REFORMASI Perpajakan VS REVOLUSI Perpajakan
Dunia perpajakan selama ini hanya mengenal kata reformasi perpajakan. Tidak ada istilah revolusi perpajakan. Apabila diterjemahkan secara bebas, kata reformasi mengandung makna perubahan secara drastis, sedangkan revolusi adalah perubahan total dan cepat.
Reformasi perpajakan lahir melalui ketetapan MPR No II/MPR/1983 tanggal 9 Maret 1983 pada Bab III huruf D butir ke 13, tujuannya untuk mendanai pembangunan negara yang harus bersumber dari kemampuan dalam negeri.
Subtansinya berkisar pada pengelolahan anggaran penda-patan dan belanja negara terus disempurnakan agar penerimaan negara semakin meningkat. Semua tujuan reformasi perpajakan ini telah dipidatokan Presiden Suharto di depan sidang DPR RI pada 16 Agustus 1983.
Atas dasar itu maka lahirlah undang-undang perpajakan yang sudah direformasi, misalnya UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), dan UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Pada 1985 kembali menyusul kelahiran UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UU No 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
Setelah 1983 ini peraturan pajak terus diperbaharui di sana-sini dengan tujuan agar efektif dan mengikuti dinamika sosial dan perekonomian. Namun, hasilnya tak seindah yang diharapakan. Dari tahun ke tahun target penerimaan negara membengkak dan dari tahun ke tahun pula target penerimaan pajak tak pernah tercapai.
Revolusi perpajakan adalah jawaban yang pas untuk dapat mengatasi persoalan ini. Misalnya sehubungan dengan pembenahan dari sistem self assessment system menjadi official assessment system.
Selama ini PPN dan PPh wajib pajak badan dan PPh wajib pajak orang pribadi dilakukan dengan
menghitung melapor dan menyetor sendiri dilakukan oleh wajib pajak (self assessment system), hanya pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea materai yang menggunakan sistem dihitung oleh kantor pelayanan pajak (official assessment system).
Official system ini bisa dilakukan dengan cara Dirjen Pajak menggunakan personelnya untuk turun ke lapangan, pro-aktif melakukan perhitungan ke-pada setiap wajib pajak. Tentunya dengan menggunakan asas yang dikemukakan ekonom Adam Smith dalam bukunya An inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations, asas ability to pay yakni wajib pajak membayar sesuai dengan kemampuan untuk membayar.
Oleh karena selama ini menggunakan self assessment system, target penerimaan pajak tak pernah tercapai.
Juga sehubungan denga pajak pertambahan nilai (PPN) tarif 10% dihapuskan diganti dengan pajak penjualan dengan tarif 2% atau 3% bersifat final. Jadi, perlu adanya revolusi perpajakan deng-an menggunakan terobosan yang benar-benar baru.
Revolusi Termiologi Pajak
seyogyanya pilihan kata paling tepat dalam mengelola pajak adalah ‘REVOLUSI’.
Pada tataran historis terminologi, ‘pajak’ juga telah berevolusi.
Dalam sejarah Islam misalnya, terjadi pergeseran dari pemaknaan pajak dalam konsep almaks menjadi jizyah, dan bahkan dalam konsep Theologis menjadi sangat maju dengan zakat. Demikian halnya pada perkembangan masyarakat barat, pergeseran pemaknaan pajak justru menjadi alasan lahirnya piagam HAM pertama kali melalui magna charta tahun 1215. Penghormatan atas hak pembayar pajak mendorong lahirnya tuntutan kehidupan bernegara yang demokratis diseluruh dunia, meskipun pada abad itu bentuk Negara belum dalam konsep modern seperti saat ini.
Praktik perpajakan yang dipahami sebagai bentuk penindasan hak asasi manusia karena waktu itu pajak merupakan saudara kembar dari praktik absolutisme, kolonialisme dan imperialisme, dikoreksi dan diikuti dengan tuntutan hak. Tuntutan tertinggi terhadap pajak bahkan sampai pada tingkat di mana masyarakat meminta agar negara memberi kontra prestasi atas pajak yang dibayarkan. Ini menjadi fenomena baru demokrasi waktu itu, karena pajak bergeser menjadi alat dari pembayar pajak besar untuk mendapatkan fasilitas yang banyak dari negara sebagai jasa timbalnya.
Sejarah kebangsaan Indonesia, juga membuktikan bahwa kosa kata bahasa Indonesia sangat kaya dalam menyebut pajak baik dalam bahasa literatur, hukum formal maupun percakapan informal. Mulai dari sebutan upeti, pungutan, iuran, sampai pada istilah kontribusi sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
Kata ‘kontribusi’ lebih dari sekedar penghalusan bahasa karena sesungguhnya makna epistemologisnya (apa) dan ontologisnya (bagaimana) menyingkirkan watak absolutis, kolonialis, imperialis atau bahkan watak premanis yang tersirat dalam banyak terminologi lama. Jauh sebelumnya, peta jalan revolusi pajak justu dimulai dari muatan prosedurnya, yakni ketika sistem pajak Indonesia berhasil di ubah dari official assessment ke self-assessment system pada tahun 1983.
KONTRIBUSI VS BEBAN
Betapa sentralnya peran pajak tersurat dalam klausul Pasal 1 angka 1 UU KUP bahwa pajak adalah kontribusi yang dipergunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas amanat UU yang demikian, maka sebetulnya peran serta setiap warga sangat mungkin dikalkulasikan. Oleh karena itu menjadi terang ukurannya, apakah seseorang menjadi modal menuju kemakmuran ataukah sebaliknya menjadi beban dalam konsep kemakmuran. Pada siklus keuangan negara, parameter sederhana dan konkret yang dapat dijadikan ukuran adalah dengan membandingkan antara pajak yang dibayar dengan subsidi yang diterima setiap keluarga atau individu, sebagai satu kesatuan ekonomis terkecil di Indonesia.
Misalnya;
jika satu keluarga atau individu yang masuk kategori mampu dan memiliki minimal satu kendaraan roda 4 yang setiap harinya menggunakan BBM subsidi 10 liter per hari, maka berarti setiap hari keluarga atau individu dimaksud akan menyedot subsidi sebesar Rp50.000 (seharusnya yang bersangkutan menggunakan BBM nonsubsidi seharga Rp10.000/liter).
Sekiranya kendaraan tadi digunakan nonstop selama 30 hari/bulan, maka subsidi yang digunakannya menjadi Rp1.500.000/per bulan. Kondisinya menjadi sangat menyedihkan jika ternyata yang bersangkutan membayar pajak hanya sebesar Rp100.000/bulan, maka secara keseluruhan yang bersangkutan menjadi beban Negara sebesar minus Rp1.400.000/bulan.
Golongan masyarakat ini mendominasi struktur keluarga di Indonesia (tanpa mengabaikan kelompok keluarga kategori miskin yang juga cukup besar jumlahnya).
Secara politis, situasi di atas ibarat memakan buah simalakama.
Menaikkan pajak dianggap tidak populis. Sebaliknya menurunkan pajak atau memberi fasilitas serta menggelontorkan subsidi menjadi sangat populis, sekalipun risikonya adalah jebolnya ketahanan keuangan negara.
Terminologi ‘kontribusi’ seharusnya dimaknai sepadan dengan kodrat kehadiran setiap warga dalam bernegara, yakni tidak hanya sekadar hidup melainkan ikut mengubah lingkungan agar sesuai kebutuhan dan martabat bangsa secara keseluruhan.
GUARDIAN OF STATE
Pasal 23A UUD 1945 telah menempatkan pajak sebagai alat mencapai kemakmuran.
Dalam kamus nasionalisme, kontribusi warga berupa pajak adalah guardian of state.
Sebesar atau sekecil apa pun pajak yang dibayar akan sangat besar artinya. Oleh karena itu ketika para wakil rakyat atau pejabat dengan sukarela mempublikasi data SPT pajaknya maka seharusnya ini tidak hanya dipandang sekadar untuk pencitraan melainkan sebagai titik awal bisa mengakses seberapa besar ‘kontribusi’ dari kita.
Revolusi pajak seharusnya lebih dari sekedar terminologi.
Modal dasar menuju negara kesejahteraan sebagaimana visi para capres tidak ada lain kecuali uang pajak.
Cita-cita menaikkan tax rasio perlu didukung sepanjang didasari rasionalitas.
Rasio yang tinggi tentu harus didasari peta dan basis potensi yang konkrit. Memang secara kasat mata gap antara potensi dan realisasi pajak semakin lebar dengan didasari argument semakin bertambahnya lapisan kelompok high wealth sementara pada saat yang sama kontribusi keseluruhan pembayar pajak perorangan sangat rendah.
Kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang membuka akses bayar pajak pada semua orang yang selama ini belum bayar, perlu dipertimbangkan diikuti kebijakan memajaki kekayaan orang kaya. Demikian juga terhadap kelompok yang mencoba bermainmain tidak bayar pajak dengan memanfaatkan loopholes dari aturan (karena berlindung dibalik status non NPWP atau non-PKP) bisa dijaring dengan tanggung jawab renteng yang ekstensif.
Makna denotasi terminologi ‘kontribusi’ dalam UU KUP memang sangat abstrak (de meer abstracte normen steeds breeder toepassingsgebeid). Namun, setidaknya akan mendorong pajak menjadi alat menciptakan pemerintahan yang demokratis. Hanya pemerintahan demokratis yang dapat tahan menghadapi tuntutan negara kesejahteraan kelak.
Memang tidak mudah apalagi saat ini semua beban keuangan negara (baca utang) jaminan pelunasannya justru uang pajak masa yang akan datang. Oleh karena itu, pemaknaan ‘kontribusi’ hanya akan berdampak pada kemakmuran apabila kita mau belajar dari sejarah pengelolaan pajak di berbagai zaman dan di berbagai belahan dunia.
Tiga quantum leap strategy layak dikibarkan
Quantum Leap Strategy # 1 : Membangun sistem reward and punishment yang solid sehingga tragedi pahit a la Gayus Tambunan tidak akan pernah terulang kembali. Never. And forever never.
Quantum Leap Strategy # 2 : Develop change makers as many as possible. Ada begitu banyak pribadi-pribadi yang jujur, kompeten dan tangguh diantara 30 ribu pegawai Pajak di seluruh bumi Nusantara.
Quantum Leap Strategy # 3 : Empowering Tax Institution. Empowering dengan cara menambah wewenang (kekuasaan), anggaran dan mungkin juga jumlah SDM – supaya Anda yang ngemplang pajak bisa selalu dikejar sampai ujung dunia sekalipun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar