Senin, 09 November 2015

Pokok-pokok Perubahan KUP 2007

Pokok-pokok Perubahan KUP 2007



I.             DASAR HUKUM
Undang-undang mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan diundangkan pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.  Undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 januari 1984.  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu:
1.      Undang-Undang Nomor  9 Tahun 1994, mulai berlaku sejak 1 januari 1995.
2.      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, mulai berlaku sejak 1 januari 2001.
3.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, mulai berlaku sejak 1 januari 2008.
Pada tahun 2009 terbit Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.Undang-undang ini diterbitkan dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global, seningga sangat mendesak untuk memperkuat basis perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil.  Pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sangat efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional, sehingga perlu memperpanjang jangka waktu pelaksanaan ketentuan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. 


II.          POKOK-POKOK PERUBAHAN KUP
Pokok-pokok perubahan mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang diatur dalam UU nomor 28 tahun 2007 adalah meliputi:
1.         Definisi (pasal 1)
Beberapa definisi disesuaikan dan ditambah, seperti definisi pajak,  bukti permulaan,  pemeriksaan bukti permulaan, penyidik, putusan gugatan, putusan peninjauan kembali, surat keputusan pemberian imbalan bunga, tanggal dikirim, dan tanggal diterima.   
2.         Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (pasal 2)
Menegaskan bahwa hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dimulai sejak Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif, dan bukan sejak diberikannya Nomor Pokok Wajib Pajak. Wajib Pajak yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP selama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya UU KUP baru, diberikan penghapusan sanksi administrasi atas kewajiban perpajakan sebelumnya yang belum dilaksanakan.
Ketentuan  sebelumnya  :
[1]   Kewajiban perpajakan dimulai sejak WP memenuhi persyaratan subjektif dan objektif belum diatur secara tegas.
[2]   Wanita kawin yang dapat memperoleh NPWP hanya wanita kawin yang “hidup terpisah” atau “pisah penghasilan dan harta secara tertulis” dari suaminya.
Perubahan :
[1]   Diatur secara tegas bahwa kewajiban perpajakan WP dimulai sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
[2] Wanita kawin yang tidak pisah harta dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sebagai sarana untuk memenuhi hak dan kewajiban perpajakan atas namanya sendiri.
3.       Surat Pemberitahuan - SPT (pasal 3)
Pengambilan, penyampaian, dan penandatanganan SPT dapat dilakukan secara elektronik atau stempel. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh untuk WP orang pribadi paling lambat tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak, sedangkan untuk Wajib Pajak badan paling lambat empat bulan setelah akhir Tahun Pajak. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh paling lama dua bulan, dengan cara menyampaikan SPT secara tertulis. Wajib pajak dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan sampai dengan batas waktu daluwarsa, dengan cara menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan.   Pembetulan atas SPT Tahunan PPh untuk tahun 2006 dan sebelumnya yang dilakukan pada tahun pertama berlakunya UU ini, diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.  Wajib Pajak yang alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, jika dilakukan untuk yang pertama kalinya, maka dikenakan sanksi administrasi sebesar 200% dari pajak yang tidak atau kurang dibayar.   
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT hanya secara manual.
[2]   Batas akhir penyampaian semua SPT Tahunan PPh paling lambat 3 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
[3]   Perpanjangan SPT dengan permohonan dan harus dengan persetujuan Dirjen Pajak.
Perubahan :
[1]   Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT dapat secara manual dan elektronik.
[2]   Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh badan paling lambat 4 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
[3]   Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT cukup dengan pemberitahuan
4.         Sanksi Administrasi (pasal 7)
Sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan diubah.
Ketentuan sebelumnya :
Denda keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT:
[1]   SPT Masa Rp 50 ribu;
[2]   SPT Tahunan Rp 100 ribu.
Perubahan :
[1]   SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100 ribu;
[2]   SPT Tahunan PPh badan Rp 1 juta;
[3]   SPT Masa PPN Rp 500 ribu;
[4]   SPT Masa Lainnya Rp 100 ribu.
5.         Pembetulann Pajak (pasal 8)
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Paling lama 2 (dua) tahun setelah Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, Tahun Pajak, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
[2]   Sanksi administrasi pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 200%.
Perubahan :
[1]   Sampai dengan daluwarsa, kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
[2]   Sanksi administrasi atas pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 150%.
6.         Pembayaran Pajak (pasal 9 dan pasal 10)
Pajak yang telah dibayar atau disetor dengan Surat Setoran Pajak pada tempat pembayaran yang ditentukan merupakan pembayaran pajak yang sah apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan disampaikan, danpelunasan ketetapan pajak harus dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, dapat diperpanjang paling lama menjadi dua bulan.   
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Pembayaran pajak yang dianggap sah belum diatur secara tegas. (Pasal 10)
[2]   Kekurangan pajak berdasarkan SPT Tahunan dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. (Pasal 9)
[3]   Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk semua Wajib Pajak paling lama 1 bulan. (Pasal 9)
Perubahan :
[1]   Penegasan bahwa pembayaran pajak di tempat yang ditentukan Menteri Keuangan adalah sah apabila telah disahkan oleh pejabat pada tempat pembayaran tersebut. (Pasal 10)
[2]   Kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan. (Pasal 9)
[3]   Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan. (Pasal 9)
7.         Penetapan dan Ketetapan
Tidak semua SPT Lebih Bayar harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Misalnya untuk Wajib Pajak Patuh dan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat tiga bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PPh, dan paling lambat satu bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PPN.
berikut ini dasar perlakuannya:
pasal 13A (Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan)
Ketentuan sebelumnya :
·         Sanksi administrasi untuk kealpaan yang pertama dilakukan Wajib Pajak, tidak diatur.
Perubahan :
·         Kealpaan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.
pasal 14 (Dasar Penerbitan STP)
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Pelaporan faktur pajak yang tidak sesuai dengan masa penerbitan tidak diatur.
[2]   Pengusaha yang gagal berproduksi dan telah mengkreditkan Faktur Pajak Masukan tidak diatur khusus.
[3]   Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak dikenai sanksi administrasi dengan STP.
Perubahan :
[1]   Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak dikenai sanksi.
[2]   Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan diwajibkan membayar kembali.
[3]   Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak, tidak dikenai sanksi administrasi tetapi dikenai sanksi pidana.
pasal 16 (Pembetulan Ketetapan Pajak)
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Yang dapat dibetulkan adalah SKP, STP, SK Keberatan, SK Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, SK Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar atau SKPPKP.
[2]   Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1]   Menambahkan produk hukum yang dapat dibetulkan, yaitu SK Pembetulan, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
[2]   Memecah produk hukum yang dapat dibetulkan, yaitu SK Pengurangan atau Pembatalan ketetapan pajak menjadi SK Pengurangan Sanksi Administrasi dan SK Penghapusan Sanksi Administrasi serta SK Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak menjadi SK Pengurangan Ketetapan Pajak dan SK Pembatalan Ketetapan Pajak.
[3]   Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.
[4]   Apabila permintaan WP ditolak atau diterima sebagian, diberikan alasan.
pasal 17B (Penyelesaian SPT LB)
Ketentuan sebelumnya :
·         Batas akhir pemeriksaan SPT LB bagi Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tidak diatur khusus.
Perubahan :
·         Batas akhir pemeriksaan SPT LB tertunda bila WP terhadap dilakukan pemeriksaan bukti permulaan.
Pasal 17C & 17D (Percepatan Restitusi)
Ketentuan sebelumnya :
·         Hanya untuk Wajib Pajak Patuh. (paling lama 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN)
Perubahan :
[1]   Untuk Wajib Pajak Patuh; dan
[2]   Untuk Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (WP beresiko rendah, seperti pengusaha kecil dan Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari satu pemberi kerja)
8.         Restitusi PPN atas Barang Bawaan bagi Turis Asing (pasal 17E)
Turis manca negara yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian barang di dalam negeri untuk dikonsumsi di luar negeri, dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar.   
Ketentuan  sebelumnya :
·         Tidak diatur
Perubahan :
·         Dapat diberikan Restitusi PPN atas pembelian barang bawaan oleh wisatawan mancanegara.

9.         Daluwarsa Penetapan dan Penagihan (pasal 13 dan pasal 22)
Daluwarsa penetapan; Daluwarsa penetapan pajak dipersingkat dari sepuluh tahun menjadi lima tahun sejak Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Daluwarsa penetapan tersebut dapat melampaui lima tahun sejak Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat merugikan pendapatan negara. Daluwarsa penagihan pajak dipersingkat dari sepuluh tahun sejak Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak menjadi lima tahun yang dihitung sejak penerbitan ketetapan pajak.   
Ketentuan sebelumnya :
·         Untuk penetapan dan penagihan: 10 (sepuluh) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Perubahan :
[1]   Untuk penetapan: 5 (lima) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
[2]   Untuk penagihan: 5 (lima) tahun sejak penerbitan penetapan pajak.
10.     Hak Mendahulu (pasal 21)
Hak mendahulu untuk melakukan penagihan pajak atas barang-barang milik penanggung pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, yang selama ini dibatasi selama dua tahun, diubah menjadi sampai dengan daluwarsa penagihan pajak.  
Ketentuan sebelumnya :
·         Hak mendahulu untuk melakukan penagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya. Selama ini dibatasi 2 tahun setelah penyampaian Surat Paksa.
Perubahan :
·         Hak mendahulu diubah menjadi sampai dengan daluwarsa penagihan pajak.
11.     Gugatan (pasal 23)
Menambah objek gugatan yang dapat diajukan Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak, yaitu: keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak, dan penerbitan surat ketetapan pajak atau keputusan keberatan keberatan yang tidak sesuai prosedur.   
Ketentuan sebelumnya :
Yang dapat digugat (objek gugatan):
[1]   Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
[2]   Semua Keputusan selain Pasal 25 dan Pasal 26;
[3]   Pasal 16 dan Pasal 36 yang berkaitan dengan STP.
Perubahan :
Ditambahkan:
[1]   KePutusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak.
[2]   Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang tidak sesuai dengan prosedur.
12.     Keberatan (pasal 25)
Keberatan harus diajukan paling lama tiga bulan sejak tanggal dikirim SKP. Diatur tata cara mengenai permohonan dan penyelesaian keberatan, antara lain Wajib Pajak diberi kesempatan hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai permohonan keberatannya. Wajib Pajak yang mengajukan keberatan, pelunasan SKPKB atau SKPKBT-nya tertunda sampai dengan diterbitkannya keputusan keberatan. Apabila keputusan keberatan menyatakan terdapat pajak yang kurang atau tidak dibayar, maka atas kekurangannya dikenakan sanksi 50%. Namun bila Wajib Pajak banding, sanksi 50% tersebut tidak dikenakan.   
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Proses penyelesaian keberatan belum diatur.
[2]   Keberatan diajukan harus dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak.
[3]   Data/informasi yang dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan tidak diatur secara khusus.
[4]   Keberatan tidak menunda kewajiban pembayaran dan penagihan pajak.
Perubahan :
[1]   Wajib Pajak berhak untuk memperoleh hasil penelitian keberatan dan hadir untuk memberikan keterangan dan menerima penjelasan dalam pembahasan keberatan.
[2]   Keberatan diajukan harus dalam jangka waktu 3 bulan sejak surat ketetapan pajak dikirim.
[3]   Data/informasi yang pada saat pemeriksaan masih berada pada pihak ketiga, dapat dipertimbangkan.
[4] Wajib Pajak membayar ketetapan pajak paling sedikit sejumlah pajak yang disetujui oleh Wajib Pajak.
[5]   Jangka waktu pelunasan pajak tertangguh.
[6]   Jumlah pajak yang diajukan keberatan belum merupakan utang pajak.
[7]   Apabila Wajib Pajak kalah dan masih harus membayar kekurangan pajak, dikenai denda 50%.
13.     Banding (pasal 27)
Wajib Pajak yang mengajukan banding, pelunasan terhadap SK Keberatan tertunda sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding. Saat banding, Wajib Pajak dapat meminta alasan DJP mengenai alasan ditolak atau dikabulkan sebagian pengajuan keberatannya. Apabila putusan banding menyatakan terdapat pajak yang kurang atau tidak dibayar, maka atas kekurangannya dikenakan sanksi 100%.
Ketentuan sebelumnya :
[1]   mengenai banding tidak diatur secara khusus
Perubahan :
[1]   Jumlah pajak yang diajukan banding belum merupakan utang pajak sehingga tidak ditagih dengan surat paksa. (pasal 27)
[2]   Apabila Wajib Pajak kalah, dikenai denda sebesar 100% dari pajak yang belum dilunasi. (pasal 27)
[3]   Wajib Pajak berhak memperoleh keterangan secara tertulis mengenai dasar keputusan keberatan. (pasal 27)
14.     Pembukuan atau Pencatatan (pasal 28)
Memperjelas dan mempertegas peraturan yang berkaitan dengan kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, yaitu Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, dan menambah ketentuan bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan secara elektronik atau secara program aplikasi on-line, juga wajib menyimpan softcopy di Indonesia selama 10 tahun.   
Ketentuan sebelumnya :
·         Kewajiban menyimpan data pembukuan yang dikelola secara elektronik belum diatur.


Perubahan :
·         Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara elektronik atau program aplikasi online wajib menyimpan soft copy di Indonesia selama 10 tahun.
15.     Pemeriksaan (pasal 29)
Pemeriksa pajak dapat melakukan penyegelan terhadap barang bergerak atau tidak bergerak. Penghasilan kena pajak Wajib Pajak orang pribadi dapat dihitung secara jabatan, apabila Wajib Pajak pada saat diperiksa tidak menyampaikan data-data yang diminta pemeriksa pajak. Dokumen dalam rangka pemeriksaan pajak wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lambat satu bulan sejak permintaan disampaikan.
Ketentuan sebelumnya :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak belum diatur secara tegas.
[2]   Prosedur pemeriksaan belum diatur secara tegas di dalam batang tubuh Undang-Undang.
[3]   Keharusan penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan pembahasan akhir (closing conference) hanya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1]   Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak diatur secara tegas.
[2]   Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak meminjamkan atau memperlihatkan dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan, pajaknya dapat dihitung secara jabatan.
[3]   Dokumen untuk pemeriksaan wajib dipenuhi paling lambat satu bulan.
[4]   Prosedur pemeriksaan mengenai penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan hak WP untuk hadir dalam pembahasan akhir (closing conference), dimuat dalam batang tubuh UU.
[5] Bila pemeriksaan tidak memenuhi prosedur ini, maka hasil pemeriksaan dibatalkan.
16.     Akses Data Perpajakan (pasal 29A dan pasal 35A)
Menambah ketentuan yang mengatur kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.   
Ketentuan sebelumnya :
·         Belum diatur secara tegas, Terbatas pada adanya kegiatan pemeriksaan pajak.
Perubahan :
[1]   Wajib Pajak Go-Public yang laporan keuangannya Wajar Tanpa Pengecualian, dapat dilakukan pemeriksaan cukup dengan pemeriksaan kantor apabila Wajib Pajak tersebut termasuk dalam kriteria yang harus diperiksa. (pasal 29A)
[2] Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak; (pasal 35A)
[3]   Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan dikenakan sanksi pidana penjara dan denda. (pasal 35A)
17.     Pengurangan dan Pembatalan Direktur Jenderal Pajak (pasal 36)
Sanksi administrasi dapat dikurangkan atau dihapuskan karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Dilakukan terhadap ketetapan pajak yang tidak benar;
[2]   Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1]   Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
[2]   Mengurangkan atau membatalkan STP yang tidak benar;
[3]   Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur;
[4]   Batas akhir Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.
18.     Imbalan Bunga (pasal 27A)
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat dari keputusan keberatan, putusan banding dan putusan peninjauan kembali, serta keputusan pembetulan, keputusan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.   
Ketentuan sebelumnya :
·         Surat Keputusan Keberatan dan putusan banding yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, hanya atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

Perubahan :
·         Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan, Surat Keputusan Pengurangan dan Surat Keputusan Pembatalan atas surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak, serta Surat Keputusan Keberatan, putusan banding, putusan Peninjauan Kembali atas surat ketetapan pajak, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.
19.     Sanksi Bagi Petugas Pajak (pasal 36A)
Mengubah ancaman sanksi bagi Petugas pajak, yaitu bila terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada WP diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketentuan sebelumnya :
·         Sanksi bagi petugas pajak yang melakukan penyalahgunaan wewenang diatur secara umum.
Perubahan :
[1]   Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi.
[2]   Pegawai pajak yang dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan dan dikenai sanksi.
[3]   Pegawai pajak yang terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri dipidana berdasarkan KUHP.
[4]   Pegawai pajak yang memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana berdasarkan UU Tipikor.
[5]   Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
20.     Kode Etik Bagi Petugas Pajak (pasal 36B)
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, serta pengawasan dan pengaduan pelanggaran Kode Etik Pegawai DJP dilaksanakan oleh Komite Kode Etik.   
Ketentuan sebelumnya : Diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1]   Pegawai DJP wajib mematuhi Kode Etik.
[2]   Pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran Kode Etik dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
21.     Komite Pengawas Perpajakan (pasal 36C)
Menteri Keuangan membentuk komite pengawasan di bidang perpajakandalam rangka pengawasan perpajakan.
Ketentuan sebelumnya : Tidak diatur.
Perubahan :
·         Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
22.     Sunset Policy (pasal 37A)
Ketentuan sebelumnya : Tidak diatur.
Perubahan :
[1]   WP yang membetulkan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2007 selama masa 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU, diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
[2]   Wajib Pajak Orang Pribadi yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU ini diberi kemudahan:
[2.a.]    diberikan penghapusan sanksi administrasi
[2.b.]   Tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data yang menyatakan bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.
23.     Ketentuan Pidana (pasal 39A dan pasal 41A)
Bentuk ancaman sanksi pidana pajak yang sebelumnya hanya mengatur tentang pidana maksimal, beberapa ketentuan pidana pajak diubah menjadi pidana minimal dan maksimal.
Ketentuan sebelumnya :
[1]   Pidana atas penerbit dan pengedar Faktur Pajak fiktif dan setoran pajak fiktif belum diatur.
[2]   Belum mengatur kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Perubahan :
[1]   Penerbit, pengguna, pengedar Faktur Pajak fiktif, dan/atau bukti pemungutan dan/atau bukti pemotongan pajak fiktif (bermasalah), diancam pidana penjara dan pidana denda; (pasal 39A)
[2]   Setiap orang dari asosiasi, instansi dan lembaga Pemerintah, dan pihak ketiga yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak, termasuk pihak yang menyebabkan tidak terpenuhinya data dan informasi dimaksud dikenai sanksi pidana. (pasal 41A)
24.     Ketentuan Penyidikan (pasal 44)
Wewenang penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan oleh Penyidik PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.  Wewenangnya adalah melakukan penggeledahan dan penyitaan dalam arti yang lebih luas, yaitu penyitaan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan atau pihak atau pihak-pihak lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka.  
Ketentuan sebelumnya :
·         Belum dijelaskan secara tegas mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan hal-hal yang dapat dilakukan penyitaan.
Perubahan :
[1]   Yang menyidik hanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
[2]   Penyitaan dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga, milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, atau pihak-pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

III.       HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
1.         Kewajiban Wajib Pajak
a)      kewajiban mendaftarkan diri
Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Disamping melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-registration (e-reg), yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).
Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh KPP atau KP2KP apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha orang pribadi atau badan tersebut melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- setahun. Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dapat juga melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, diwajibkan untuk memungut PPN dari setiap pembeli/pemakai jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN yang sudah dipungut, kemudian dilaporkan dalam laporan bulanan (SPT Masa) dan apabila ternyata ada PPN yang harus disetor ke bank atau kantor pos, maka harus disetor terlebih dahulu sebelum dilaporkan ke ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. KPP atau KP2KP akan melakukan penelitian mengenai keberadaan dan kegiatan usaha di tempat usaha Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP tersebut.
b)      Kewajiban pembayaran, pemotongan/pemungutan, dan pelaporan pajak
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
c)      Kewajiban dalam hal diperiksa
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
1)      Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
2)      Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang Menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah secara elektronik.
3)      Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan.
4)      Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
5)      Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
6)      Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
d)     Kewajiban memberi data
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak  Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

2.         Hak Wajib Pajak
1)      Hak atas kelebihan pembayaran pajak
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan. Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara:
a)      melalui Surat Pemberitahuan (SPT)
b)      dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan
2)      Hak kerahasiaan bagi wajib pajak
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.
Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain:
a)      Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b)      Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
c)      Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3)      Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.
4)      Hak untuk penundaan pelaporan SPT tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.
5)      Hak untuk pengurangan pph pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
6)      Hak untuk pengurangan pajak bumi dan bangunan
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.
Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota/kabupaten setempat.
7)      Hak untuk pembebasan pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.
8)      Hak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.
9)      Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.
10)  Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

IV.       Wewenang Dan Kewajiban Aparat Perpajakan
1.         WewenangAparat Perpajakan:
a)      Wewenang menerbitkan surat ketetapan pajak
Dalam jangka waktu 5 tahun setelah terhutangnya pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal sebagai berikut:
·         Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
·         Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 3 dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
·         Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai ppn dan ppn-bm ternyata tidak segera dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 %.
·         Apabila kewajiban sebagaiman dimaksud dalam pasal 28 dan 29 tidak terpenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terhutang. KUP : pasal 13 ayat (1).
·         Direkturat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terhutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terhutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar Tambahan. KUP : Pasal 15 ayat (1).
·         Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sangksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dai jmlah kekurangan pajak tersebut. KUP : Pasal 15 ayat (2).
·         Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan  Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pandahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, Yang Dalam Penerbitannya Tedapat Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung. Dan atau kekeliruan penetapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP : Pasal 16 ayat (1).
b)      Wewenang menerbitkan surat tagihan pajak
Direkturat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
1)      Pajak penghasilan tidak atau kurang dibayar;
2)      Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis atau salah hitung;
3)      Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga;
4)      Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat faktur pajak, atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu;
5)      Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha yang kena pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap;
6)      Pengusaha Kena Pajak yang melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak.
7)      Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.
c)      Wewenang Melakukan Penagihan Pajak
1)       Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat KeputusanKeberatan Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertmbah, merupakan dasar penagihan pajak.
2)       Tindakan pelaksanaan pajak yang terhutang sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan, Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang dibayar, setelah lewat jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan.
3)       Tindakan pelaksanaan penagihan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 diawali dengan mengeluarkan surat teguran oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak setelah tujuh hari sejak jatuh tempo pembayaran.
d)     Wewenang melakukan pemeriksaan
1)    Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2)    Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksaan dan dilengkapi dngan surat perintah pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada wajib pajak yang diperiksa.
3)    Pemeriksaan untuk menguji ketentuan pemenuhan kewajiban perpajakan.
4)    Pemeriksaan untuk tujuan lain, dilakuakan jika ada indikasi tidak terpenuhinya kewajiban salah satu ketentuan peraturan perundang –undangan perpajakan.
e)      Wewenang melakukan penyelidikan
1)      Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat PNS tertentu di lingkungan Dirjen Pajak diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
2)      Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Acara Pidana.
f)       Wewenang melakukan penyegelan
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan tidak bergerak, apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (3).
g)      Wewenang melakukan pencegahan dan penyanderaan
Melakukan pencegahan terhadap Wajib Pajak untuk pergi ke luar negeri didasarkan pada ketentuan Pasal 29 UU tentang Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). Pencegahan dilakukan apabila WP atau Penanggung Pajak mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Direktur Jenderal Pajak juga berwenang melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak atau Penangung Pajak didasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat 1 UU PPSP, yaitu apabila masih mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
h)      Wewenang mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi.
Direktur jenderal pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat :
1)      Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
2)      Mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
3)      Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak;
4)      Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan.
2.      Kewajiban Aparat Perpajakan:
a)         Kewajiban menerbitkan surat ketetapan pajak
·         Direktur Jendral Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terhutang. KUP: Pasal 17
·         Direktur Jendral Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil, apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak  atau tidak ada pembayaran pajak. KUP: PASAL 17 A
·         Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan  pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 bulan setelah sejak surat permohonan diterima secara lengkap. KUP: Pasl 17B ayat (1).
b)         Kewajiban memberikan keputusan
·         Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. KUP: Pasal 26 ayat (1).
·         Keputusan Direktur Jendral Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak  yang masih harus dibayar. KUP: Pasal 26 ayat (3).
c)         Kewajiban memberikan keterangan
Apabila diminta oleh Wajib Pajak  untuk keperluan mengajukan keberaytan, Direktur Jendral Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan  rugi pemotongan atau pemungutan pajak. KUP: Pasal 25 ayat (6).
d)         Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Data
·         Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang dilakukan yang diketahui kepadanya oleh Wajib Pajak atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP: Pasal 34 ayat (1).
·         Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. KUP: Pasal 34 ayat (2).
·         Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah:
1)      Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
2)         Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat Lembaga Negara atau Instansi Pemerintahan yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan. KUP: Pasal 34 ayat (2a).


1 komentar:

  1. Yuk Coba Keberuntunganmu Setiap Hari... Join Disini Sekarang Kumpulan Berbagai Macam Permainan Taruhan Online Terbaik di Indonesia, Kunjungi Website Kami Di Klik Disini dan Dapatkan Bonus Terbaru 8X 9X 10X win klik disini untuk mendapatkan akun Sabung Ayam anda dan Bonus Berlimpah.

    BalasHapus