Pokok Perubahan PPh Dan Bendaharawan KUP 2008
Banyak
yang berpendapat bahwa perubahan yang dibuat UU No. 36 Tahun 2008 pada dasarnya
adalah mengenai hal penurunan tarif Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan saja.
Padahal kalau kita kaji lebih lanjut, UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
mengatur tentang perubahan-perubahan yang lebih luas dari pendapat orang
tersebut yang menimbulkan dampak yang signifikan terhadap Pajak Penghasilan di
Indonesia, baik itu berdampak terhadap penghasilan wajib pajak. Pokok-pokok
perubahan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
Subjek Pajak
Terdapat
perluasan pengertian Badan Usaha Tetap (BUT). Dalam pasal 2 ayat 5 UU No. 36
Tahun 2008 dijelaskan bahwa BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia. Bentuk BUT diperluas dengan ditambahnya bentuk BUT
berupa gudang, ruang promosi, dan usaha melalui elektronik/internet.
Objek Pajak
Terjadi
penegasan objek PPh dalam UU No. 36 Tahun 2008. Penegasan objek PPh tersebut
terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dengan objek pajak berupa penghasilan, termasuk:
1. Penghasilan
dari usaha berbasis syariah
Kegiatan
usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan
usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek
pajak menurut UU ini.
2. Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
3. Surplus
Bank Indonesia (BI)
Objek
ini mengundang banyak pro dan kontra akibat perbedaan persepsi, yaitu BI
sebagai badan hukum publik seharusnya tidak dikenakan pajak. Di sisi lain, BI
berkewajiban menjamin stabilitas moneter sehingga pengenaan pajak terhadap
surplus BI tidak memberikan dampak yang positif terhadap keuangan pemerintah.
Di
dalam UU No. 36 Tahun 2008 juga terdapat perluasan objek PPh final. Hal
tersebut dijelaskan dalam pasal 4 ayat 2 bahwa perluasan objek PPh final
termasuk:
1. Transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa
2. Transaksi
penjualan saham/pengalihan meodal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura
3. Jasa
konstruksi
4. Usaha
real estate
Dalam
pasal 4 ayat 3, terdapat penegasan non-objek PPh, yaitu:
1. Deviden
yang diterima korporasi
2. Bagian
laba yang diterima pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
3. Beasiswa
yang memenuhi syarat tertentu
4. Sisa
lebih yang diterima lembaga nirlaba di bidang pendidikan dan/atau penelitian
dan pengembangan (litbang)
5. Bantuan/santunan
yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu
6. Pencabutan
ketentuan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama lima tahun pertama
Biaya Yang Diperkenankan Sebagai
Pengurang Penghasilan
Besarnya
penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan (biaya 3M). Dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008
terdapat beberapa penambahan biaya 3M, yaitu:
1. Biaya
promosi dan penjualan
2. Piutang
tak tertagih
3. Biaya
beasiswa
4. Pemupukan
dana cadangan
5. Sumbangan
bencana nasional
6. Sumbangan
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya
infrastruktur sosial
8. Sumbangan
fasilitas pendidikan
9. Sumbangan
pembinaan olahraga
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Pengaturan
mengenai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam UU No. 36 Tahun 2008 diatur
dalam pasal 7 ayat 1. Dalam UU No. 36 Tahun 2008, PTKP mengalami kenaikan dari
UU PPh sebelumnya. Pengaturannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk
diri wajib pajak orang pribadi Rp 15.840.000,00 (dalam ketentuan UU PPh
sebelumnya adalah Rp 13.200.000,00)
2. Tambahan
untuk wajib pajak yang kawin Rp 1.320.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya
adalah 1.200.000,00)
3. Tambahan
untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami Rp
15.840.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 13.200.000,00)
4. Tambahan
untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan, paling banyak tiga
orang untuk setiap keluarga adalah Rp 1.320.000,00 (dalam ketentuan UU PPh
sebelumnya adalah 1.200.000,00)
Pemisahan Pengenaan Pajak Suami
Istri
Dalam
pasal 8 ayat 2 huruf c UU No. 36 Tahun 2008, terdapat penambahan ketentuan baru
mengenai pemisahan pangenaan pajak suami-istri. Pengenaan pajak suami-istri
dikenai pajak secara terpisah apabila dikehendaki oleh istri yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Dalam
pasal 14 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008, batas peredaran usaha untuk dapat
menggunakan norma penghitungan neto bagi wajib pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dinaikkan menjadi Rp 4,8 Milyar
peredaran bruto per tahunnya (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah Rp 600
juta).
Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam
pasal 17 UU PPh sebelumnya, pengenaan tarif pajak penghasilan dilakukan dengan
lima lapisan, yaitu:
No.
|
Lapisan
Penghasilan
|
Tarif
|
1.
|
S.d
Rp 25.000.000,-
|
5%
|
2.
|
Di
atas Rp25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-
|
10%
|
3.
|
Di
atas Rp50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000
|
15%
|
4.
|
Di
atas Rp100.000.000,- s.d.Rp200.000.000,-
|
25%
|
5.
|
Di
atas Rp200.000.000,-
|
35%
|
Di
dalam pasal 17 ayat 1 huruf a UU No. 36 Tahun 2008, pengenaan tarif pajak
penghasilan disederhanakan menjadi empat lapisan, yaitu:
No
|
Lapisan
Penghasilan
|
Tarif
|
1.
|
S.d.
Rp 50.000.000,00
|
5%
|
2.
|
Di
atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00
|
15%
|
3.
|
Di
atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00
|
25%
|
4.
|
Di
atas Rp500.000.000,00
|
30%
|
Tarif Wajib Pajak Badan
Di
dalam ketentuan UU PPh sebelumnya, pengenaan tarif wajib pajak badan dikenakan
secara progresif melalui tiga lapisan, yaitu:
Lapisan
Penghasilan
|
Tarif
|
S.d.
Rp 50.000.000,00
|
10%
|
Di
atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00
|
15%
|
Di
atas Rp100.000.000,00
|
30%
|
Di
dalam pasal 17 ayat 1 huruf b UU No. 36 Tahun 2008, pengenaan tarif pajak badan
dikenakan dengan tarif tunggal 28% pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 akan
diturunkan menjadi 25% berdasarkan pasal 17 ayat 2a. Bagi perusahaan yang masuk
bursa, tarif pajak masih diberi pengurangan 5% dari tarif normal dengan
kriteria paling sedikit 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
(dimiliki masyarakat).
Pencegahan Penghindaran Pajak
Di
dalam pasal 18 UU No. 36 Tahun 2008 terdapat penambahan ketentuan sesuai dalam
rangka pencegahan penghindaran pajak pada perusahaan yang memiliki hubungan
istimewa, yaitu:
1. Dalam
pasal 18 ayat 3b, wajib pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang
wajib pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain
atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga;
2. Dalam
pasal 18 ayat 3c, penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (Conduit Company atau Special Purpose Company)
yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan
pajak (Tax Haven Country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia;
3. Dalam
pasal 18 ayat 3d, besarnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi
dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan
perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau
sebagian penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
Tarif Pemotongan/Pemungutan
Dalam
UU No. 36 Tahun 2008 terjadi pembedaan pemungutan berdasarkan wajib pajak
dengan NPWP dan tanpa NPWP. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pemerintah
yang hendak melakukan ekstensifikasi pajak . Pengaturan tentang tarif ini
berkaitan dengan ketentuan di dalam pasal 21, 22, dan 23.
Terjadi
beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 21, yaitu:
1. Tarif
pemotongan PPh Pasal 21 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 20% dari tarif
bagi WP yang ber-NPWP.
2. Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditiadakan, SPT Masa Bulan
Desember menggantikan SPT Tahunan.
Terjadi
beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 22, yaitu:
1. Tarif
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar
100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
2. WP
yang membeli barang tergolong sangat mewah dipungut PPh Pasal 22 sebagai
pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.
Terjadi
beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 23, yaitu:
1. Tarif
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar
100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
2. Mempertegas
definisi saat terutang pada penjelasan Pasal 23 ayat (1) yaitu pada saat jatuh
tempo.
3. Penghasilan
yang diterima oleh jasa keuangan yang dilakukan oleh bank dan jasa yang sama
yang dilakukan oleh WP bukan bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak
dipotong Pajak Penghasilan, tetapi pembayaran pajaknya melalui angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25. (Pasal 23 (4) a).
Angsuran
Pajak
Perubahan ketentuan dalam
pasal 25 ayat 7 yaitu Menteri Keuangan menentukan besarnya angsuran pajak bagi
wajib pajak pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari
junlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan.
Fiskal
Luar Negeri
Bagi wajib pajak orang
pribadi yang memiliki NPWP tidak membayar fiskal luar negeri berdasarkan
ketentuan pasal 25 ayat 8.
Fasilitas
Pajak
Dalam pasal 31A ayat 1, kepada
wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala
nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
1. pengurangan
penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
yang dilakukan;
2. penyusutan
dan amortisasi yang dipercepat;
3. kompensasi
kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
4. pengenaan
Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%
(sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang
berlaku menetapkan lebih rendah.
Dalam
pasal 31A ayat 2, ketentuan mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional
serta pemberian fasilitas perpajakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam
pasal 31E ayat 1, wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp4.800.000.000,00
Perjanjian Pajak (Tax Treaty)
Obligasi Negara
Dalam
rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif
khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara
yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan
perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan
yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia.
BENDAHARAWAN
Sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan
pajak atas pengeluaran yang berasal dari APBN/APBD adalah bendahara pemerintah.
Termasuk dalam pengertian bendahara pemerintah antara lain bendahara
pengeluaran, pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Sebagai pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, bendahara
pemerintah harus mengerti aspek-aspek perpajakan, terutama yang berkaitan
dengan kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Bea Meterai. Secara
umum, kewajiban perpajakan bagi bendahara pemerintah adalah:
1.
Mendaftarkan
Diri Menjadi Wajib Pajak
Bendahara
pemerintah yang mengelola dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib mendaftarkan
diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas
bendahara dalam menjalankan kewajiban perpajakannya yaitu memotong/memungut,
menyetor, dan melaporkan PPh dan/atau PPN.
a. Tempat
pendaftaran
Bendahara pemerintah wajib
mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang sesuai dengan tempat
kedudukan unit kerja.
b. Tata
cara pendaftaran
§ mengisi
formulir pendaftaran Wajib Pajak untuk Wajib Pajak bendahara yang tersedia di
KPP dengan melampirkan fotokopi surat penunjukan sebagai bendahara dan Kartu
Tanda Penduduk bendahara tersebut;
§ KPP
menerbitkan NPWP yang terdiri dari 15 digit dan Surat Keterangan Terdaftar
paling lama 1 (satu) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap; NPWP
akan diterbitkan oleh KPP dengan nama bendahara unit/satuan kerja.
2.
Melakukan
Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh, PPN dan Bea Materai
Kewajiban
bendahara pemerintah sehubungan dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Bea Meterai adalah pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Meterai.
a. Pemotongan
PPh Pasal 21
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 21 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Bendahara
pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya
sehubungan dengan pekerjaan/jasa/kegiatan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal
21.
Pembayaran
Penghasilan yang wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh bendahara pemerintah antara
lain adalah pembayaran atas gaji, tunjangan, honorarium, upah, uang makan dan
pembayaran lainnya (tidak termasuk pembayaran biaya perjalanan dinas), baik
kepada pegawai maupun bukan pegawai.
Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal
21 adalah:
§ Pasal
21 Undang-undang PPh;
§ Peraturan
Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010;
§ Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008;
§ Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010;
§ Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012;
§ Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012;
§ Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013.
b.
Pemungutan PPh Pasal 22
Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang seperti:
komputer, meubeler, mobil dinas, ATK dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada
Wajib Pajak penyedia barang. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh:
§ bendahara
pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang;
§ bendahara
pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan
(UP);
§ Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut adalah: 1,5% x harga beli (tidak termasuk PPN)
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut adalah: 1,5% x harga beli (tidak termasuk PPN)
Pemungutan PPh Pasal 22 atas belanja barang tidak
dilakukan apabila:
§ pembelian
barang dengan nilai maksimal pembelian Rp2.000.000,00 dengan tidak dipecah-pecah
dalam beberapa faktur;
§ pembelian
bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos;
dan
§ pembayaran
untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS).
Peraturan terkait pelaksanaan pemungutan PPh Pasal
22 adalah:
§ Pasal
22 Undang-Undang PPh;
§ Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.11/2012;
§ Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2013.
c. Pemotongan
PPh Pasal 23
Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 atau PPh Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh
bendahara kepada pihak lain. Penghasilan yang dibayarkan
tersebut antara lain:
tersebut antara lain:
§ sewa
dan penghasilan (PPh) lain sehubungan dengan penggunaan harta, royalti,
hadiah/penghargaan.
§ imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain.
Jasa lain yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23
antara lain:
§ Jasa
penilai (appraisal);
§ Jasa
aktuaris;
§ Jasa
akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
§ Jasa
perancang (design);
§ Jasa
penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
§ Jasa
penebangan hutan;
§ Jasa
pengolahan limbah;
§ Jasa
penyedia tenaga kerja (outsourcingservices)
§ Jasa
perantara dan/atau keagenan;
§ Jasa
kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
§ Jasa
sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan
perbaikan;
§ Jasa
instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau
TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
§ Jasa
Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin
dan/atau sertifiasi sebagai pengusaha konstruksi;
§ Jasa
maklon;
§ Jasa
penyelenggara kegiatan atau event organizer;
§ Jasa
pengepakan;
§ Jasa
penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media
lain untuk penyampaian informasi;
§ Jasa
pembasmian hama;
§ Jasa
kebersihan atau cleaning service;
§ Jasa
catering atau tata boga.
Peraturan-peraturan terkait pelaksanaan pemotongan
PPh Pasal 23 adalah:
§ Pasal
23 Undang-Undang PPh
§ Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008
d. Pemotongan
/ Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2)
Pemotongan atau pemungutan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun
berjalan antara lain melalui pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat
final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penghasilan tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final adalah:
§ Persewaan
tanah dan/atau bangunan
1) objek
PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium,
gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah
kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri.
2) besarnya
PPh Final yang dipotong adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan,
baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan.
3) jumlah
bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa
termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service
charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
§ Pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan
1) objek
PPh fial adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
meliputi penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.
2) besarnya
PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
3) pembebasan
PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada:
ü orang
pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah pecah.
Pembebasan diberikan
melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar
ü pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus yaitu pembebasan
tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air,
waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan
laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. (tanpa SKB)
ü pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
yang tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan negara asing).
(tanpa SKB)
§ Jasa
konstruksi
1) pekerjaan
konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural,
sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
2) perencanaan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan
pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
3) pelaksanaan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan
konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model
penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering,
procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan
pembangunan (design and build).
4) pengawasan
konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.
5) Tarif
dan Dasar Pengenaan PPh Final Jasa Konstruksi:
Pelaksana Kontruksi:
·
mempunyai kualifikasi usaha kecil dengan
tarif 2%
·
mempunyai kualifikasi usaha kecil dengan
tarif 3%
·
tidak mempunyai kualifikasi usaha dengan
tarif 4%
Perencanaan/Pengawasan kontruksi:
·
mempunyai kualifikasi usaha dengan tarif
4%
·
tanpa kualifikasi usaha dengan tarif 6%
Peraturan-peraturan
terkait pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
a. Pasal
4 ayat (2) Undang-Undang PPh;
b. PP
Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 71 Tahun
2008;
c. PP
Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002;
d. PP
Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009;
e. Keputusan
Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008;
f. Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002;
g. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009;
h. Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002.
Kewajiban
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang
bersifat tidak final tidak dilakukan dalam hal bendahara pemerintah melakukan transaksi
dengan Wajib
Pajak yang memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 dan menyerahkan Surat Keterangan Bebas PPh yang telah dilegalisasi.
3.
Kewajiban
Penyetoran dan Pelaporan
Kewajiban
bendahara pemerintah selanjutnya adalah menyetorkan PPh dan/atau PPN ke Bank
Persepsi/Kantor Pos penerima pembayaran dan melaporkan SPT Masa PPh dan/atau
PPN ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak bendahara terdaftar
sesuai batas waktu yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran
Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Batas
waktu pembayaran/penyetoran pajak yang sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara
pemerintah serta tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan Masa adalah sebagai
berikut:
Pasal
|
Tanggal Penyetoran
|
Tanggal Pelaporan
|
PPh Psl 21
|
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
Paling lama 20 hari setelah masa pajak
berakhir
|
PPh Psl 22
|
Disetor pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran
|
Paling lama 14 hari setelah masa pajak
berakhir
|
PPh Psl 23
|
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
Paling lama 20 hari setelah masa pajak
berakhir
|
PPh Psl 4 (a)
|
Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir
|
Paling lama 20 hari setelah masa pajak
berakhir
|
Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan
kewajiban pemotongan/pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak-pajak yang
telah dipotong/dipungut antara lain:
a. apabila
batas akhir pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk
hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya;
b. apabila
batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya;
c. pembayaran
dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain
yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak;
d. dalam
hal pencairan anggaran dengan mekanisme pembayaran langsung (LS), maka
pemindahbukuan pajak yang dilakukan oleh KPPN merupakan pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang, namun Surat Setoran Pajak tetap dipersiapkan
oleh bendahara yang bersangkutan;
e. Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
f. bendahara
sebagai Pemotong atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda
bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut
PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan;
g. bendahara
sebagai Pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS di satuan kerjanya,
memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun
kalender berakhir;
h. bendahara
sebagai Pemungut PPN melakukan validasi Faktur Pajak yang diterbitkan oleh
rekanan;
i.
Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 wajib
menggunakan e-SPT apabila jumlah bukti pemotongan dan/atau SSP dan/atau bukti
Pbk lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak;
j.
Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD) wajib membuat
Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah (DTH) atas Belanja Daerah yang memuat
rincian transaksi harian belanja daerah per Surat Perintah Membayar/Surat
Penyediaan Dana (SPM/SPD) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). DTH yang
dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD disampaikan kepada Kuasa BUD paling lama
tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir dengan dilampiri fotokopi
SSP lembar ke-3;
k. Kuasa
BUD membuat Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah (RTH) yang memuat
rekapitulasi dari DTH dalam satu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota berdasarkan
DTH yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD. RTH disampaikan kepada
Kepala KPP tempat Kuasa BUD terdaftar secara bulanan paling lama tanggal 20
setelah bulan yang bersangkutan berakhir
dengan dilampiri DTH dan SSP lembar ke-3. Dalam pembuatan laporan DTH/RTH,
bendahara SKPD maupun Kuasa BUD dapat memanfaatkan sistem informasi yang
digunakan oleh Pemda (SIMDA,SIPKD, SIMAKDA dan lain-lain).
REFERENSI
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
2. Buku Saku "Bendahara mahir
pajak". http://www.pajak.go.id/content/buku-panduan-pajak-2013
3. http://ditto-w.blogspot.co.id/2009/03/pokok-pokok-perubahan-uu-no-36-tahun_04.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar