Senin, 11 April 2016

Income Redistribution: Conceptual Issues

Income Redistribution
Conceptual Issues


I.    LATAR BELAKANG
Menurut pandangan secara umum, salah satu seni dalam pemerintahan  adalah  bagaimana uang diambil sebanyak mungkin dari satu kelas tertentu untuk diberikan kepada kelas warga yang lain. Sehingga pandangan tersebut sering menimbulkan pertanyaan siapakah yang akan mendapatkan dan siapakah yang akan kehilangan sebagai akibat dari kebijakan tersebut yang kemudian menimbulkan dua permasalahan. Pertama, teori ekonomi kesejahteraan menunjukkan bahwa efisiensi merupakan standar normatif yang memadai selain kriteria lain yang harus dipertimbangkan ketika membandingkan alokasi alternatif sumber. Permasalahan kedua adalah kepedulian pengambil keputusan terhadap implikasi dari kebijakan tersebut. Pembuat kebijakan mungkin akan berfokus kepada isu-isu distribusi dan sama sekali tidak memperhatikan masalah efisiensi, oleh karena itu beberapa tradisi penting dari filsafat politik menunjukkan bahwa pemerintah harus dapat menunjukkan peran distributif.
Beberapa negara maju kerap kali dinamakan sebagai “negara kemakmuran” atau biasa disebut dengan welfare state. Dinamakan demikian karena negara-negara tersebut membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pendapatan, sehingga perbedaan diantara golongan masyarakat yang sangat kaya dengan masyarakat yang sangat miskin tidak terlihat begitu nyata. Hal tersebut dilakukan karena kesenjangan pendapatan merupakan permasalahan awal yang dapat memicu munculnya masalah kemiskinan.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini.Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara.Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.Negara maju menunjukkan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relatif kecil dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relatif tinggi.Walaupun demikian, masalah ini bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi permasalahan bagi dunia internasional. Berikut ini adalah data dari Biro Sensus  mengenai distribusi pendapatan di Amerika Serikat sejak akhir tahun 1960-an.
Tabel 1
Distribusi Pendapatan di Antara Rumah Tangga (tahun dipilih)
(dalam persen)
Tahun
20 % penduduk termiskin
20 % penduduk termiskin kedua
20 % pendudukMenengah
20 % penduduk terkaya Kedua
20 % penduduk  terkaya
Persentase
Top 5
1967
1977
1982
1987
1992
1997
2002
2004
4,0
4,2
4,0
3,8
3,8
3,6
3,6
3,4
10,8
10,2
10,0
9,6
9,4
8,9
8,8
8,7
17,3
16,9
16,5
16,1
15,8
15,0
14,8
14,7
24,2
24,7
24,5
24,3
24,2
23,2
23,3
23,2
43,6
44,0
45,0
46,2
46,9
49,4
49,7
50,1
17,2
16,8
17,0
18,2
18,6
21,7
21,7
21,8
Sumber : Rosen, Harvey S. Edisi ke-7


Tabel di atas menunjukkan adanya banyak ketidaksetaraan. Pada tahun 2004, 20 % peduduk dari populasi yang merupakan penduduk terkaya menerima sekitar 50% dari pendapatan, sedangkan 20 % penduduk dari populasi yang merupakan penduduk termiskin menerima kurang dari 5%. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa ketimpangan telah meningkat dari waktu ke waktu. Menariknya peningkatan ketidaksetaraan tidak terbatas di Amerika saja, tetapi telah terjadi di semua negara maju meskipun pada tingkat yang lebih rendah (Glaeser, 2005).
Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2015, dalam 15 tahun terakhir Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat. Pencapaian ini telah mengurangi tingkat kemiskinan dan memperbesar jumlah kelas menengah. Namun, manfaat dari pertumbuhan ini lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya.  Sekitar 80 persen penduduk atau lebih dari 205 juta orang rawan merasa tertinggal. Tingkat ketimpangan di Indonesia relatif tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain.
Berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional, baik berupa bantuan maupun pinjaman pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang.Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berperan dalam hal ini.Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan/ atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula.
Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses otomatis tersebut masih belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi terjadinya ketimpangan.

II.    RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan, antara lain:
  1. Apakah yang dimaksud dengan distribusi pendapatan?
  2. Apa yang dimaksud dengan ketimpangan distribusi pendapatan dan indikator apa saja yang digunakan dalam menentukannya?
  3. Apakah yang dimaksud dengan redistribusi pendapatan?
  4. Bagaimanakah  realitas yang terjadi di Indonesia terkait dengan redistribusi pendapatan?

III.    PEMBAHASAN 

3.1.    Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan merupakan suatu proporsi populasi yang ditentukan berdasarkan tingkat pendapatannya. Hal tersebut akan menunjukkan bahwa sebagian kecil keluarga menerima pendapatan yang sangat tinggi, dan sebagian lainnya menerima pendapatan yang rendah. Ukuran pokok untuk menilai distribusi pendapatan adalah :

c.    The size distribution of income (the personal distribution of income)
Pengukuran atas dasar ini biasanya dilakukan oleh ahli ekonomi. Cara mengukurnya adalah masing-masing individu dicatat penghasilan pertahunnya dari sejumlah individu yang diteliti secara sampling. Penghasilan dinyatakan dalam satuan uang, kemudian dikelompokkan berdasarkan urutan penghasilan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Dari hasil pengelompokkan tersebut akan diketahui kelompok golongan berpenghasilan rendah memperoleh berapa persen dari seluruh penghasilan nasional dan kelompok golongan paling kaya memperoleh berapa persen, sehingga selanjutnya dapat diketahui ada ketimpangan atau tidak.

d.    The fungsional distribution of income (share distribution)
Ukuran ini menjelaskan tentang bagian pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi, yaitu berapa yang diterima oleh buruh (upah), pengusaha (keuntungan), pemilik tanah (sewa), pemilik  modal (bunga/jasa) sesuai dengan fungsi masing-masing faktor produksi.
Cara lain untuk menilai distribusi pendapatan adalah dengan menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, dimana tingkat tetap dari pendapatan riil cukup dianggap memberikan standar minimal hidup yang layak. Faktor utama yang digunakan dalam menentukan kemiskinan adalah pendapatan, pembayaran transfer, properti yang dimiliki dan ukuran keluarga.

3.2.    Ketimpangan Distribusi Pendapatan dan Indikator yang Digunakan Untuk Menilainya

3.2.1.    Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Masalah besar yang dihadapi oleh negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut tidak jarang akan dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap masalah sosial politik.
Pertanyaan mengapa bisa terdapat perbedaan yang besar dalam pendapatan telah lama menduduki posisi sentral dalam ekonomi yang sangat sulit untuk diselesaikan. Di Amerika dan negara-negara barat lainnya, alasan paling penting yang menyebabkan munculnya ketimpangan pendapatan keluarga adalah adanya perbedaan pendapatan kepala keluarga. Pendapatan yang diperoleh tergantung pada banyak hal seperti kekuatan fisik, kecerdasan, upaya, kesehatan, pendidikan, keputusan menikah, keberadaan ras dan diskriminasi seks, kehadiran program kesehatan masyarakat dan keberuntungan. Banyak ekonom percaya bahwa faktor utama yang meningkatkan ketimpangan pendapatan dalam beberapa tahun terakhir adalah peningkatan keuntungan finansial untuk pendidikan karena perubahan teknologi seperti pengenalan luas komputer di tempat kerja, pekerja dengan pendidikan perguruan tinggi sekarang mendapatkan gaji yang relatif lebih tinggi dari pada pekerja dengan pendidikan rendah.
Menurut laporan Bank Dunia tahun 2015, terdapat 4 penyebab ketimpangan pendapatan di Indonesia, yaitu :
  • Ketimpangan peluang. Nasib anak dari keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa hal utama, yaitu tempat mereka lahir atau pendidikan orangtua mereka.  Awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya.  Setidaknya sepertiga ketimpangan diakibatkan faktor-faktor di luar kendali seseorang individu.
  • Ketimpangan pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.
  • Konsentrasi kekayaan. Kaum elit memiliki aset keuangan, seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan di masa depan.
  • Ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Saat terjadi goncangan, masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak, menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan.

3.2.2.    Indikator yang digunakan untuk menilai ketimpangan dalam distribusi pendapatan

Terdapat beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk menilai ketimpangan dalam distribusi pendapatan, diantaranya adalah :

a.    Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif juga. Kurva ini juga memperlihatkan hubungan komulatif aktual antara persentase jumlah penduduk dengan penerimaan pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan dalam waktu tertentu (misalnya dalam satu tahun).
Kurva ini terletak didalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya  sendiri  “ditempatkan” pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
Kurva Lorenz ditunjukkan oleh garis OBA. Distribusi pendapatan dikatakan merata apabila kurva lorenz itu adalah garis diagonal OA, disini 40% pendapatan diterima oleh 40% jumlah penduduk, atau 60% pendapatan diterima oleh 60% jumlah penduduk. Jadi, semakin jauh kurva Lorenz itu dari garis diagonal berarti semakin tidak merata distribusi pendapatan yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari kurva di bawah ini yang datanya diambil dari data Distribusi  Pendapatan Rumah Tangga di Amerika Serikat pada tahun 2004 (pada tabel 1). Pada gambar kurva terlihat bahwa 20 %  yang merupakan penduduk termiskin dari populasi yang seharusnya menikmati 20 % dari jumlah total pendapatan yang tersedia, hanya mendapatkan 3,4 % dari total pendapatan yang tersedia, dan 20 %  penduduk termiskin kedua dari popolasi yang seharusnya menikmati 20 % pendapatan dari total pendapatan yang tersedia hanya menikmati 8,7 % total pendapatan. Atau dengan kata lain 40 % penduduk termiskin dari populasi yang seharusnya menikmati 40 % dari total pendapatan hanya menikmati 12,1 % dari total pendapatan yang tersedia, dan 87,8 % dari total pendapatan dinikmati hanya oleh 60 % total populasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Amerika terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang cukup tinggi.






Gambar 1
Kurva Lorenz


b.    Gini Ratio
       Cara mengukur tinggi rendahnya ketimpangan distribusi pendapatan dapat pula dengan menggunakan indeks Gini (lihat gambar diatas). Indeks Gini secara grafik dapat dilihat dengan membandingkan luas daerah dibawah garis diagonal sampai kurva Lorenz (yang berwarna abu-abu) dengan seluruh luas daerah dibawah garis diagonal atau segitiga OO'A. Jadi, semakin kecil indeks Gini tersebut menunjukkan semakin rendah derajat ketimpangan istribusi pendapatan negara yang bersangkutan.


Jika Rasio Gini = 0 berarti kurva lorenz berimpit dengan egalitarian line (OA) dan ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan nasional adalah merata sempurna, dan jika GCR = 1 berarti kurva lorens berimpitan dengan kurva siku OBA (yang menunjukkan distribusi timpang mutlak). Kedua keadaan tersebut sama-sama mustahil terjadi sehingga dalam formula atau rumus digunakan tanda ‘<’ dan bukan ‘≤’. 
Menurut Oshima indeks gini sebesar 0,3 menunjukkan ketimpangan ringan, 0,4 menunjukkan ketimpangan moderat atau sedang, dan 0,5 menunjukkan ketimpangan berat. Penjelasan ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Indeks Gini Menurut Oshima
Nilai Indeks Gini    Jenis Ketimpangan
Sampai dengan 0,3    Ringan
>0,3 – 0,5    Sedang
>0,5    Berat

c.    Kriteria Bank Dunia
       Tolak ukur lain dikemukakan oleh kajian bersama antara Bank Dunia dengan Institut Pembangunan, Universitas Sussex. Kajian ini memandang kondisi ketimpangan dari “berapa persenkah pendapatan nasional yang diterima oleh 40% penduduk termiskin? “ Secara ringkas hal ini dikemukakan dalam tabel dibawah ini .
Tabel 3
Tolok Ukur Ketimpangan Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia
Persentase Pendapatan Nasional yang diterima oleh 40 % keluarga termiskin    Tingkat Ketimpangan
≥ 17 %    Ringan
12 % - 17 %    Sedang
< 12 %    Berat


3.2.3.    Kritik terhadap Kurva Lorenz

Kurva lorenz dikritik karena dia tidak mempertimbangkan pembayaran transfer dan pajak pendapatan. Kedua hal ini akan mengurangi ketimpangan pendapatan. Sebagai tambahan, pola pendapatan seumur hidup (menjadi lebih besar pada pertengahan usia dewasa dari pada usia terlalu muda atau tua) juga dipertanyakan kegunaan dan analisisnya.
Dari penjelasan mengenai ketimpangan distribusi pendapatan tersebut dianggap tidak satupun yang dapat menjelaskan setiap kasus kemiskinan yang terjadi. Fakta ini dianggap dapat membingungkan upaya untuk merumuskan kebijakan yang masuk akal untuk redistribusi pendapatan. Data sensus pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan mendapat perhatian yang besar pada diskusi publik. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui konvensi yang digunakan untuk membangun angka-angka dan keterbatasan mereka.

a.    Penghasilan dalam sensus hanya terdiri dari penerimaan kas keluarga
Untuk memahami pentingnya fakta ini, kita perlu mendefinisikan penghasilan. Pendapatan seseorang selama periode tertentu adalah jumlah yang dikonsumsi selama periode dan jumlah yang disimpan. Pendapatan sebuah keluarga tidak hanya terdiri dari uang yang diterimanya saja tetapi juga dalam bentuk transfer, pembayaran komoditas lainnya atau jasa yang bertentangan dengan uang tunai. Definisi resmi pendapatan dalam bentuk kas dapat menyebabkan perkiraan menyesatkan dari angka kemiskinan. Sebagai contoh adalah, misalnya sebuah komunitas memberikan orang-orang miskin voucher yang memungkinkan mereka untuk tinggal di hotel terbaik dan makan restoran paling mewah di kota. Tingkat kemiskinan resmi tidak akan berubah sama sekali. Sementara pemerintah tidak memberikan kemewahan kepada orang miskin, tidak memberikan kupon makanan, tetapi memberikan program perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan perawatan medis bersubsidi. Menurut perkiraan, termasuk berbagai tunjangan non tunai pemerintah akan mengurangi tingkat kemiskinan resmi dari 12,7% menjadi 8,3%.

b.    Mengabaikan Pajak secara khusus
Semua data penghasilan merupakan data sebelum pajak, oleh karena itu sistem pajak penghasilan mengambil bagian yang lebih besar dari keluarga berpendapatan lebih tinggi dari pada keluarga berpenghasilan rendah tidak tercermin dalam angka. Salah satu program yang paling penting untuk mendistribusikan pendapatan kepada orang miskin adalah dari kredit pajak pendapatan yang diperoleh, yang dijalankan melalui pajak penghasilan. Transfer pajak penghasilan itu setiap tahun untuk keluarga berpenghasilan rendah, tetapi diabaikan dalam statistik kemiskinan.

c.    Penghasilan diukur tahunan
Konsep pendapatan masuk akal jika hanya diukur selama beberapa periode waktu tertentu. Tetapi tidak jelas apa kerangka waktu yang seharusnya. Ukuran harian, mingguan akan masuk akal, karena bahkan orang kaya bisa memiliki nol pendapatan selama beberapa periode waktu yang singkat, sehingga lebih masuk akal untuk mengukur pendapatan lebih dari setahun, sebagai angka resminya. Namun, langkah-langkah tahunan juga mungkin tidak mencerminkan posisi ekonomi individu secara benar. Dari sudut pandang teoritis, pendapatan seumur hidup akan lebih ideal, tetapi masalah praktis dalam memperkirakan itu sangat besar.
Membedakan periode waktu merupakan hal yang sangat penting, karena orang-orang cenderung  memiliki pendapatan yang rendah ketika mereka masih muda, lebih ketika mereka setengah baya dan kurang lagi ketika mereka sudah tua dan memasuki masa pensiun. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki pendapatan seumur hidup identik dengan barbagai tahap siklus yang muncul dalam data tahunan sebagai ketimpangan distribusi pendapatan. Diperkirakan bahwa ukuran kesejahteraan dari pendapatan tahunan akan mengurangi proporsi rumah tangga miskin sampai tiga atau empat persen (Jorgensen, 1998)

d.    Data konsusmsi diharapkan dapat menyediakan penilaian yang lebih baik dari pada data kemiskinan dan distribusi yang semua didasarkan pada pendapatan.
Beberapa berpendapat bahwa tindakan konsumsi lebih unggul secara konseptual, karena utilitas orang tegantung pada konsumsi dari pada pendapatan (Eberstadt, 2005). Pendapatan dan konsumsi tidak perlu bergerak bersama-sama. Sebagai contoh adalah pada tahun-tahun ketika pendapatan rendah, keluarga dapat mempertahankan tingkat konsumsi mereka dengan mengambil dari tabungan mereka.
 Tren konsumsi dan pendapatan sudah berbeda secara historis. Menurut  Meyer dan Sulivan (2006) dalam penelitian status ekonomi keluarga oleh ibu tunggal pada tahun 1990-an, menemukan bahwa pendapatan turun hampir 30% bagi mereka yang berada di seperlima terendah dari distribusi pendapatan dan naik lebih dari 15% untuk mereka yang tertinggi kedua perlima distribusi pendapatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan meningkat, namun tren konsumsi pada bagian terendah tidak menurun tajam, demikian pula tidak terjadi peningkatan tajam pada bagian distribusi tertinggi.

e.    Masalah dalam mendefinisikan unit observasi
Kebanyakan orang hidup dengan orang lain, dan setidaknnya sampai batas tertentu membuat keputusan ekonomi mereka bersama-sama. Harusnya distribusi pendapatan diukur berdasarkan individu ataukah rumah tangga? Menurut perhitungan Bauman (1999), termasuk pendapatan dari anggota rumah tangga yang tidak legal keanggotaannya akan mengklasifikasikan 55% orang-orang miskin menurut definisi resmi keluar dari kemiskinan.

3.3.    Redistribusi Pendapatan

3.3.1.    Pengertian Redistribusi Pendapatan

Pemerataan pendapatan (redistribusi pendapatan/ distribution of income) merupakan usaha yang dilakukan oleh pemerintah agar pendapatan masyarakat terbagi semerata mungkin diantara warga masyarakat. Pengertian merata di sini tidak berarti bahwa semua warga masyarakat pendapatannya dibuat sama, tetapi kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk memperoleh pendapatan. Tujuannya adalah agar tidak terjadi ketimpangan pendapatan dalam masyarakat sehingga dapat menimbulkan keresahan dan kecemburuan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas nasional.

3.3.2.    Teknik-teknik pemerataan Pendapatan

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk redistribusi pendapatan, antara lain :

a.    Transfer uang tunai (NIT, demogrant, WRS);
Transfer uang tunai merupakan pemberian subsidi berupa uang tunai kepada orang yang termasuk berpenghasilan rendah. Model transfer tunai dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu
-    Model pajak pendapatan negatif (Negative Income Tax/NIT), maksudnya adalah bahwa pemerintah memberikan subsidi kepada penduduk yang dianggap tidak mampu. Persyaratannya adalah bahwa keluarga yang diberi subsidi merupakan keluarga yang penghasilannya di bawah pas-pasan dan nilai yang disubsidi adalah selisih antara penghasilan pas-pasan dengan penghasilan riil keluarga itu. Model NIT menguntungkan jika penghasilan keluarga yang bersangkutan itu rendah. Semakin besar keluarganya semakin menguntungkan. Oleh karenanya pemerintah membatasinya misalnya maksimum 5 jiwa dalam suatu keluarga. Dengan menggunakan angka persentase subsidi bagi tiap jiwa, maka mudah untuk menetapkan besarnya subsidi. Formula untuk pemberian subsidi pada program NIT adalah T = r (YB – Yi).
T = besar transfer
r = tingkat pajak marginal, dinyatakan dalam persen (%)
YB = pendapatan pas-pasan (ditetapkan pemerintah)
Yi = pendapatan keluarga
YG = besar subsidi maksimum
Contoh :
Penghasilan pas-pasan yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 100.000/jiwa/bulan. Subsidi bagi mereka yang berpenghasilan di bawah pas-pasan 10%/ jiwa, dengan subsidi maksimum 5 jiwa ( YG). Jika suatu keluarga terdiri dari 5 jiwa ( ayah, ibu dan 3 anak). Pendapatannya Rp 200.000/ bulan. Dari contoh kasus ini dapat dihitung besar transfer yaitu :
r = 5 x 10 % = 50 % atau 0,5
YB = 5 x Rp 100.000 = Rp 500.000
Yi = Rp 200.000
YG = 5 x 10 % x Rp 500.000
T = 0,5 ( 500.000 – 200.000) = Rp 150.000
Besar subsidi = Rp 150.000 < Rp 250.000. Besar penghasilan setelah disubsidi (Yd) adalah Rp 200.000 + Rp 150.000 = Rp 350.000
-    Model demogrant, yaitu suatu program subsidi uang tunai di mana semua anggota kelompok demografi menerima subsidi uang tunai yang sama, tanpa membedakan tingkat penghasilan mereka. Kelompok demografi adalah kelompok penduduk yang pendapatannya berada di bawah penghasilan pas-pasan. Persyaratannya adalah bahwa batas penghasilan pas-pasan ditetapkan pemerintah, yang disubsidi adalah keluarga di bawah penghasilan pas-pasan dan subsidi dihitung per jiwa dalam bentuk rupiah. Model ini menguntungkan jika penghasilannya tetap, dan pemerintah menetapkan besarnya subsidi per jiwa tinggi. Namun sulit menetapkan dengan tepat besarnya subsidi per jiwa dalam rupiah.
Contoh :
Penghasilan pas-pasan yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 200.000 untuk keluarga 5 jiwa. Besar subsidi per jiwa adalah Rp 50.000. Suatu keluarga dengan 5 jiwa mempunyai penghasilan Rp 150.000/bulan. Besar subsidi untuk keluarga tersebut adalah 5 x Rp 50.000 = Rp 250.000. Dengan demikian, penghasilan keluarga tersebut seluruhnya (setelah ditambah subsidi) adalah Rp150.000 + Rp 250.000 = Rp 400.000.
-    Model Subsidi Upah (Wages Rate Subsidies/WRS), yaitu subsidi yang diberikan kepada buruh yang bekerja harian dan penghasilannya di bawah upah pas-pasan. Semakin banyak upah buruh (sepanjang masih di bawah upah pas-pasan, semakin sedikit subsidinya). Namun subsidi maksimum juga ditetapkan dan upah minimum juga harus ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya setiap tambahan upah minimum disubsidi. Contoh : Pemerintah menetapkan upah minimum Rp 15.000/hari. Bagi perusahaan yang memberi upah di bawah minimum supaya disubsidi. Karena pemberian upah pada masing-masing buruh berdasarkan prestasinya, maka bagi buruh yang lain juga perlu diberi subsidi supaya adil. Misal setiap upah harian Rp 10.000 subsidinya Rp 5.000. Upah terendah pada suatu perusahaan adalah Rp 10.000. Supaya mencapai upah minimum sesuai yang diwajibkan pemerintah, maka subsidinya adalah Rp 15.000 (ini merupakan subsidi maksimun)

b.    Transfer dalam bentuk barang;
Dalam realisasinya, transfer uang tunai sebagaimana tersebut di atas, dapat juga diberikan sebagian dalam bentuk barang. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir penyimpangan maksud pemberian subsidi yang sesungguhnya.

c.    Program kesempatan kerja.
Kesempatan kerja merupakan hal yang sangat didambakan bagi orang yang belum bekerja. Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja dengan tingkat upah tertentu. Tetapi dalam kenyataan program penciptaan kesempatan kerja pada sektor pemerintah maupun swasta di negara berkembang bahkan di negara maju sekalipun mengalami kesulitan. Di beberapa negara maju, mereka yang menganggur mendapat tunjangan atau subsidi.

3.3.3.    Beberapa Pandangan terkait redistribusi pendapatan

Sementara pendapatan diragukan akan merata, orang tidak setuju apakah pemerintah harus melakukan kebijakan redistribusi. Berikut ini adalah beberapa pandangan berbeda terkait dengan redistribusi pendapatan.

a.    Utilitarianisme sederhana
Ekonomi kesejahteraan konvensional berpendapat bahwa kesejahteraan masyarakat tergantung pada kesejahteraan anggotanya. Jika ada ‘n’ individu dalam masyarakat, ‘Ui’ adalah utilitas individu, ‘W” adalah kesejahteraan sosial, maka fungsi utilitas individu dapat digambarkan dengan persamaan :
W = F (U1, U2,....Un)          (persamaan 1)
Persamaan di atas kadang-kadang disebut dengan fungsi kesejahteraan sosial utilitarian karena hubungan dengan filsuf sosial utilitarian dari abad ke-19. Hal ini diasumsikan bahwa peningkatan salah satu Us, dengan sumsi hal yang lain adalah konstan, akan meningkatkan W. Perubahan yang mebuat seseorang lebih baik tanpa membuat orang lain lebih buruk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Utilitarian mendalilkan bahwa kesejahteraan sosial adalah jumlah dari utilitas, sehingga persamaan berikut lebih sering digunakan untuk  menggambarkan formulasi yang lebih umum dari persamaan , yaitu :
W = U1 + U2 + ..... + Un)          (persamaan 2)
Misalkan tujuan pemerintah adalah untuk memaksimalkan nilai W dalam persamaan 2, maka fungsi kesejahteraan sosial, bersama-sama dengan beberapa asumsi memungkinkan kita untuk mendapatkan hasil yang kuat, menganggap bahwa :
-    Individu memiliki fungsi utilitas identik yang hanya bergantung pada pendapatan mereka
-    Fungsi utilitas ini mengurangi utilitas marjinal, dimana pendapatan individu meningkat dan mereka menjadi lebih baik, tetapi pada tingkat yang menurun.
-    Jumlah total pendapatan yang tersedia adalah tetap.
Dengan sumsi ini fungsi kesejahteraan sosial aditif, pemerintah harus mendistribusikan pendapatan untuk memperoleh kesetaraan lengkap. Untuk membuktikan hal ini, diandaikan bahwa masyarakat hanya terdiri dari dua orang, Peter dan Paul yang digambarkan seperti grafik berikut :


Gambar 2
Model distribusi pendapatan optimal

Sumber : Rosen, Harvey S. Edisi ke-7
Dari gambar 2 di atas jarak horizontal OO’ mengukur jumlah total pendapatan yang tersedia di masyarakat. Pendapatan Paul diukur dengan jarak ke kanan titik  O, dan pendapatan Peter diukur dengan jarak di sebelah kiri dari titik O’. Dengan demikian setiap titik mewakili beberapa distribusi pendapatan antara Paul dan Peter. Utilitas marjinal pendapatan Paul diukur secara vertikal, dimulai dari titik O, dengan tingkatnya mengikuti lereng pendapatan ke bawah, yang diberi label MU Paul. Pendapatan peter diukur secara vertikal dimulai pada titik O’, dengan utilitas marjinal diberi label MU Peter.
Asumsikan bahwa awalnya pendapatan Paul adalah Oa dan Peter adalah O’a. Apakah kesejahteraan sosial yang tinggi, atau jumlah utilitas meningkat jika pendapatan didistribusikan  antara Paul dan Peter. Misalkan dolar ab diambil dari Peter dan diberikan kepada Paul, hal ini tentunya akan membuat Peter menjadi lebih buruk, sedangkan Paul menjadi lebih baik. Namun yang terjadi pada utilitas mereka adalah, karena Peter lebih kaya dari Paul, kehilangan utilitas Peter lebih kecil daripada keuntungan Paul, sehingga jumlah utilitas mereka naik. Mendistribusikan dolar ‘ab’ untuk Paul meningkatkan utilitasnya dengan daerah ‘abfe’.  Alasan yang sama menunjukkan bahwa selama pendapatan tidak sama, utlitas marjinal tidak sama, dan jumlah dari  utilitas dapat ditingkatkan dengan mendistribusikan pendapatan kepada individu miskin. Hanya pada titik 1, dimana pendapatan dan utilitas marjinal adalah sama, kesejahteraan sosial dimaksimalkan.
Berikut ini adalah beberapa asumsi terkait implikasi kebijakan redistribusi pendapatan, yaitu:
-    Asumsi 1, merupakan suatu yang fundamental karena tidak mungkin untuk menentukan apakah individu memiliki fungsi utilitas yang identik. Pertama, kita tidak bisa menentukan apakah individu mendapatkan kepuasan yang sama dari konsumsi barang, karena kepuasan bersifat obyektif. Meskipun tidak dapat dibuktikan bahwa orang mendapatkan utilitas yang sama dari jumlah pendapatan yang sama dan menurut Amartya Sen (1999) bahwa sulit untuk mengetahui bagaimana orang dapat mengerti tentang perasaan orang lain, tanpa membuat beberapa perbandingan dengan pikiran dan perasaan mereka sendiri.
Kedua, seseorang dapat menafsirkan asumsi bukan sebagai pernyataan psikologis, tetapi sebagai salah satu etika. Secara khusus, dalam merancang kebijakan redistribusi, pemerintah harus bertindak seolah-olah semua orang memiliki fungsi utilitas yang sama.
-    Asumsi 2, bersifat lebih teknis, tetapi sama pentingnya, keeratan menyangkut asumsi penurunan utilitas marjinal pendapatan. Ketika Peter dan Paul diwakili oleh garis horizontal yang identik, setiap dolar yang diambil dari Peter, hilangnya utilitasnya persis sama dengan yang diterima oleh Paul. Dengan demikian nilai dari jumlah utilitas mereka independen dari distribusi pendapatan. Kebijakan redistributif tidak bisa mengubah kesejahteraan sosial.
-    Asumsi 3, menyatakan bahwa jumlah total pendapatan di masyarakat, jarak OO’ adalah tetap. Ukuran pie tidak berubah karena pemerintah mendistribusikan kembali potongan-potongannya. Pajak dan subsidi diberlakukan untuk mendistribusikan pendapatan yang biasanya mengubah keputusan orang dengan mengurangi pendapatan riil total. Dengan demikian masyarakat yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan jumlah utilitas menghadapi dilema yang tidak terhindarkan. Disatu sisi ia lebih suka untuk menamakan distribusi pendapatan, namun dalam melakukannya mengurangi jumlah total pendapatan yang tersedia. Distribusi pendapatan yang optimal harus memperhitungkan biaya (pendapatan riil hilang) untuk mencapai kesetaraan. Menurut Cushing dan Mcgarvey (2003) hipotesis transfer tunai dari individu berpenghasilan tinggi kepada individu berpenghasilan rendah, memperkirakan bahwa kerugian kesejahteraan bagi mereka yang kehilangan dari kebijakan tersebut adalah 1,11 – 10,97 kali lebih besar dari keuntungan untuk penerima manfaat. Namun penelitian tersebut masih dalam tahap normatif. Jadi asumsi fungsi utilitas identik tidak cukup menjamin bahwa tujuan dari kebijakan distribusi pemerintah harus mencapai kesetaraan penuh. Jawabannya tergantung pada metode yang digunakan untuk mendistribusikan pendapatan dan pengaruhnya terhadap perilaku seseorang.

b.    Kriteria Maximin
Dalam rangka utilitarian, bentuk fungsi kesejahteraan sosial memainkan peran penting dalam menentikan kebijakan redistribusi pemerintah. Masyaratkat bersikap acuh tak acuh terhadap distribusi utilitas. Jika unit utilitas diambil dari satu orang dan diberikan kepada orang lain, jumlah utilitas tidak berubah, dan bahkan menurut definisi, begitu juga dengan kesejahteraan sosial.
Fungsi kesejahteraan utilitarian lainnya tidak membawa implikasi ini, karenanya menghasilkan resep kebijakan yang berbeda. Mempertimbangkan fungsi kesejahteraan sosial berikut :
    W = Minimum (U1, U2> ...., Un)        (persamaan 3)
Menurut persamaan 3, kesejahteraan sosial hanya bergantung pada utilitas dari orang yang memiliki utilitas terendah. Tujuan sosial ini sering disebut dengan kriteria maximin karena tujuannya adalah untuk memaksimalkan utilitas dari orang dengan utilitas minimum. Kriteria maximin menyiratkan bahwa distribusi pendapatan harus sempurna sama, kecuali tujuan akhir dari kesetaraan adalah meningkatkan kesejahteraan orang yang paling tidak beruntung. Misalkan Peter sebagai orang kaya mempekerjakan Paul. Pemerintah mengenakan pajak kepada Peter dan mendistribusikan hasilnya kepada Paul. Namun ketika Peter dikenakan pajak, ia memotong produksi Paul. Selain itu, pendapatan yang diterima Paul dari pemerintah lebih kecil dari hilangnya pendapatan terkait pekerjaannya.
Menurut John Rawls (1971), ia memiliki klaim khusus untuk validitas etika. Argumen Rawls bergantung pada gagasan tentang posisi asli, situasi imajiner dimana orang tidak memiliki pengetahuan tentang posisi mereka di masyarakat. Karena ketidaktahuan ini, mereka tidak tahu pada akhirnya mereka akan menjadi kaya atau miskin, sehingga Rawls percaya bahwa dalam posisi semula, pendapat seseorang tentang tujuan distribusi yang berimbang dan adil. Rawls kemudian berpendapat bahwa dalam posisi semula, orang mengadopsi fungsi kesejahteraan sosial maximin karena asuransi memberikan hasil terhadap bencana. Orang takut bahwa mereka mungkin berakhir di bagian bawah distribusi pendapatan, dan karena itu merekaingin berada pada tingkat setinggi mungkin.

c.    Pareto efisien redistribusi pendapatan
Fungsi kesejahteraan sosial aditif dan fungsi kesejahteraan sosial maximin diasumsikan bahwa redistribusi membuat beberapa orang lebih baik dan yang lain menjadi lebih buruk. Hal ini merupakan konsekuensi dari asumsi bahwa utilitas masing-masing individu tergantung pada pendapatannya saja. Sebaliknya bayangkan bahwa individu berpenghasilan tinggi yang altruistik, sehingga utilitas mereka tidak hanya tergantung pada pendapatan mereka sendiri, tetapi dari orang-orang miskin juga. Dalam keadaan ini redistribusi  benar-benar menjadi perbaikan Pareto.
Asumsikan jika Peter (orang kaya) memberikan dolar pendapatan untuk Paul (miskin), maka peningkatan kepuasan Peter dari melakukan perbuatan baik akan lebih besar daripada kerugian konsumsi sendiri. Pada saat yang sama, utilitas Paul akan meningkat jika ia menerima dolar. Kedua individu akan dibuat lebih baik oleh transfer. Efisiensi memang mensyaratkan bahwa pendapatan didistribusikan sampai utilitas yang diterima oleh Peter dari memberikan dolar untuk Paul sama dengan kerugian utilitas Peter  yang disebabkan oleh konsumsi yang lebih rendah. Akan tetapi untuk dapat mentransfer pendapatannya sendiri, Peter tidak memiliki cukup informasi untuk mengetahui siapa yang benar-benar miskin, sehingga dalam hal tersebut pemerintah mungkin dapat berperan dalam meningkatkan efisiensi.
Medorong alur penalaran yang ekstrim logis, seseorang dapat menganggap distribusi pendapatan sebagai barang publik, karena utilitas setiap orang dipengaruhi oleh tingkat ketimpangan. Misalkan setiap orang merasa lebih baik jika distribusi pendapatan lebih merata. Tidak ada individu bertindak sendiri, dan bersedia mentransfer pendapatan kepada orang  miskin. Jika pemerintah menggunakan kekuasaan koersif untuk memaksa semua orang kaya untuk mendistribusikan pendapatan kepada orang miskin, maka efisiensi akan meningkat. Selain itu orang percaya bahwa program distribusi pendapatan membantu memberi stabilitas sosial. Jika orang miskin terlalu miskin, maka mereka mungkin terlibat dalam kegiatan antisosial seperti kejahatan dan kerusuhan.

d.    Pandangan Non Individualistis
Plato berpendapat bahwa dalam masyarakat yang baik  rasio terkaya dengan pendapatan orang miskin harus berada paling tidak 4 : 1. Gagasan ini erat kaitannya dengan anggapan bahwa ketimpangan pendapatan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan. Anggaplah misalnya bahwa pendapatan individu berpenghasilan tinggi meningkat tanpa individu berpengahasilan rendah menjadi lebih buruk. Pertimbangan utilitarian standar menyarankan bahwa hal ini menjadi hal yang baik bagi masyarakat, sementara mereka menolak untuk ketidaksetaraan, menganggapnya sebagai hal yang buruk. Banyak mereka dari kelompok kedua percaya bahwa sebagai prinsip pertama, pendapatan harus didistribusikan secara berkeadilan, sehingga dipandang sebagai komoditas egalitarianisme.
Menariknya, posisi yang setidaknya memiliki kemiripan dengan komoditas egalitarianisme dapat dirasionalisasi atas dasar ekonomi kesejahteraan konvensional. Sebagai contoh adalah, diasumsikan bahwa Henry tergantung pada pendapatannya sendiri serta tingkat konsumsi pangan Catherine, sebagai lawan penghasilannya. (Ini mungkin karena fakta bahwa Henry tidak menyetujui komoditas lainnya yang dikonsumsi Catherine), akibatnya kemudian konsumsi makanan Catherine menghasilkan ekstrenalitas positif. Singkatnya, ketika donor secara langsung peduli tentang konsumsi penerima akan komoditas tertentu, kebijakan redistribusi pendapatan melalui komoditas ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperbaiki ekternalitas.

e.    Pertimbangan lainnya
-    Proses vs hasil
Terdapat kepercayaan yang populer di Amerika Serikat bahwa jika distribusi pendapatan menghasilkan proses yang adil, maka tidak ada ruang untuk redistribusi pendapatan yang disponsori pemerintah. Filsuf Robert Nozick (1974) menyerang penggunaan prinsip-prinsip utilitarian untuk membenarkan perubahan dalam distribusi pendapatan. Dia berpendapat bahwa bagaimana masyarakat harus mendistribusikan pendapatan adalah pertanyaan berarti, karena beberapa masyarakat tidak memiliki penghasilan untuk didistribusikan. Hanya orang-orang yang menerima pendapatan dan mungkin pembenaran tunggal untuk kegiatan redistribusi pemerintah adalah ketika pola kepemilikan properti entah bagaimana tidak tepat. Pendekatan Nozick menggeser penekanan dari pencarian fungsi kesejahteraan sosial”baik’ untuk “baik” merupakan seperangkat aturan untuk mengatur operasi masyarakat.
-    Mobilitas
Argumen alternatif terhadap kebijakan redistributif pemerintah adalah bahwa dengan mobilitas sosial yang cukup, distribusi pendapatan tidak akan menarik etnis tertentu.
-    Korupsi
Argumen yang mendukung redistribusi adalah bahwa ketimpangan yang ekstrim dapat menyebabkan subversi lembaga-lembaga hukum, politik dan peraturan. Masyarakat tidak dapat berkembang secara ekonomi kecuali memiliki hak untuk merasa aman. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi, dan orang-orang tidak akan berinvestasi jika mereka takut bahwa properti mereka akan diambil baik oleh orang lain maupun oleh pemerintah. Glaeser dan Shleifer (2003) menemukan beberapa bukti bahwa di negara-negara dimana aturan hukum relatif lemah seperti ekonomi transisi dari Eropa Timur, ketidaksetaraan memiliki efek yang merugikan pada pertumbuhan ekonomi

3.4.    Pengeluaran Insiden

Dampak dari kebijakan belanja pada distribusi pendapatan riil disebut sebagai pengeluaran insiden. Pemerintah mempengaruhi distribusi pendapatan melalui pajak serta kebijakan pengeluarannya. Beberapa hal yang menjadi alasan  pengeluaran adalah :

a.    Efek harga relatif
Sebuah program subsidi perumahan pemerintah juga mempengaruhi pendapatan dari orang-orang yang menyediakan input yang digunakan dalam konstruksi. Dengan demikian, upah pekerja orang-orang yang menyediakan input ini adalah kelas menengah ke atas, ini akan membuat distribusi kurang lebih sama. Lebih umum setiap program pemerintah dalam rantai perubahan harga akan mempengaruhi pendapatan orang, baik dalam peran mereka sebagai konsumen barang dan sebagai pemasok input. Sebuah program belanja yang meningkatkan harga relatif  terhadap barang yang anda konsumsi, maupun sebuah program yang meningkatkan harga relatif terhadap faktor yang anda sediakan merupakan hal yang diaggap sama. Akan tetapi sangat sulit untuk melacak semua perubahan harga yang dihasilkan oleh kebijakan tertentu.

b.    Barang-barang milik umum
Belanja pemerintah yang cukup besar adalah untuk barang-barang umum yang dapat dikonsumsi bersamaan oleh lebih dari satu orang. Menchik (1991) meneliti implikasi distribusi pengeluaran atas barang publik seperti pertahanan  dengan menggunakan dua asumsi yang  berbeda, yaitu : (a) saham keluarga dari manfaat yang sebanding dengan pendapatan, (b) saham sebanding dengan jumlah orang di dalamnya. Dengan asumsi (a) terendah seperlima dari populasi akan memiliki pendapatan meningkat sebesar 3,8% dari pengeluaran pertahanan, sementara dibawah asumsi (b) pendapatan akan meningkat 14,6% dari pengeluaran tersebut

c.    Menilai transfer dalam bentuk barang.
Program surplus pangan adalah salah satu contoh dari kebijakan transfer dalam bentuk barang. Kita sering berfikir bahwa transfer dalam bentuk barang diarahkan kepada individu yang berpenghsilan rendah, namun orang-orang dengan pendapatan menengah ke atas juga mendapatkan keuntungan dari transfer dalam bentuk. Sebagai contoh yang menonjol adalah pendidikan. Tidak seperti barang publik murni, transfer dalam bentuk barang tidak dapat dikonsumsi oleh semua orang namun memperkirakan nilai mereka kepada penerima manfaat sangat sulit.

d.    Alasan untuk transfer dalam bentuk barang.
Transfer dalam bentuk dapat membantu mengekang penipuan kesejahteraan. Dengan  adanya transfer dalam bentuk dapat mencegah orang tidak memenuhi syarat, karena beberapa orang dari kelas menengah mungkin cukup bersedia berbohong untuk menerima uang  tunai, tetapi kurang bersedia berbohong untuk mendapatkan komoditas yang mereka tidak benar-benar inginkan. Hal ini terutama berlaku untuk komoditas yang sulit untuk dijual kembali. Akhirnnya transfer dalam bentuk yang menarik secara politik karena mereka membantu tidak hanya penerima, tetapi juga produsen komoditas yang disukai.

3.5.    Realitas Redistribusi Pendapatan di Indonesia

3.5.1.    Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia

Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.
Tabel berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun absolut:

Tabel 4
Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:



2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
17.8
16.6
15.4
14.2
13.3
12.5
11.7
11.5
11.0
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
39
37
35
33
31
30
29
29
28
Koefisien Gini/
Rasio Gini
-
0.35
0.35
0.37
0.38
0.41
0.41
0.41
-

Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)

Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan. Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan dan kondisi yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2014 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 312,328. Jumlah tersebut adalah setara dengan USD $25 yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga menurut pengertian orang Indonesia sendiri. Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari mencapai angka 50.6 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menyatakan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 60 juta jiwa) hidup sedikit di atas garis kemiskinan.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian relatif, propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi.Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses dan program pembangunan. Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untukmendapatkan pekerjaan dan dengan demikian menghindari kemiskinan.
Dalam paparan BPS terungkap, bahwa dalam tiga tahun terakhir ekonomi Indonesia selalu tumbuh di atas 6%. Indonesia pun menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.Tapi sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini malah membuat ketimpangan distribusi pendapatan rakyat menurut Koefisien Gini, dimana jurang (gap) antara orang kaya dan orang miskin semakin lebar. BPS mencatat Koefisien Gini sejak tahun 2010 hingga 2013 meningkat dari 0,38 menjadi 0,41. Ini adalah angka tertinggi dalam sejarah sejak Indonesia merdeka. Menurut Suryamin (Kepala BPS) dalam paparan indeks kebahagian dan ketimpangan bersama Forum Pemred di Jakarta, dalam tiga tahun terakhir stagnan pada angka 0,41. Ini adalah ketimpangan yang paling tinggi dalam sejarah Indonesia. Itu sudah dianggap sebagai zona kuning yang berarti cukup mengkhawatirkan. Ketimpangan ekonomi ini akan menjadi berbahaya bila sudah mencapai angka 0,6. Bukan menjadi tidak mungkin, ketimpangan di Indonesia bisa menjadi semakin berbahaya bila tak ada antisipasi.Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Karena laju pendapatan orang miskin tidak bisa mengejar kecepatan tumbuhnya harta dari orang kaya.
Dari sisi pendapatan, masyarakat Indonesia terbagi atas 3 kelas. Kelas atas sebesar 20%, kelas menengah sebesar 40%, dan terbawah sebesar 40%. Pada 2005, kelas terbawah yang sebesar 40% itu menerima manfaat dari pertumbuhan ekonomi sebesar 21%, namun pada 2013 menurun menjadi 16,9%. Sementara untuk kelas atas, pada 2005 menerima 40% dan meningkat menjadi 49% dari PDB pada 2013.Artinya memang yang diterima orang kelas atas jauh lebih besar dari yang kalangan bawah. Sehingga kelas atas ekonominya naik sangat cepat dan kelas bawah juga naik, tapi lambat.
Hal ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Pemerintah harus segera mencari upaya untuk mempersempit ketimpangan tersebut. Karena bisa memberikan efek negatif dari sisi sosial.Apalagi pada 2015 pemerintah kembali menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 6%, dan akan terus tumbuh pada tahun-tahun selanjutnya. Bila tidak ada perbaikan, maka ketimpangan pun semakin melebar.
Pengamat ekonomi UI Eugenia Mardanugraha mengatakan, dalam mengatasi rapuhnya perekonomian Indonesia, dimana pertumbuhan ekonomi dinilai tidak berkualitas, harus diprioritaskan penguatan sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk menumbuhkan perekonomian Indonesia. Pemerintah harus membuat terobosan agar menghasilkan SDM yang inovatif sehingga mampu mengelola dan mengolah potensi sumber daya alam yang sangat besar di Indonesia.Menurut dia, tantangan ekonomi dunia ke depan sangat berat, terutama dalam menghadapi era persaingan bebas seperti MEA, AFTA, APEC dan WTO. Oleh karena itu, yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global.Jadi, ekonomi Indonesia yang tumbuh tinggi dalam beberapa tahun terakhir ternyata tidak cukup mampu untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara signifikan. Bahkan pertumbuhan ekonomi tinggi pun tidak bisa membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih bahagia.

3.5.2.    Kebijakan Redistribusi Pendapatan di Indonesia

Dalam rangka memeratakan distribusi pendapatan, pemerintah telah melaksanakan beberapa kebijakan, antara lain :
a.    Kebijakan Fiskal Pemerintah
Salah satu kebijakan fiskal pemerintah terkait dengan redistribusi pendapatan dalah kebijakan perpajakan. Dimana dalam pemungutan pajak, terutama pajak penghasilan digunakan sistem tarif progresif, dimana semakin tinggi pendapatan seseorang, maka tinggi prosentase tarif yang dikenakan). Oleh pemerintah pajak yang diperoleh dengan mengurangi pendapatan penduduk yang penghasilan tinggi akan digunakan untuk membiayai roda pemerintah dan sebagai sumber pembiayaan dalam pemberian subsidi bagi penduduk dengan penghasilan rendah. Tetapi satu hal yang menjadi catatan dalam kebijakan ini adalah pengalokasian dailakukan secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat jumlah.
b.    Transfer uang tunai
Terkait dengan teknik redistribusi pendapatan dengan transefer uang tunai, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan beberapa program, diantaranya:
1)    Bantuan langsung Tunai (BLT),
2)    Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau disebut juga Program Keluarga Harapan (PKH),
3)    Jaminan sosial (social security),
4)    Bantuan Oprasional Sekolah (BOS)
5)    Beasiswa untuk memenuhi akses pendidikan bagi mereka yang kurang mampu,
6)    Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk memenuhi kebutuhan akses kesehatan secara gratis.
c.    Transfer dalam Bentuk Barang
Pemerintah dapat meningkatkan jumlah produksi bahan pangan, dibarengi dengan perbaikan infrastruktur pertanian, pengembangan benih-benih unggul, pengembangan teknologi pertanian, dan pemberian insentif bagi petani misalnya melalui pemberian pupuk urea bersubsidi. Selain itu pemerintah dapat memberikan Subsidi pangan dalam bentuk barang diberikan pemerintah dalam bentuk penyediaan bahan pangan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin, misalnya melalui penyediaan beras murah untuk masyarakat miskin (Raskin) dan operasi pasar murah minyak goreng.
d.    Program Kesempatan Kerja
Sejak tanggal 5 Nopember 2007 yang lalu diresmikan pelaksanaan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kebijakan ini tentunya merupakan angin segar yang sudah lama ditunggu oleh masyarakat, khususnya usaha mikro dan usaha kecil.Kebijakan ini diharapkan dapat membantu masyarakat golongan menengah ke bawah sehingga dapat menjadi wirausaha yang mandiri dan membantu mengurangi persentase penduduk miskin di Indonesia.
           Dengan adanya perkembangan usaha kecil menengah akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja dan pengurangan jumlah kemiskinan. Lokasi UKM banyak di pedesaan dan menggunakan sumber daya alam lokal. Dengan berkembangnya UKM maka terjadi pemerataan dalam distribusi pendapatan dan juga pemerataan pembangunan, sehingga akan mengurangidiskriminasi spasial antara kota dan desa.UKM sangat kompetitif dengan pola pasar hampir sempurna, tidak ada monopoli dan mudah dimasuki (barrier to entry). Pengembangan UKM yang melibatkan banyak tenaga kerja pada akhirnya akanmempertinggi daya beli. Hal ini terjadi karena pengangguran berkurang dan adanya pemerataan pendapatan yang pada gilirannya akan mengentaskan kemiskinan.
           Mengetahui pentingnya UMKM, maka upaya pemerintah dalam melaksanakan pemberdayaan UMKM, melalui penerapan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan) merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat pemerataan pendapatan, penanggulangan kemiskinan, dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. Program ini dilakukan untuk lebih mendorong upaya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di perdesaan.
e.    Pemerintah Bekerja Sama dengan Swasta Lokal dan Asing untuk  Menjalankan Program Corporate Social Responsibility (CSR)
            Dengan adanya program pemerintah yang bekerja sama dengan swasta lokal dan asing untuk menjalankan program Corporate social responsibility (CSR) diharapkan golongan masyarakat bawah, buruh, dan usaha-usaha bisa mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan ekonomi yang produktif secara keseluruhan, bukan segelintir pengusaha yang mendapat perlakuan khusus (corner of previlage). Dengan adanya CSR ini, maka pendapatan yang didapatkan oleh pihak swasta dan asing akan dapat didistribusikan kembali ke masyarakat, sehingga akan mengurangi ketimpangan pendapatan.

3.5.3.    Hambatan dan Kendala Dalam Implementasi Kebijakan Redistribusi Pendapatan di Indonesia.

Dalam kenyataannya, kebijakan redistribusi pendapatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk diimplementasikan. Hal ini disebabkan untuk dapat melaksanakan kebikajan tersebut dengan baik maka diperlukan dukungan dari berbagai sektor dan pihak-pihak terkait.  Beberapa masalah yang menjadi kendala dalam implementasi redistribusi pendapatan di Indonesia, antara lain :
  1. Ketidaktepatan Sasaran. Ketidaktepatan sasaran dalam proses redistribusi pendapatan di Indonesia disebabkan karena keterbatasan data yang mencakup siapa saja yang berhak menerima (dalam hal ini data mengenai tingkat kemiskinan). Hal tersebut terjadi karena kriteria yang digunakan dalam menggolongkan masyarakat miskin belum jelas, sehingga seringkali redistribusi pendapatan diberikan kepada pihak yang tidak seharusnya. Selain itu pemilihan program yang digunakan sebagai cara untuk melakukan redistribusi pendapatan terkadang tidak tepat. Sebagai contoh adalah pemberian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Redistribusi pendapatan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin malah sebagian dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang nota bene seharusnya medisitribusikan kembali pendapatan mereka kepada masyarakat miskin.
  2. Ketidaktepatan Waktu. Selain tidak tepat sasaran, masalah selanjutnya adalah tidak tepat waktu. Hal ini terutama akan sangat berdampak terhadap transfer dalam bentuk barang. Proses administrasi dan birokrasi yang berbelit-belit seringkali dijadikan sebagai penyebab keterlambatan yang terjadi. Sebagai contoh yang paling sering ditemui adalah bantuan raskin untuk masyarakat. Bantuan beras untuk masyarakat miskin ini seringkali terlambat didistribusikan, sehingga ketika sampai ketangan masyarakat penerima, bantuan beras sudah dalam kondisi yang sudah tidak layak dikonsumsi.
  3. Ketidaktepatan Jumlah. Masalah ketiga adalah ketidaktepatan jumlah. Ketersediaan data yang akurat kembali menjadi hal yang paling mendasar dalam implementasi kebijakan redistribusi pendapatan. Dengan adanya data yang akurat mengenai jumlah masyarakat yang berhak untuk menerima, maka alokasi biaya tentunya akan lebih efektif dan efisien. Tidak adanya data akurat mengenai tingkat kemiskinan justru dapat menimbulkan masalah baru, yaitu adanya kecemburuan dikalangan masyarakat miskin, karena pendapatan tidak didistribusikan secara merata, dimana sebagian masyarakat mendapatkannya, sementara sebagian lagi tidak dapat merasakan kebijakan tersebut.

IV.    SIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpilan, yaitu :
  1. Distribusi pendapatan merupakan suatu proporsi populasi yang ditentukan berdasarkan tingkat pendapatannya. Adanya ketidaksetaraan atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat menyebabkan munculnya masalah kemiskinan.
  2. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai ketimpangan distribusi pendapatan, antara lain Kurva Lorenz, Gini Ratio dan berdasarkan kriteria Bank Dunia.
  3. Pemerataan pendapatan (redistribusi pendapatan/ distribution of income) merupakan usaha yang dilakukan oleh pemerintah agar pendapatan masyarakat terbagi semerata mungkin diantara warga masyarakat. Redistribusi pendapatan dilakukan dengan cara transfer uang tunai, transfer dalam bentuk barang, dan pengembangan kesempatan kerja.
  4. Ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia dilihat dari gini rasio berada pada angka 0,41 yang merupakan posisi yang cukup mengkhawatirkan. Oleh karena itu pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk mencapai kemerataan dalam distribusi pendapatan seperti program pemberian jaminan akses kebutuhan dasar bagi rakyat kecil, program kredit lunak dan penjaminan kredit berbasis komunitas, program padat karya dan pengembangan usaha dan industri kecil, dan program kerja sama dengan pihak swasta lokal dan asing untuk menjalankan program corporate social responsibility (CSR). 

V.    SARAN/ REKOMENDASI

Ketimpangan yang semakin tinggi dapat dihindari. Kebijakan pemerintah dapat membantu Indonesia memutus rantai ketimpangan antar generasi, dengan mengatasi penyebab ketimpangan. Sehingga penulis memberikan beberapa saran/ rekomendasi, sebagai berikut :
  1. Membuat peraturan dan regulasi yang jelas tentang pelaksanaan program-program dalam rangka penanggulangan ketimpangan pendapatan.
  2. Dalam melaksanakan redistribusi pendapatan haruslah tepat sasaran, tepat waktu , dan tepat jumlah. Untuk itu diperlukan data yang benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Memperbaiki layanan umum. Kunci bagi generasi berikut terletak pada peningkatan pelayanan umum di tingkat desa, camat, dan kabupaten, karena hal ini dapat memperbaiki kesehatan, pendidikan dan peluang keluarga berencana bagi semua masyarakat.
  4. Memperkuat program perlindungan sosial seperti bantuan tunai bersyarat dan beasiswa pendidikan. 
  5. Menambah peluang pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja.
  6. Menyediakan lapangan kerja yang lebih baik.
  7. Menggunakan pajak dan belanja pemerintah untuk mengurangi ketimpangan.
  8. Meningkatkan ketaatan dalam pengumpulan pajak perorangan.

DAFTAR PUSTAKA

Rosen, Harvey S. 7th ed. 2005. Public Finace. McGraw-Hill. Singapore
Todaro, Michael P, dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
http://www.neraca.co.id/article/40694/bps-akui-ketimpangan-kian-lebar-pertumbuhan-ekonomi-tidak-berkualitas, diunduh pada tanggal 21 Maret 2016
http://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/kemiskinan/item301, diunduh pada tanggal 21 Maret 2016
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia¬rising¬divide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar