga beli (tidak termasuk PPN)
Pemungutan PPh Pasal 22 atas belanja barang tidak dilakukan apabila:
§  pembelian barang dengan nilai maksimal pembelian Rp2.000.000,00 dengan tidak dipecah-pecah dalam beberapa faktur;
§  pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos; dan
§  pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Peraturan terkait pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
§  Pasal 22 Undang-Undang PPh;
§  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.11/2012;
§  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2013.
c.       Pemotongan PPh Pasal 23
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 atau PPh Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh bendahara kepada pihak lain. Penghasilan yang dibayarkan
tersebut antara lain:
§  sewa dan penghasilan (PPh) lain sehubungan dengan penggunaan harta, royalti, hadiah/penghargaan.
§  imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain.
Jasa lain yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 antara lain:
§  Jasa penilai (appraisal);
§  Jasa aktuaris;
§  Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
§  Jasa perancang (design);
§  Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
§  Jasa penebangan hutan;
§  Jasa pengolahan limbah;
§  Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcingservices)
§  Jasa perantara dan/atau keagenan;
§  Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
§  Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
§  Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
§  Jasa Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifiasi sebagai pengusaha konstruksi;
§  Jasa maklon;
§  Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
§  Jasa pengepakan;
§  Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
§  Jasa pembasmian hama;
§  Jasa kebersihan atau cleaning service;
§  Jasa catering atau tata boga.
Peraturan-peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 adalah:
§  Pasal 23 Undang-Undang PPh
§  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008
d.      Pemotongan / Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2)
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penghasilan tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final adalah:
§  Persewaan tanah dan/atau bangunan
1)      objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.
2)      besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan.
3)      jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
§  Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
1)      objek PPh fial adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.
2)      besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
3)      pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada:
ü  orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah pecah.
Pembebasan diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar
ü  pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (tanpa SKB)
ü  pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan negara asing). (tanpa SKB)

§  Jasa konstruksi
1)      pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
2)      perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
3)      pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
4)      pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
5)      Tarif dan Dasar Pengenaan PPh Final Jasa Konstruksi:
Pelaksana Kontruksi:
·         mempunyai kualifikasi usaha kecil dengan tarif 2%
·         mempunyai kualifikasi usaha kecil dengan tarif 3%
·         tidak mempunyai kualifikasi usaha dengan tarif 4%
Perencanaan/Pengawasan kontruksi:
·         mempunyai kualifikasi usaha dengan tarif 4%
·         tanpa kualifikasi usaha dengan tarif 6%
Peraturan-peraturan terkait pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
a.       Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh;
b.      PP Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 71 Tahun 2008;
c.       PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002;
d.      PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009;
e.       Keputusan Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008;
f.       Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002;
g.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009;
h.      Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002.
Kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final tidak dilakukan dalam hal bendahara pemerintah melakukan transaksi dengan Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan menyerahkan Surat Keterangan Bebas PPh yang telah dilegalisasi.
3.      Kewajiban Penyetoran dan Pelaporan
Kewajiban bendahara pemerintah selanjutnya adalah menyetorkan PPh dan/atau PPN ke Bank Persepsi/Kantor Pos penerima pembayaran dan melaporkan SPT Masa PPh dan/atau PPN ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak bendahara terdaftar sesuai batas waktu yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Batas waktu pembayaran/penyetoran pajak yang sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara pemerintah serta tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan Masa adalah sebagai berikut:
Pasal
Tanggal Penyetoran
Tanggal Pelaporan
PPh Psl 21
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
Paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir
PPh Psl 22
Disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
Paling lama 14 hari setelah masa pajak berakhir
PPh Psl 23
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
Paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir
PPh Psl 4 (a)
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
Paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir
Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan kewajiban pemotongan/pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak-pajak yang telah dipotong/dipungut antara lain:
a.       apabila batas akhir pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya;
b.      apabila batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya;
c.       pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak;
d.      dalam hal pencairan anggaran dengan mekanisme pembayaran langsung (LS), maka pemindahbukuan pajak yang dilakukan oleh KPPN merupakan pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang, namun Surat Setoran Pajak tetap dipersiapkan oleh bendahara yang bersangkutan;
e.       Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
f.       bendahara sebagai Pemotong atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan;
g.      bendahara sebagai Pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS di satuan kerjanya, memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir;
h.      bendahara sebagai Pemungut PPN melakukan validasi Faktur Pajak yang diterbitkan oleh rekanan;
i.        Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 wajib menggunakan e-SPT apabila jumlah bukti pemotongan dan/atau SSP dan/atau bukti Pbk lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak;
j.        Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD) wajib membuat Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah (DTH) atas Belanja Daerah yang memuat rincian transaksi harian belanja daerah per Surat Perintah Membayar/Surat Penyediaan Dana (SPM/SPD) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). DTH yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD disampaikan kepada Kuasa BUD paling lama tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir dengan dilampiri fotokopi SSP lembar ke-3;
k.      Kuasa BUD membuat Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah (RTH) yang memuat rekapitulasi dari DTH dalam satu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan DTH yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD. RTH disampaikan kepada Kepala KPP tempat Kuasa BUD terdaftar secara bulanan paling lama tanggal 20 setelah bulan yang  bersangkutan berakhir dengan dilampiri DTH dan SSP lembar ke-3. Dalam pembuatan laporan DTH/RTH, bendahara SKPD maupun Kuasa BUD dapat memanfaatkan sistem informasi yang digunakan oleh Pemda (SIMDA,SIPKD, SIMAKDA dan lain-lain).



REFERENSI
1.      Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2.      Buku Saku "Bendahara mahir pajak". http://www.pajak.go.id/content/buku-panduan-pajak-2013
3.      http://ditto-w.blogspot.co.id/2009/03/pokok-pokok-perubahan-uu-no-36-tahun_04.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar