Senin, 09 November 2015

Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata (KUP dan KUHD)

Hubungan Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata (KUP dan KUHD) 

Hukum Pajak banyak sekali hubungannya dengan Hukum Perdata, hal ini dapat dimengerti karena Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa (kematian, kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang diatur dalam Hukum Perdata. Hal ini dijadikan Tesbestand yang dituangkan dalam Undang-undang pajak, dan bila dipenuhi syarat-syaratnya akan menyebabkan seseorang atau badan dikenakan pajak. Sebagian Sarjana mengatakan bahwa bukan itu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang erat antara Hukum Pajak dengan Hukum Perdata, melainkan suatu ajaran di bidang hukum yang menyatakan bahwa lex specialis derogat lex generale, yaitu hukum yang khusus menyimpangkan hukum yang umum.


Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya Het Belastingrescht van Indonesie, menyatakan bahwa hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus di pegang teguh, bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak. Misalnya mengenai istilah tempat tinggal atau domisili, diatur baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak.

Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 25 BW, sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dama Undang-undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.  Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut adalah :
  1. Pasal 17 B.W : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
  2. Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 : Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
  3. Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 : Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.
Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spescialis).

Hubungan KUP dan KUHperdata

Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hukum Perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik (Administrasi negara) yang mengatur hubungan khusus  antara pemerintah (DJP) dengan masyarakat (WP).
Hukum pajak  selalu mencari dasar  kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata
Misalkan: berupa perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan dan  warisan
Hk. Pajak (Subjek Pajak)  = Hk. Perdata (Subjek Hukum)

PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA

Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari Lex specialis derogat lex generale, maka dalam setiap Undang-undang, penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada diketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain :

Hak majikan memotong Pajak.
  1. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa : Si majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan.
  2. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun yang baru.

Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordomamsi PPd 1944 menyatakan bahwa majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upah/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji.

Di dalam Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 dinyatakan pada ayat (1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh :
  1. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia.
  2. Dan seterusnya. Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-undang Pajak sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si buruh, padahal dalam Undang-undang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan dalam Undang-undang pajaknya yang dianut.

1 komentar: