Rabu, 13 April 2016

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan Di Provinsi Bali

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan Di Provinsi Bali

LATAR BELAKANG

Dalam sebuah negara pasti tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian ini terjadi dalam setiap bentuk aktivitas kehidupan dan terjadi pada semua kalangan masyarakat, baik masyarakat menengah ke bawah maupun pada masyarakat kalangan atas. Dalam pelaksanaannya, perekonomian selalu menimbulkan permasalahan. Terlebih lagi dalam pelaksanaannya di sebuah negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Indonesia merupakan daerah kepulauan yang mempunyai ribuan pulau dan mempunyai 34 provinsi. Masing-masing daerah mempunyai perbedaan ciri khas tersendiri meliputi sumberdaya alam, ekonomi, sosial budaya, adat-istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumberdaya manusia, letak geografis, serta sarana dan prasarana yang tersedia di setiap daerah. Perbedaan karakteristik tersebut berpengaruh pada kemampuan tumbuh masing-masing daerah, sehingga membuat pembangunan di sebagian daerah tumbuh lebih cepat daripada pembangunan daerah lainnya. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini juga diikuti oleh perbedaan pola pembangunan ekonomi yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang, pembangunan nasional telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti, namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, diantaranya masih terdapatnya disparitas atau ketimpangan antar daerah. Ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut terpelihara dalam proses pertumbuhannya (Supriyantoro, 2005). Oleh karena itu, ketimpangan pasti akan selalu ada baik di negara miskin, negara sedang berkembang maupun negara maju. Setiap negara hanya bisa menekan nilai ketimpangan serendah mungkin. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang para pengambil kebijakan adalah bahwa kesenjangan perekonomian antar daerah masih dapat ditoleransi sejauh tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan tidak menciptakan ketidakmerataan pendapatan yang luar biasa dalam masyarakat.
Sebagai upaya dalam mengatasi ketimpangan daerah, pemerintah Indonesia memberlakukan sebuah kebijakan yaitu kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal. Dengan alasan, bahwa kebijakan pembangunan yang ditetapkan pemerintah pusat tidak semunya bisa diterapkan di seluruh daerah, daerah yang memiliki daya dukung dan sesuai dengan kriteria kebijakan nasional akan dengan mudah menyerap peluang pembangunan, sedangkan daerah yang tidak sesuai kriteria kebijakan nasional akan mengalami perlambatan dalam pembangunan. Sehingga dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan optimalisasi pembangunan akan terjadi. Di mana kebijkan pembangunan ini disesuaikan dengan potensi dan permasalahan daerah.
Adanya otonomi daerah sebagai sistem kerja pemerintah Indonesia, diharapkan kebijakan ini juga dapat memberikan kemudahan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi daerah (daerah di sini terutama kabupaten dan kota), pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan serta peningkatan kesetaraan kemakmuran maupun kesejahteraan masyarakat di daerah bersangkutan. Selain itu, ada beberapa keuntungan kebijakan otonomi daerah menurut (Suparmoko, 2002:19), pertama adalah sistem pemerintahan dengan otonomi daerah akan lebih mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan keinginan masing-masing masyarakat, kedua adalah pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri, ketiga adalah dengan adanya otonomi daerah akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang akan dilakukan.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, setiap daerah di Indonesia berlomba-lomba untuk membangun daerahnya lebih baik, dengan harapan seluruh masyarakat di masing-masing daerah tersebut dapat memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, kesenjangan atau ketimpangan antardaerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan mendominasi pengaruh yang menguntungkan terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Kemampuan pemerintah daerah dalam membangun masing-masing daerahnya tentu berbeda-beda, mengingat potensi yang dimiliki tiap daerah berbeda-beda pula.
Akibat dari perbedaan ini kemampuan suatu daerah dalam proses pembangunan juga menjadi berbeda, oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu daerah biasanya terdapat wilayah maju (developed region) dan wilayah terbelakang (underdeveloped region). Ketimpangan pembangunan juga dapat dilihat secara vertikal yakni perbedaan pada distribusi pendapatan serta secara horizontal yakni perbedaan antara daerah maju dan terbelakang (Sjafrizal, 2008). Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya alam, sumberdaya manusia, fisik, teknologi dan modal. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu ketimpangan pembangunan. Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era desentralisasi diterapkan di Indonesia. Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sektor pembangunan.
Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi tahun 2014 yang ditunjukkan pada Tabel 1.1, jumlah PDRB tertinggi masih didominasi oleh provinsi yang ada di Indonesia bagian barat dan bagian tengah. Hal ini terbukti dari jumlah PDRB tertinggi ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta dengan Rp. 174.824.110,- dan disusul oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau. Sementara peringkat terakhir dengan jumlah PDRB terendah ditempati oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Rp. 13.620.020,-. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antarwilayah. Ketimpangan pembangunan antarwilayah yang terjadi di Indonesia tidak saja dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antarwilayah dengan membandingkan penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan PDRB antar pulau. Ketimpangan antarwilayah dapat terjadi di dalam propinsi tertentu antar kota/kabupaten dalam satu pulau. Hal ini disebabkan latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda. Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan regional antar daerah semakin besar.
Tabel 1.1
(Seri 2010) Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita
Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi tahun 2014 (Ribu Rupiah)
Peringkat
Provinsi
PDRB (ribu rupiah)
-
Indonesia
42.432,08
1
174.824,11
2
155.136,65
3
109.832,52
4
95 567,29
5
95.396,95
6
46 004,12
7
41.960,45
8
39.903,87
9
39.850,48
10
39.850,48
11
38.834,86
12
38.112,66
13
38.045,85
14
36.972,96
15
36.834,82
16
35.592,79
17
33.781,40
18
33.545,74
19
32.549,44
20
32.115,11
21
31.878,01
22
30.110,13
23
28.781,83
24
27.975,16
25
27.613,04
26
26.585,01
27
25.693,39
28
24.520,48
29
23.362,01
30
23.362,01
31
21.124,26
32
19.146,36
33
17.228,76
34
13.620,02
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
            Provinsi Bali sebagai salah satu wilayah dengan sebaran yang cukup tinggi juga mengalami ketidakmerataan dalam percepatan pembangunan antar wilayahnya. Bali merupakan suatu provinsi di Indonesia yang terdiri atas 8 kabupaten, 1 wilayah kota dan 57 kecamatan dengan perbedaan karakteristik dimasing-masing wilayahnya. Perbedaan karakteristik baik dari letak geografis dan potensi sumber daya yang berbeda di masing-masing wilayahnya mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi di Bali, sehingga pola pembangunan ekonominya menjadi tidak seragam dan menimbulkan kemampuan tumbuh yang berbeda. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan maupun hasilnya. Ketimpangan pembangunan dapat meliputi ketimpangan pendapatan perkapita, dan ketimpangan dalam kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri.
Tabel 1.2
Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 2010-2014
Provinsi
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
Aceh
0,30
0,33
0,32
0,34
0,32
Sumatera Utara
0,35
0,35
0,33
0,35
0,32
Sumatera Barat
0,33
0,35
0,36
0,36
0,33
Riau
0,33
0,36
0,40
0,37
0,35
Jambi
0,30
0,34
0,34
0,35
0,33
Sumatera Selatan
0,34
0,34
0,40
0,38
0,40
Bengkulu
0,37
0,36
0,35
0,39
0,36
Lampung
0,36
0,37
0,36
0,36
0,35
Kep. Bangka Belitung
0,30
0,30
0,29
0,31
0,30
Kep. Riau
0,29
0,32
0,35
0,36
0,40
Dki Jakarta
0,36
0,44
0,42
0,43
0,43
Jawa Barat
0,36
0,41
0,41
0,41
0,41
Jawa Tengah
0,34
0,38
0,38
0,39
0,38
DI Yogyakarta
0,41
0,40
0,43
0,44
0,42
Jawa Timur
0,34
0,37
0,36
0,36
0,37
Banten
0,42
0,40
0,39
0,40
0,40
Bali
0,37
0,41
0,43
0,40
0,42
Nusa Tenggara Barat
0,40
0,36
0,35
0,36
0,38
Nusa Tenggara Timur
0,38
0,36
0,36
0,35
0,36
Kalimantan Barat
0,37
0,40
0,38
0,40
0,39
Kalimantan Tengah
0,30
0,34
0,33
0,35
0,35
Kalimantan Selatan
0,37
0,37
0,38
0,36
0,36
Kalimantan Timur
0,37
0,38
0,36
0,37
0,35
Kalimantan Utara
-
-
-
-
-
Sulawesi Utara
0,37
0,39
0,43
0,42
0,42
Sulawesi Tengah
0,37
0,38
0,40
0,41
0,37
Sulawesi Selatan
0,40
0,41
0,41
0,43
0,42
Sulawesi Tenggara
0,42
0,41
0,40
0,43
0,41
Gorontalo
0,43
0,46
0,44
0,44
0,41
Sulawesi Barat
0,36
0,34
0,31
0,35
0,35
Maluku
0,33
0,41
0,38
0,37
0,35
Maluku Utara
0,34
0,33
0,34
0,32
0,32
Papua Barat
0,38
0,40
0,43
0,43
0,44
Papua
0,41
0,42
0,44
0,44
0,41
INDONESIA
0,38
0,41
0,41
0,41
0,41
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
            Ketimpangan distribusi pendapatan diukur dengan Gini Concentration Ratio (GCR) atau lazim disebut dengan Gini Ratio. Data pada Tabel 1.2 menunjukkan bahwa ketimpangan atau kesenjangan antar manusia dan antar daerah di Bali yang diukur dari gini ratio pada tahun 2014 mencapai 0,42 yang masuk dalam kategori jenis ketimpangan sedang. Pada tahun 2013 ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Bali berada dibawah ketimpangan nasional, namun ketimpangan Provinsi Bali mengalami peningkatan dari 0,40 pada tahun 2013 menjadi 0,42 pada tahun 2014 yang berada diatas ketimpangan nasional yang sebesar 0,41.
            Tambunan (dalam Savitri, 2008) menyatakan ketimpangan distribusi investasi antar daerah dapat juga dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Berdasarkan data Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Bali menurut Kabupaten/Kota tahun 2010-2014, Kabupaten/Kota yang paling banyak mendapat setoran modal dari investor adalah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Di Tahun 2014 saja, realisasi penanaman modal di Kabupaten Badung mencapai      Rp. 1.658,995 miliar dan di urutan kedua adalah Kota Denpasar dengan realisasi mencapai Rp. 1.016,228 miliar.  Sementara Kabupaten yang paling rendah mendapat minat dari investor adalah Kabupaten Bangli, dengan realisasi mencapai Rp. 23,128 miliar. Hal ini dikarenakan pembangunan di Provinsi Bali masih mengandalkan sektor pariwisata yang hanya berpusat di Bali bagian selatan, dan Bali bagian lainnya masih mengandalkan sektor pertanian dalam arti luas.
Tabel 1.3
Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Bali Menurut Kabupaten/Kota, 2010-2014 (Juta Rupiah)
No.
Kabupaten/Kota
2010
2011
2012
2013
2014
1
Jembrana
67.183
239.990
103.631
80.267
215.646
2
Tabanan
667.977
1.141.259
734.409
108.928
98.540
3
Badung
2.868
1.743.362
3.098.820
3.126.279
1.658.995
4
Gianyar
43.652
1.081.182
150.927
1.134.498
430.417
5
Klungkung
260.037
178.342
53.487
23.954
65.372
6
Bangli
31.818
26.058
31.479
21.252
23.128
7
Karangasem
60.407
45.528
74.664
163.429
78.406
8
Buleleng
266.716
109.615
393.575
201.727
259.707
9
Denpasar
1.250.704
2.749.143
2.965.371
2.932.781
1.016.228
Jumlah Bali
2.651.362
7.314.479
7.606.361
7.793.114
3.846.438
Sumber : BPS Provinsi Bali (Bali Dalam Angka 2015)
            Tingginya pembangunan di Bali bagian selatan, juga berimbas terhadap laju pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ekonomi suatu daerah dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat pada suatu daerah. Apabila pertumbuhan ekonomi suatu daerah meningkat diharapkan pertumbuhan tersebut dapat dinikmati merata oleh seluruh masyarakat.
Tabel 1.4
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Tahun 2010-2014 

Sumber : Bank Indonesia, 2015
            Sampai dengan tahun 2014, disparitas pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali masih terjadi. Pada tahun 2014, perekonomian Kota Denpasar mampu mencapai 6,77% sedangkan pertumbuhan Kabupaten Bangli hanya mencapai 5,67%. Dari tahun 2010-2014, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Bali sebesar 6,55 % per tahun. Kabupaten/Kota yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Bali adalah Kota Denpasar sebesar 6,77 % per tahun dan Kabupaten Badung sebesar 6,73 % per tahun, yang merupakan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Bali selatan yang juga merupakan konsentrasi pusat pemerintahan sekaligus pusat perkembangan industri pariwisata yang menjadi andalan Provinsi Bali. Sedangkan Kabupaten yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi paling rendah adalah Kabupaten Jembrana sebesar  5,47 % per tahun. Jika dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, maka dapat diambil kesimpulan bahwa laju pertumbuhan ekonomi antar Kabupaten/Kota sangat bervariasi dan memiliki perbedaan pendapatan yang cukup timpang.
Gambar 1.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Bali
Tahun 2013 dan 2014

Sumber : Bank Indonesia (Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional 2015)
            Ketimpangan serupa juga terjadi pada produk domestik regional bruto. Berdasarkan data PDRB menurut lapangan usaha, pendapatan tertinggi dimiliki oleh Kota Denpasar dengan Rp. 34.208,83 miliar, sementara Kabupaten Bangli memiliki pendapatan terendah sebesar Rp. 4.381,65 miliar. Terdapat selisih yang cukup besar antara nilai PDRB tertinggi dengan nilai PDRB terendah, hal ini menunjukkan terjadinya ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cukup tinggi antara Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

Tabel 1.5
PDRB Kab/Kota atas Dasar Harga Konstan 2000 dan 2010
Menurut Lapangan Usaha, 2012-2014 (Milyar Rupiah)
No.
Kabupaten/Kota
2012
2013
2014
1
Jembrana
1.945,29
2.049,93
7.134,66
2
Tabanan
2.774,39
2.941,82
11.904,19
3
Badung
6.738,91
7.170,97
27.456,37
4
Gianyar
3.854,01
4.101,81
14.272,75
5
Klungkung
1.467,35
1.551,11
4.536,26
6
Bangli
1.225,10
1.293,89
4.381,65
7
Karangasem
2.042,14
2.160,73
10.785,07
8
Buleleng
3.907,94
4.170,21
17.740,83
9
Denpasar
6.535,17
6.962,61
34.208,83
Bali
32.804,38
34.787,96
121.777,64
Sumber : BPS Bali, 2015
            Kondisi ini merupakan tantangan pembangunan yang harus dihadapi mengingat masalah kesenjangan itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat menyulitkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan pemerataan. Aktivitas ekonomi di provinsi Bali tersebar di berbagai Kabupaten dan cenderung terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas. Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah. Ketimpangan merupakan permasalahan klasik yang dapat ditemukan dimana saja.  Ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, oleh karena itu tugas pemerintah Provinsi Bali adalah mengurangi tingkat ketimpangan sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.


II.      RUMUSAN MASALAH
                        Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah dalam tulisan ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana konsep ketimpangan distribusi pendapatan ?
2.      Apa saja penyebab terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan ?
3.      Apa saja indikator ketimpangan distribusi pendapatan ?
4.      Bagimana ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Bali ?
5.      Apa saja upaya Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Bali ?

III.   PEMBAHASAN
3.1  Konsep Ketimpangan Distribusi Pendapatan
            Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif (Todaro dan Smith, 2004). Kedua ukuran tersebut adalah :
1)      Size distribution of income ( ukuran distribusi pendapatan )
Ukuran Distribusi pendapatan secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Berdasarkan ukuran ini, cara mendapatkan penghasilan tidak dipermasalahkan, apa yang lebih diperhatikan dari ukuran ini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya. Selain itu, lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan.
2)      Functional or factor share distribution of income (distribusi pendapatan fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi)
Distribusi Pendapatan Fungsional berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan nasional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini.
            Dari dua hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya. Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh setiap individu dimana satu individu/kelompok mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan individu/kelompok lain, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia.
            Konsep tentang ketimpangan/kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang itu maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu dan sebagainya.
            Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok yang sejak awal sering digunakan adalah pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut kelompok – kelompok 10 persen populasi., mulai dari kelompok 10 persen populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokan lain adalah berdasarkan tingkat pendapatan 40 persen populasi dengan pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi.

3.2  Penyebab Ketimpangan Distribusi Pendapatan
            Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu :
1)      Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2)      Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang
3)      Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4)      Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah
5)      Rendahnya mobilitas sosial
6)      Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7)      Memburuknya nilai tukar ( term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara maju terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang
8)      Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
            Sebagai salah satu negara yang berkembang, pembagian atau distribusi pendapatan di Indonesia juga menunjukkan terjadinya ketimpangan. Hal tersebut tampak dari makin meningkatnya Indeks Gini Indonesia. Berdasarkan data, Indeks Gini Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai tahun 2014. Jika pada tahun 2010 besarnya Indeks Gini adalah 0,38, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi 0,41. Menurut Nugroho (2012), ada beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia kian parah, yaitu :
1)      Ketimpangan dalam distribusi asset. Ketimpangan tersebut terlihat sangat parah terutama di sektor pertanian. Berdasarkan data dari sensus pertanian, 57,8 persen petani hanya memiliki lahan rata-rata 0,018 Ha, 38 persen tidak memiliki lahan, dan hanya 4,2 persen yang memiliki lahan 0,5 Ha atau lebih. Lahan yang sempit tentu tidak mencukupi bagi petani untuk memperoleh tingkat pendapatan yang layak. Untuk sektor yang lain, bisa terlihat dengan jelas bagaimana perusahaan atau pengusaha sedang dan besar dengan mudah mendapatkan kredit dengan agunan hanya nama baik, sementara Usaha Menengah, Koperasi, dan Mikro (UMKM) setengah mati untuk mendapatkan kredit.
2)      Masih besarnya pekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah dan tiadanya jaminan kepastian usaha di masa depan. Tingginya pekerja di sektor informal disebabkan makin padat modalnya teknologi produksi yang digunakan oleh para pengusaha. Hal tersebut terlihat dari makin kecilnya kesempatan kerja yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika dahulu setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 pekerja baru, kini pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya menyerap 200.000 orang tenaga kerja baru. Hal tersebut terlihat jelas misalnya di Industri rokok dimana rata-rata pabrik rokok sekarang hanya mempertahankan para pekerja lama yang rata-rata sudah lanjut usia. Sementara untuk proses produk secara bertahap akan digantikan oleh mesin.  Sebab lain lagi adalah justru tumbuhnya sektor-sektor jasa (yang sering disebut non-tradable) seperti perdagangan dan jasa keuangan (bank dan lembaga keuangan lain) yang menyerap sedikit tenaga kerja melebihi pertumbuhan sektor produksi seperti manufaktur dan pertanian. Kondisi ini diperparah dengan masih berlakunya sistem alih daya (out sourcing) dalam perekrutan tenaga kerja dimana pengusaha bisa sewaktu-waktu memecat pekerja.
3)      Akibat kesalahan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang memperburuk distribusi pendapatan adalah pemberian subsidi BBM, listrik dan pupuk. Subsidi BBM listrik dan pupuk yang kian besar pada umumnya dinikmati oleh sebagian besar penduduk golongan menengah ke atas. Ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi tersebut mempertimpang distribusi pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama, memperkuat daya ekonomi (daya usaha dan pendapatan) golongan kaya karena pengeluaran mereka bisa ditekan lewat subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang sebenarnya bisa untuk program pengentasan kemiskinan atau program lain yang pro rakyat miskin tetapi salah alokasi untuk subsidi bagi golongan yang seharusnya tidak menerima.

3.3  Indikator Ketimpangan Distribusi Pendapatan
            Konsep kesenjangan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Untuk melihat kesenjangan antar penduduk dalam suatu wilayah, berbagai studi umumnya menggunakan kurva lorenz dan indek kemerataan distribusi Gini atau Gini Ratio serta kriteria bank dunia, sementara untuk melihat kesenjangan antar wilayah berbagai studi lain menggunakan indeks Williamson.
3.3.1   Kurva Lorenz
            Kurva Lorenz merupakan salah satu metode untuk menganalisis pendapatan perorangan. Dimana jumlah penerimaan pendapatan dinyatakan dalam sumbu horizontal dalam presentase kumulatif. Sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima oleh masing-masing presentase kelompok penduduk. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar diterima masyarakat selama satu tahunnya.
            Kurva ini terletak dalam sebuah bujur sangkar yang sumbu horizontalnya menggambarkan persentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikalnya menggambarkan persentase kumulatif pendapatan nasional. Garis diagonal yang membagi bujur sangkar disebut “garis kemerataan sempurna” dimana Kurva Lorenz akan ditempatkan. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menggambarkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata, sebaliknya jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung) berarti distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata
Gambar 3.1
Kurva Lorenz
3.3.2   Koefisien Gini (Gini Ratio)
            Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Ide dasar perhitungan koefisien gini sebenarnya berasal dari upaya pengukuran luas kurva  Lorenz yang menggambarkan distribusi pendapatan untuk seluruh kelompok pendapatan. Guna membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pendapatan digambar pada sumbu vertikal.
Gambar 3.2
Perhitungan Gini Ratio dalam Kurva Lorenz

Pada Gambar 3.1, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir. Sedangkan Koefisien Gini atau Gini Ratio adalah rasio (perbandingan) antara luas bidang A yang diarsir tersebut dengan luas segitiga BCD. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa bila pendapatan didistribusikan secara merata dengan sempurna, maka semua titik akan terletak pada garis diagonal. Artinya, daerah yang diarsir akan bernilai nol karena daerah tersebut sama dengan garis diagonalnya. Dengan demikian angka koefisiennya sama dengan nol. Sebaliknya, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan, maka luas daerah yang diarsir akan sama dengan luas segitiga, sehingga Koefisien Gini bernilai satu. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa suatu distribusi pendapatan dikatakan makin merata bila nilai Koefisien Gini mendekati nol (0), sedangkan makin tidak merata suatu distribusi pendapatan maka nilai Koefisien Gini-nya makin mendekati satu. Rumus yang dipakai untuk menghitung nilai Gini Ratio adalah :


Keterangan :
G       =  Gini Ratio
Pi      =  Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i
Qi      =  Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas-i
Qi-1  =  Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i
k        =  Banyaknya kelas pendapatan
Kriteria ketimpangan pendapatan berdasarkan Koefisien Gini (Susanti et. al 2007) adalah sebagai berikut :
·         Lebih kecil dari 0,4    : tingkat ketimpangan rendah
·         Antara 0,4 – 0,5         : tingkat ketimpangan moderat
·         Lebih tinggi dari 0,5   : tingkat ketimpangan tinggi
3.3.3   Kriteria Bank Dunia
            Pengukuran disparitas menggunakan kriteria Bank Dunia dilakukan dengan membagi penduduk dalam 3 kelompok yaitu :
a)      20 % penduduk berpendapatan tinggi
b)      40 % penduduk berpendapatan sedang
c)      40 % penduduk bependapatan rendah
Kemudian berdasarkan kriteria ini, ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Sedangkan formula perhitungan yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Dimana :
YD4    = Presentase pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk lapisan bawah
Qi – 1 = Presentase kumulatif pendapatan ke i-1
Pi         = Presentase kumulatif penduduk ke i
qi         = Presentase pendapatan ke i
            Selain dari sisi pendapatan, pengukuran ketimpangan berdasarkan kriteria Bank Dunia tersebut juga dapat dilakukan dengan menggunakan data pengeluaran. Karena data pengeluaran lebih mudah diperoleh, maka pengukuran ketimpangan menurut kriteria Bank Dunia ini lebih sering menggunakan data pengeluaran. Namun, pengukuran ketimpangan pendapatan dengan pendekatan pengeluaran memiliki kelemahan antara lain data yang disajikan akan under estimate dibandingkan bila data yang dipergunakan adalah data yang berdasarkan pendapatan. Hal ini disebabkan adanya sebagian pendapatan yang tidak dibelanjakan dan disimpan sebagai tabungan (saving). Penyebab lainnya adalah adanya transfer pendapatan. Dalam masyarakat adalah hal yang lumrah bila seseorang memberikan sebagian pendapatannya sebagai sokongan kepada orang tua atau saudara yang tidak mampu. Dengan demikian, tingkat pengeluaran tidak mencerminkan pendapatan yang diperoleh. Masalah lainnya adalah sering tidak tercatatnya pengeluaran-pengeluaran terutama bagi masyarakat yang berpendapatan tinggi.
Kategori ketimpangan yang ditentukan dengan menggunakan kriteria Bank Dunia adalah sebagai berikut:
a)    Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12% dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi;
b)   proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12%-17% dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang atau menengah;
c)    Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17% dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.
3.3.4   Indeks Williamson
            Indeks Williamson adalah suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan pendapatan perkapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan perkapita nasional. Jadi Indeks Williamson ini merupakan suatu modifikasi dari standar deviasi. Indeks Williamson bernilai antara 0 - 1. Makin tinggi Indeks Williamson berarti kesenjangan wilayah semakin besar dan begitupun sebaliknya semakin rendah Indeks Williamson maka akan semakin rendah kesenjangan di wilayah tersebut. Selanjutnya Williamson menganalisis hubungan antara kesenjangan wilayah dengan tingkat perkembangan ekonomi. Williamson menggunakan indeks ini untuk mengukur tingkat kesenjangan dari berbagai negara dengan tahun yang relatif sama. Dalam melakukan perhitungan, Williamson mengunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita serta jumlah penduduk dari berbagai negara. Hasil perhitungan ini kemudian digabungkan dengan tingkat perkembangan ekonomi (berdasarkan tingkat PDB) negara-negara tersebut dari Kuznets. Berdasarkan penggabungan kedua perhitungan tersebut, Williamson menyatakan bahwa ada hubungan sistematis antara tingkat pembangunan nasional dan ketidaksamaan regional. Tingkat ketidaksamaan regional adalah sangat tinggi dalam golongan pendapatan menegah berdasarkan Kuznets, tetapi secara konsisten lebih rendah apabila kita bergerak ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi.

3.4  Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Provinsi Bali
            Aktivitas ekonomi di provinsi Bali tersebar di berbagai Kabupaten dan cenderung terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas. Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dan mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
3.4.1   Kondisi Pertumbuhan Ekonomi Bali
            Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator pembangunan suatu wilayah. Suatu wilayah dikatakan maju pembangunannya tatkala mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, Provinsi Bali adalah salah satu wilayah yang bertumpu pada pariwisata. Selama kurun waktu 2014, perekonomian Bali mampu tumbuh 6,72 persen (Tahun Dasar 2010). Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya tumbuh 6,69 persen.
Gambar 3.3
Laju Pertumbuhan Ekonomi Bali Tahun 2010-2014
Sumber : Bappeda Prov. Bali (Informasi Pembangunan Daerah Bali Tahun 2014)
            Pariwisata adalah tumpuan perekonomian Bali. Hal ini terbukti dari tingginya kontribusi sektor ini terhadap total perekonomian Bali. Selama tahun 2014, sektor pariwisata yang dalam hal ini diwakili oleh kategori penyediaan akomodasi dan makan minum mampu memberikan kontribusi sebesar 23,08 persen. Kategori kedua yang juga memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Bali adalah kategori pertanian yakni sebesar 14,64 persen.
Gambar 3.4
Kontribusi 5 Kategori Utama Perekonomian Bali Tahun 2014
Sumber : Bappeda Prov. Bali (Informasi Pembangunan Daerah Bali Tahun 2014)
3.4.2   Kesenjangan Ekonomi di Provinsi Bali
            Tingkat kesenjangan ekonomi yang terjadi di Bali berkategori sedang, menunjukkan perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Bali belum merata. Nilai Indeks Williamson dari tahun 2009-2013 Provinsi Bali cenderung konstan namun masih berada di bawah rata-rata nasional. Penyebab kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali apabila dikaitkan dengan struktur perekonomian adalah persebaran yang tidak merata dari titik-titik destinasi pariwisata sehingga terdapat ketimpangan yang tidak merata dalam menikmati keuntungan ekonomi dari aktivitas pariwisata.
Gambar 3.5
Perkembangan Kesenjangan Ekonomi (Indeks Williamson) Provinsi Bali Tahun 2009-2013
Sumber : Bappenas (Perkembangan Pembangunan Provinsi Bali 2014)
            Kesenjangan yang ditimbulkan juga relatif besar antar wilayah yang memiliki sektor pariwisata dengan yang tidak, terutama untuk wilayah Badung dan Denpasar dibandingkan dengan Kabupaten-Kabupaten lainnya. Mayoritas sektor pariwisata menyebabkan pertumbuhan ekonomi Badung lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten lainnya sehingga seringkali terjadi adanya alih fungsi lahan pertanian. Sektor pariwisata di Provinsi Bali terkonsentrasi di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Gianyar sehingga berpengaruh terhadap tingginya pendapatan perkapita di ketiga daerah tersebut.
            Struktur perekonomian juga mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan. Struktur perekonomian Provinsi Bali didominasi sektor perdagangan, hotel, restauran yang menyumbang 29,89 persen dalam PDRB, diikuti oleh sektor pertanian dan jasa-jasa (Tabel 3.1)
Tabel 3.1
Struktur PDRB Menurut Lapangan Usaha (2013)



Distribusi Persentase (%)

No.
Lapangan Usaha



PDRB ADHB
PDRB ADHK



2000










1.
Pertanian
16,82
17,69

2.
Pertambangan
0.80
0,75
Struktur
3.
Industri Pengolahan
8,72
9,85

4.
Listrik, Gas, Air Minum
2,08
1,60

5.
Konstruksi
5.14
4,48

6.
Perdagangan, Hotel, Restauran
29,89
32,14

7.
Angkutan, Telekomunikasi
14,25
11,08

8.
Keuangan
6,74
7,31

9.
Jasa-jasa
15,56
15,08








100.00
100.00

Sumber : Bappenas (Perkembangan Pembangunan Provinsi Bali 2014)        
Sektor perdagangan, hotel, dan restauran juga menjadi pendorong utama pertumbuhan wilayah di Bali. Perkembangan pariwisata di Bali terlihat pada meningkatnya pendapatan yang dihasilkan pada sektor perdagangan, hotel, dan restauran, yaitu dalam bentuk pengeluaran untuk akomodasi, konsumsi makanan, angkutan wisata, dan jasa-jasa lainnya. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan di Bali menciptakan dampak langsung terhadap sektor perdagangan, hotel, dan restauran sehingga meningkatkan PDRB wilayah. Sementara sektor perdagangan, hotel dan restauran masih terkonsentrasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung sehingga hasilnya hanya masih bisa dinikmati oleh masyarakat dikawasan Denpasar dan Badung.
3.4.3   Distribusi Pendapatan Menurut Klasifikasi Daerah
            Hasil susenas tahun 2013 menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali sudah tergolong dalam ketegori menengah, yaitu terletak pada interval 0,4 dan 0,50  atau lebih tepatnya adalah 0,403 pada tahun 2013.
Tabel 3.2
Gini Ratio Menurut Klasifikasi Daerah, Provinsi Bali Tahun 2013


Klasifikasi Daerah
Gini Ratio

(1)

(2)



Perkotaan

0,408



Perdesaan

0,335



Bali
2013
0,403




2012á´¿
0,430




2011á´¿
0,410


Sumber : BPS (Susenas 2013)

            Pada Tabel 3.2 terlihat bahwa indeks gini rasio Provinsi Bali mengalami penurunan dari 0,430 di tahun 2012 menjadi 0,403 di tahun 2013. Jika dibandingkan menurut klasifikasi daerah, kesenjangan pendapatan di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan didaerah pedesaan, yaitu sebesar 0,408 untuk indeks gini rasio perkotaan dan 0,335 untuk pedesaan. Semakin tinggi tingkat gini rasio suatu wilayah mencerminkan semakin tinggi pula ketimpangan pendapatan yang terjadi di antara penduduk daerah tersedut. Lebih tingginya nilai indeks gini rasio di perkotaan lebih disebabkan karena sifat penduduk perkotaan yang lebih majemuk dan beragam, baik dari segi jenis pekerjaan, status ekonomi, hingga pendapatan yang mereka peroleh. Berfluktuasinya pendapatan penduduk perkotaan disebabkan adanya rentang perbedaan pendapatan rendah dengan penduduk berpendapatan tinggi. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pendapatan di masyarakat perkotaan.
            Presentase pendapatan yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan penduduk, sejalan dengan nilai gini ratio hasil perhitungan menurut kriteria Bank Dunia juga memperlihatkan bahwa tingkat kesenjangan pendapatan di Provinsi Bali sudah masuk dalam kategori menengah. Distribusi Pendapatan Provinsi Bali menurut Klasifikasi Daerah dan Kriteria Bank Dunia di sajikan pada Tabel 3.3


Tabel 3.3
Distribusi pendapatan Menurut Klasifikasi Daerah Kriteria Bank Dunia   Provinsi Bali Tahun 2013
Klasifikasi Daerah
Kelompok Pendapatan
40% Penduduk Berpendapatan Rendah
40% Penduduk berpendapatan Manengah
20% Penduduk Berpendapatan Tinggi
(1)
(2)
(3)
(4)
Perkotaan
15,53
37,81
46,66
Pedesaan
19,54
39,17
41,28
Bali
2013
16,32
36,77
46,91

2012
16, 21
35, 67
48,11
Sumber : BPS (Susenas 2013)
            Berdasarkan Tabel 3.3, pada tahun 2012, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima kurang dari 17 persen jumlah total pendapatan, yaitu sebesar 16,21 persen, sedangkan pada tahun 2013 menjadi 16,32 persen. Dengan demikian Bali masih berada pada kategori ketimpangan menengah (pemerataan sedang). Pada tahun 2013 tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, kecuali pada kelompok 20% penduduk berpendapatan tinggi. Dengan kata lain, ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi daripada dipedesaan untuk kelompok pendapatan 40 persen penduduk berpendapatan rendah dan 40 persen penduduk berpendapatan menengah.             Hal ini terlihat dari lebih besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah dan 40 persen penduduk berpendapatan menengah di perdesaan dibanding di perkotaan. Jumlah pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah di perdesaan mencapai 19,54 persen (masuk kategori ketimpangan rendah karena di atas 17 persen). Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding porsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah di perkotaan yang hanya 15,53 persen ( masuk kategori sedang). Tingkat kesenjangan pendapatan menurut klasifikasi daerah Provinsi Bali Tahun 2013 dapat divisualisasikan melalui Kurva Lorenz seperti Gambar 3.6

Gambar 3.6
Distribusi Pendapatan menurut Klasifikasi Daerah Provinsi Bali Tahun 2013
Sumber data : BPS (Susenas 2013)
Sejalan dengan dua hasil penghitungan sebelumnya tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan memang sudah lebih baik dibandingkan daerah perkotaan. Hal ini tercermin dari garis distribusi pendapatn daerah pedesaan yang lebih mendekati garis diagonal dibandingkan garis distribusi pendapatan daerah perkotaan.
3.4.4   Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
            Meskipun secara administrasi wilayah Provinsi Bali terbagi menjadi delapan Kabupaten dan satu Kota, pemerintah sangat mengupayakan  pembangunan dapat berjalan secara merata sehingga diharapkan hasil-hasilnya pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sampai ke pelosok daerah.
            Secara umum, gini ratio pada tahun 2013 dan 2014 di masing-masing Kabupaten/Kota lebih rendah dibanding nilai gini ratio untuk Provinsi Bali yang mencapai 0,403 pada tahun 2013 dan 0,415 pada tahun 2014. Masih tingginya gini ratio Provinsi menunjukkan bahwa masih terjadi ketimpangan pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Gini Ratio masing-masing Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 2010 hingga 2014 tersaji pada Tabel 3.4
Tabel 3.4
Gini Ratio Menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Bali Tahun 2010-2014
No.
Kabupaten/Kota
Gini Rasio
2010
2011
2012
2013
2014
1
Jembrana
0,2575
0,4020
0,3706
0,3710
0,3863
2
Tabanan
0,2596
0,3648
0,3473
0,3862
0,4026
3
Badung
0,2864
0,3385
0,3258
0,3468
0,3404
4
Gianyar
0,2717
0,3279
0,3362
0,3254
0,3774
5
Klungkung
0,2857
0,3777
0,3473
0,3599
0,3543
6
Bangli
0,2217
0,2678
0,3053
0,3073
0,3285
7
Karangasem
0,2325
0,2916
0,2877
0,3293
0,3371
8
Buleleng
0,2557
0,3434
0,3330
0,3755
0,3931
9
Denpasar
0,2950
0,3399
0,4248
0,3638
0,3809
Bali
0,37
0,41
0,43
0,403
0,415
Sumber : BPS Provinsi Bali (Bali Dalam Angka 2015)
            Dari tabel 3.4, pergerakan indeks gini ratio Kabupaten/Kota dari tahun 2010 ke tahun 2014 sangat beragam. Pada tahun 2013 seluruh Kabupaten/Kota berada dalam tingkat ketimpangan dengan kategori rendah (dibawah 0,4), sedangkan pada tahun 2014 hanya Kabupaten Tabanan yang status ketimpangannya meningkat ke tingkat ketimpangan kategori sedang (diatas 0,4).
            Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa makin beragam dan majemuknya kondisi sosial ekonomi suatu wilayah dapat memberi pengaruh pada terjadinya ketimpangan pendapatan di wilayah tersebut. Kenaikan gini ratio yang terjadi di Kabupaten Tabanan menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan di daerah ini. Artinya pemerataan hasil pembangunan kurang berhasil. Hal ini dapat juga disebabkan karena sangat bervariasinya peluang/kesempatan untuk meningkatkan pendapatan, mulai dari kesempatan peningkatan pendapatan yang sangat signifikan maupun kesempatan peningkatan pendapatan yang tidak signifikan. Gambaran mengenai distribusi pendapatan Provinsi Bali menurut Kabupaten/Kota disajikan dalam Tabel 3.5.

Tabel 3.5
Distribusi Pendapatan Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota
Tahun 2013 dan 2014
No.
Kabupaten/ Kota
Distribusi Pendapatan
40% penduduk berpendapatan terendah
40% penduduk berpendapatan Sedang
40% penduduk berpendapatan tinggi
2013
2014
2013
2014
2013
2014
1
Jembrana
19,84
18,44
33,96
34,04
46,20
47,52
2
Tabanan
17,87
17,35
35,79
35,38
46,34
47,26
3
Badung
19,29
18,64
38,45
40,73
42,26
40,64
4
Gianyar
19,95
17,87
39,42
37,88
40,62
44,25
5
Klungkung
19,15
19,98
36,10
35,51
44,75
44,51
6
Bangli
21,67
20,94
38,16
37,27
40,17
41,80
7
Karangasem
20,65
20,67
36,90
35,95
42,45
43,38
8
Buleleng
18,80
17,66
35,31
35,17
45,89
47,17
9
Denpasar
17,60
16,13
39,51
40,47
42,88
43,39
Bali
16,32
15,49
36,77
36,54
46,91
47,98
Sumber : BPS (Susenas 2013) dan BPS Provinsi Bali (Bali Dalam Angka 2015)
            Terlihat pada tabel bahwa 40 persen penduduk berpendapatan rendah di seluruh Kabupaten/Kota pada tahun 2013 rata-rata sudah menerima lebih 17 persen jumlah pendapatan didaerahnya. Artinya, distribusi pendapatan di wilayah tersebut berada pada kategori ketimpangan rendah. Sedangkan pada tahun 2014, hanya Kota Denpasar yang 40 persen penduduk berpendapatan rendah yang rata-rata menerima kurang dari 17 persen jumlah pendapatan didaerahnya. Hal ini berarti, pada tahun 2014 ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Denpasar meningkat ke kategori sedang. Meskipun secara rata-rata hampir seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Bali masih dalam ketegori ketimpangan rendah, namun kondisi ini tetap harus diwaspadai mengingat nilai persentasenya yang berfluktuasi. Gambaran distribusi pendapatan dengan kurva lorenz disajikan pada Gambar 3.7 dan Gambar 3.8.

Gambar 3.7
Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Bali Tahun 2013
Sumber data : BPS (Susenas 2013)

Gambar 3.8
Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Bali Tahun 2014
Sumber data : BPS Provinsi Bali (Bali Dalam Angka 2015)
            Sejalan dengan nilai gini ratio dan kriteria Bank Dunia, terlihat bahwa distribusi pendapatan di Kabupaten Bangli pada tahun 2013 dan 2014 adalah yang paling mendekati pemerataan dengan ditunjukkan oleh kurva yang paling mendekati garis diagonal. Jadi persentase distribusi pendapatan daerah di Kabupaten Bangli untuk 40 % penduduk berpendapatan terendah pada tahun 2013 dan 2014 adalah yang paling tinggi dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Bali. Secara umum ketimpangan distribusi pendapatan pada Kabupaten/Kota di Bali pada tahun 2013 dan 2014 secara rata-rata masih masuk dalam kategori rendah dan masih dibawah ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Bali yang sudah masuk kategori sedang, dimana dalam gambar juga terlihat bahwa garis distribusi pendapatan Provinsi Bali adalah yang paling jauh dari garis diagonal.
3.4.5   Kondisi Kemiskinan di Provinsi Bali
            Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Menurut BPS Provinsi Bali (2014), daerah perdesaan di Bali pada umumnya memiliki jumlah penduduk miskin lebih sedikit dibandingkan daerah perkotaan. Pada tahun 2006-2008 selisih ini mencapai dua digit, namun mengalami penurunan pada tahun 2009 mencapai 2,4 ribu. Sejak tahun 2010, kondisi ini terbalik yakni jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan, jumlah penduduk miskin di perkotaan sejumlah 83,6 ribu sedangkan di perdesaan sejumlah 91,3 ribu. Pada tahun 2014 selisih penduduk miskin daerah perkotaan yang dibandingkan daerah pedesaan  menjadi 14,6 ribu.
            Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode September 2013-Maret 2014, penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan sebanyak 3,13 ribu orang (0,16 persen) sementara itu di daerah perdesaan mengalami kenaikan, yaitu sebanyak 5,56 ribu orang (0,34 persen). Berdasarkan klasifikasi Daerah Tahun 2004 – 2014, jumlah dan persentase penduduk miskin menurut klasifikasi daerah di Propinsi Bali dapat dilihat Tabel 3.6


Tabel 3.6
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali
Menurut Klasifikasi Daerah Tahun 2004 - 2014
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin             (000 jiwa)
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Maret 2004
87
144,9
231,9
5,05
8,71
6,85
Maret 2005
105,9
122,5
228,4
5,4
8,51
6,72
Maret 2006
127,4
116
243,5
6,4
8,03
7,08
Maret 2007
119,8
109,3
229,1
6,01
7,47
6,63
Maret 2008
115,1
100,6
215,7
5,7
6,81
6,17
Maret 2009
92,1
89,7
181,7
4,5
5,98
5,13
Maret 2010
83,6
91,3
174,9
4,04
6,02
4,88
Maret 2011
92,7
73,1
165,8
3,91
4,65
4,2
Sept. 2011
100,3
81,8
182,1
4,2
5,17
4,59
Maret 2012
90,4
76,5
166,93
3,77
4,79
4,18
Sept. 2012
92,1
66,9
158,95
3,81
4,17
3,95
Maret 2013
94,79
65,1
159,89
3,9
4,04
3,95
Sept. 2013
103,03
79,74
182,77
4,17
5
4,49
Maret 2014
99,9
85,3
185,2
4,01
5,34
4,53
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015
            Menurut BPS Provinsi Bali (2014), Beberapa faktor terkait dengan kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Bali selama periode September 2013-Maret 2014 adalah :
1)      Di perdesaan Bali pada periode triwulan III 2013 triwulan I 2014 terjadi inflasi sebesar 1,67 persen. Pada periode yang sama sebenarnya di perkotaan juga terjadi inflasi. Ini menunjukkan penduduk di perdesaan lebih rentan terkena dampak inflasi dibanding perkotaan karena kemiskinan di perdesaan naik, sedangkan di perkotaan malah turun.
2)      Terjadinya kontraksi di sektor pertanian (pertumbuhan negatif) sebesar 1,95 persen pada periode tersebut (sektor pertanian adalah sektor utama di daerah perdesaan).
3)      Terjadi kenaikan harga eceran beberapa kebutuhan pokok di Bali pada periode tersebut, seperti beras (0,90%), minyak goreng (4,25%), cabai rawit (71,65%)       
            Kondisi kemiskinan di masing masing Kabupaten/Kota di Bali juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan pembangunan di masing-masing wilayah Kabupaten/ Kota yang juga sangat ditentukan oleh sumber-sumber dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing masing wilayah. Kabupaten/kota yang kaya sumber atau potensi ekonomi akan memiliki peluang berkembang lebih cepat dibandingkan Kabupaten/ Kota yang tergolong daerah miskin. Kabupaten Badung memiliki potensi besar dalam pengembangan kegiatan pariwisata, Kabupaten Gianyar memiliki potensi dalam kegiatan industri kecil, dan Kabupaten Tabanan memiliki potensi di sektor pertanian. Sementara itu, Kabupaten Karangasem, Kabupaten  Buleleng dan Kabupaten  Bangli memiliki  sumber  atau potensi ekonomi yang relatif terbatas yang mengakibatkan terhambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Bali menurut Kabupaten/Kota se-Provinsi Bali pada tahun 2011-2013 dapat dilihat pada Tabel 3.7
Tabel 3.7
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011 s/d 2013
Kabupaten / Kota
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
2011
2012
2013
2011
2012
2013
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1
Jembrana
17,6
15,3
14,9
6,56
5,74
5,56
2
Tabanan
24,2
21
22,5
5,62
4,9
5,21
3
Badung
14,6
12,5
14,5
2,62
2,16
2,46
4
Gianyar
26
22,6
20,8
5,4
4,69
4,27
5
Klungkung
10,7
9,3
12,2
6,1
5,37
7,01
6
Bangli
11,4
9,9
12
5,16
4,52
5,45
7
Karangasem
26,1
22,7
27,8
6,43
5,63
6,88
8
Buleleng
37,9
33
40,3
5,93
5,19
6,31
9
Denpasar
14,5
12,7
17,6
1,79
1,52
2,07
B A L I
183,1
158,9
182,8
4,59
3,95
4,49
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015
            Tabel 3.7 menggambarkan bahwa persentase penduduk miskin di Provinsi Bali pada tahun 2012 sempat mengalami penurunan sebanyak 0,64% yang semula sebesar 4,59 % pada tahun 2011 menjadi 3,95 % pada tahun 2012, namun di tahun 2013 presentase jumlah masyarakat miskin di Provinsi Bali mengalami peningkatan kembali menjadi 4,49 %. Kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk miskin paling banyak pada tahun 2013 adalah Kabupaten Buleleng sebanyak 40,3 ribu jiwa dan Kabupaten yang memiliki penduduk miskin paling sedikit adalah Kabupaten Bangli sebanyak 12 ribu jiwa. Sedangkan berdasarkan persentase, Kota Denpasar memiliki persentase penduduk miskin paling rendah pada tahun 2013 yaitu sebesar 2,07 % dari jumlah penduduknya, dan Kabupaten Klungkung adalah Kabupaten yang persentase penduduk miskinnya paling tinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 7,01  % dari jumlah penduduknya.
            Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bali merupakan salah satu penyebab timpangnya tingkat kemiskinan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Kemiskinan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, sebab ia merupakan akibat dari tidak tercapainya pembangunan ekonomi yang berlangsung. Dalam hal ini, kemiskinan akan makin bertambah seiring tidak terjadinya pemerataan pembangunan. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kompleks dan kronis, baik ditingkat nasional maupun regional, sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan.
3.4.6   Indek Pembangunan Manusia (IPM)
            Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting dalam mendukung percepatan pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja, dan semakin tinggi peluang melahirkan inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan secara berkelanjutan. Kualitas sumber daya manusia di Bali yang ditunjukkan melalui nilai IPM relatif meningkat pada tahun 2013 dibandingkan  tahun 2009.


Tabel  3.8
Indeks Pembangunan Manusia dan Komponennya
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2013
Kabupaten / Kota
AHH  (e0)
AMH
RLS
PPP    (Rp 000)
IPM
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
Jembrana
72,31
92,65
7,87
640,3
74,29
2
Tabanan
74,91
91,92
8,4
643,24
76,19
3
Badung
72,24
93,93
9,51
648,25
76,37
4
Gianyar
72,56
89,38
8,9
647,37
75,02
5
Klungkung
69,52
84,47
7,43
661,73
72,25
6
Bangli
72,18
85,91
6,7
645,69
72,28
7
Karangasem
68,32
76,94
5,9
657,79
68,47
8
Buleleng
70
90,53
7,55
643,38
72,54
9
Denpasar
73,46
97,95
11,05
652,54
79,41
B A L I :

2013
71,2
91,03
8,58
643,78
74,11
2012
70,84
90,17
8,57
640,86
73,49
2011
70,78
89,17
8,35
637,86
72,84
2010
70,72
88,4
8,21
634,67
72,28
2009
70,67
87,22
7,83
632,15
71,52
Keterangan:

AHH   = Angka Harapan Hidup

AMH = Angka Melek Huruf

RLS    = Rata-rata Lama Sekolah

PPP     = Paritas Daya Beli
Sumber : BPS Provinsi Bali
Nilai IPM Provinsi Bali pada tahun 2013 adalah sebesar 74,11. Pada indikator angka harapan hidup, terjadi perbaikan dari angka 70,67 tahun pada tahun 2009 menjadi 71,2 tahun pada tahun 2013. Rata-rata lama sekolah di Provinsi Bali meningkat dari 7,83 tahun pada 2009 menjadi 8,58 tahun pada tahun 2013. Sementara itu pada indikator angka melek huruf, capaian di Provinsi Bali pada tahun 2009 dan 2013 meningkat dari 87,22 menjadi 91,03 persen.
Untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, pada tahun 2013 IPM tertinggi dicapai oleh Kota Denpasar sebesar 79,41 yang diikuti oleh Kabupaten Badung sebesar 76,37. Hal ini dapat dimaklumi karena kedua daerah ini merupakan daerah maju diantara daerah lainnya. Sedangkan IPM terendah pada tahun 2013 disandang oleh Kabupaten Karangasem yaitu sebesar 68,47.
Tabel 3.9
Angkatan Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan

No.
Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan
2008
2014 Feb
Perubahan






1
≤ SD
980.619
1.004.561
23.942

2
SMTP
365.369
361.433
(3.936)

3
SMTA Umum
566.825
776.190
209.365

5
Diploma I/II/III/Akademi
83.157
87.811
4.654

6
Universitas
103.308
180.427
77.119


Total
2.099.278
2.410.422
311.144


Sumber : Bappenas (Perkembangan Pembangunan Provinsi Bali 2014)
            Berdasarkan Tabel 3.8 Perbaikan kualitas sumber daya manusia juga tercermin dari komposisi angkatan kerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Apabila dilihat dari struktur angkatan kerja berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, proporsi angkatan kerja dengan ijasah minimal SMA meningkat dari 22,58 persen pada tahun 2008 menjadi 31,90 persen pada tahun 2014. Perbaikan struktur angkatan kerja ini perlu terus didorong untuk mendukung transformasi ekonomi daerah berbasis agroindustri.

3.5    Upaya Pemerintah Provinsi Bali Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Provinsi Bali
            Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan dan kesenjangan wilayah di Provinsi Bali melalui program-program unggulan dan kebijakan redistribusi pendapatan.
3.5.1   Program-Program Pemerintah Provinsi Bali Dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Program Pemerintah Provinsi Bali sebagai upaya mengatasi kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan dan kesenjangan wilayah disebut dengan program BALI MANDARA yakni “Terwujudnya Bali yang Maju, Aman, Damai dan Sejahtera”. Program Bali Mandara sesungguhnya merupakan sebuah program yang lahir dari hasil analisis kritis dan mendalam atas segala problematika yang dialami oleh masyarakat Bali terkait dengan :

1)      Kemiskinan dan pengangguran;
2)      Mutu layanan pendidikan dan kesehatan;
3)      Daya saing;
4)      Industri kecil, pariwisata, dan UMKM;
5)      Pengelolaan lingkungan hidup dan pelestarian budaya;
6)      Ketentraman, ketertiban, penanggulangan bencana dan pengamanan;
7)      Infrastruktur; dan
8)      Reformasi birokrasi dan tata kelola.
Garis-garis besar permasalahan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terlahirnya program-program unggulan Bali Mandara. Program Program unggulan atau prioritas Bali mandara adalah :
1)   Membangun Desa Secara Berkelanjutan Dengan Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi)
Sistem pertanian terintegrasi adalah upaya terobosan dalam mempercepat adopsi teknologi pertanian karena merupakan pengembangan model percontohan dalam percepatan alih teknologi kepada masyarakat perdesaan. Simantri mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara vertikal maupun horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada. Inovasi teknologi yang diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan produk pertanian organik dengan pendekatan  ”pertanian tekno ekologis”. Kegiatan integrasi yang dilaksanakan juga berorientasi pada usaha pertanian tanpa limbah (zero  waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer dan fuel). Kegiatan utama adalah mengintegrasikan usaha budidaya tanaman dan ternak, dimana limbah tanaman diolah untuk pakan ternak dan cadangan pakan pada musim kemarau dan limbah ternak (faeces, urine) diolah menjadi bio gas, bio urine, pupuk organik dan bio pestisida. Sasaran kegiatan Simantri adalah Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) pada satu wilayah Desa, dengan kriteria :
a)      Adalah desa yang memiliki potensi pertanian dan terdapat komoditi unggulan sebagai titik ungkit.
b)      Terdapat gapoktan yang mau dan mampu melaksanakan kegiatan terintegrasi.
c)      Prioritas pada Desa dengan Rumah Tangga Miskin (RTM) > 35%.
2)   Jaminan Kredit Daerah (JAMKRIDA)
Mengatasi kendala dalam pemenuhan modal bagi UMKM Pemerintah Daerah Provinsi Bali mendirikan Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (Jamkrida) Bali. Dengan dorongan dari Bank Indonesia Cabang Denpasar dan dukungan pihak legislatif, maka pada tanggal 21 Nopember 2010 berdirilah perusahaan penjamin milik masyarakat Bali dengan nama                 PT. Jamkrida Bali Mandara. Pendirian perusahaan PT. Jamkrida Bali Mandara ini diharapkan mampu mengatasai permasalahan kekurangan modal usaha bagi UMKM yang usahanya layak namun kesulitan mengakses kredit karena keterbatasan agunan (jaminan fisk atau collateral).
3)   Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Bali Mandara (Gerbangsadu Mandara)
Program ini dimulai Tahun 2012, untuk mengakselari percepatan penanggulangan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Program ini bertujuan :
a)      Menumbuhkan kreatifitas masyrakat dalam pemanfaatan sumber daya alam dan secara bertahap mampu membangun diri secara mandiri
b)      Menyediakan prasarana dan sarana peningkatan usaha ekonomi
c)      Meningkatkan dan mengembangkan usaha ekonomi mikro untuk mengurangi pengangguran
d)     Meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi masyarakat
Program ini menyasar pada desa-desa dengan tingkat kemiskinan di atas 35%. Di Bali terdapat 82 desa dengan kondisi seperti tersebut. Satu Desa di alokasikan dana pembangunan Rp. 1 milyar dengan kegiatan yang secara umum diarahkan pada :
a)      Penyaluran Kredit dan Pengembangan Modal BUMDes.
b)      Peningkatan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Perdesaan
4)   Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) 
JKBM adalah jaminan kesehatan yang diberikan kepada seluruh masyarakat Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek, Asabri, Askeskin/Jamkesmas atau jaminan kesehatan lainnya. Dengan tujuan meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat yang meliputi :
a)      Meningkatkan cakupan masyarakat Bali yang mendapatkan pelayanan kesehatan
b)      Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Bali
c)      Pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel
5)   Program Bedah Rumah
Program bedah rumah merupakan salah satu upaya untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di Provinsi Bali, yang bertujuan agar keluarga miskin memiliki rumah yang layak huni, dan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal. Program ini diprioritaskan bagi masyarakat yang memenuhi kriteria antara lain: masuk dalam daftar RTM, status tanah yang ditempati adalah hak milik, serta rumahnya tidak layak huni.
6)  Program Pendidikan : Beasiswa dan Pengembangan Sekolah Unggulan
a)      Mengoptimalkan pelaksanaan program Wajib Belajar 12 Tahun
b)      Memberikan Bea Siswa untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
c)      Memperluas SMA Bali Mandara dengan Membangun 2 unit SMA Bali Mandara di Luar Kabupaten Buleleng
d)     Menambah Program Bea Siswa untuk Fakultas Langka Peminat (Sastra Bali dan Pertanian)
e)      Menyiapkan Bea Siswa S1 dan Standar Sertifikasi Kualitas
f)       Membangun Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Boarding School
g)      Melaksanakan program Kartu Pintar plus Buku Tabungan Bali Mandara untuk Siswa Tidak Mampu
h)      Memperbaiki Sarana dan Prasarana Sekolah
3.5.2   Upaya Mengatasi Ketimpangan Melalui Mekanisme Kompensasi
            Dalam pembangunan wilayah, gejala adanya ketimpangan seyogyanya perlu diatasi secara memadai. Persoalan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Bali, perlu dilakukan upaya pemerataan hasil kegiatan pariwisata yang diarahkan untuk mengembangkan destinasi wisata di luar wilayah Bali Selatan melalui pembangunan jaringan infrastruktur dan sarana dan prasarana yang lebih mendorong bagi para wisatawan untuk tinggal (stay)—tidak hanya berkunjung—di wilayah Bali Utara, Barat dan Timur, serta memberikan ‘insentif‘ bagi para pengusaha lokal untuk mendorong perkembangan pariwisata di luar wilayah Bali Selatan.
            Salah satu pendekatan untuk mengurangi ketimpangan di antara Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali adalah dengan mengembangkan suatu kebijakan untuk meredistribusi kekayaan dari hasil pariwisata di wilayah destinasi wisata yang ‘kaya’ (Kab Badung, Kab Gianyar dan Kota Denpasar) kepada wilayah di 6 Kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli, Buleleng, Klungkung dan Karangasem) yang destinasi wisatanya belum berkembang. Redistribusi tersebut dilakukan melalui mekanisme kompensasi, yang telah diinisiasi oleh pemerintah daerah Provinsi Bali sejak tahun 2003 dan kemudian disempurnakan pada tahun 2009.
            Mekanisme ‘kompensasi’ dilaksanakan sejak tahun 2003 dan diatur dalam Keputusan Gubernur Bali No. 16 tahun 2003 tentang Pembagian Bantuan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan Kota Denpasar kepada 6 (enam) Kabupaten Lainnya. Dalam ketentuan tersebut menetapkan bantuan pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung sebesar 22 persen dan Kota Denpasar sebesar 10 persen dari realisasi setelah dikurangi upah pungut kepada 6 (enam) kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli, Buleleng, Klungkung dan Karangasem).
            Pengalokasian pembagian kepada 6 (enam) Kabupaten tersebut ditentukan sebagai berikut : (a) 50 persen (lima puluh persen) secara merata dan (b). 50 persen (lima puluh persen) secara proposional dengan memperhatikan tingkat PAD, Luas Wilayah, PDRB perkapita dan jumlah penduduk miskin masing-masing Kabupaten. Rincian pembagian kepada 6 (enam) Kabupaten sesuai dengan kriteria pada poin (b) adalah sebagai berikut : (1) Kabupaten Buleleng (18,71 persen); (2) Kabupaten Jembrana (16,77 persen); (3) Kabupaten Tabanan (10,30 persen); (4) Kabupaten Bangli (18,67 persen); (5) Kabupaten Klungkung (16,28 persen) dan (6) Kabupaten Karangasem (19,27 persen). Penggunaan Dana Bantuan Pajak Hotel dan Restoran sesuai dengan ketentuan tersebut diprioritaskan untuk pembangunan dibidang pariwisata, membiayai kegiatan pelestarian budaya, pemeliharaan lingkungan dan membiayai sektor-sektor unggulan.
            Sejak tahun 2003, mekanisme ‘kompensasi’ melalui Bantuan Pajak Hotel dan Restoran ini diterapkan dengan pola diberikan langsung oleh Badung dan Denpasar kepada 6 Kabupaten tanpa ada campur tangan Pemerintah Provinsi Bali. Namun setiap tahun selalu terjadi perdebatan mengenai besarannya, sementara disisi lain Pemerintah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar merasa dana itu tidak digunakan sesuai tujuanya karena penggunaannya tidak ada pengawasan (monitoring). Untuk menghindari konflik lebih lanjut dan mengurangi ketimpangan antar kabupaten dan kota di Bali, Pemerintah Provinsi Bali mengambil alih pembagian sumbangan Pajak Hotel dan Restoran (PHR) dari Kabupaten Badung dan Denpasar mulai tahun 2009.
            Dalam kesepakatan yang baru ini, Pemerintah Provinsi Bali menetapkan bahwa 22 pajak hotel dan restoran Kabupaten Badung dan 10 persen pajak hotel dan restoran Kota Denpasar disetorkan ke Pemda Provinsi Bali untuk dikelola dan di bagikan kepada kepada 6 kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli, Buleleng, Klungkung dan Karangasem). Dari total pajak hotel dan restoran kedua daerah tersebut, 30 persen ditransfer secara merata ke 6 Kabupaten tersebut, sebanyak 20 persen diberikan ke Pemda Provinsi Bali untuk promosi dan pengamanan dan 50 persen dibagi lagi secara proposional yang didasarkan pada tingkat pajak hotel dan restoran, jumlah obyek wisata yang perlu dirawat, jumlah penduduk miskin, luas wilayah dan tingkat PDRB masing-masing wilayah penerima.

IV. KESIMPULAN
            Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan yang dapat diambil antara lain sebagai berikut :
1.      Distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya. Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Konsep tentang ketimpangan/kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Membicarakan perbedaan kekayaan seseorang umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu dan sebagainya. Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2.      Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu : 1) pertambahan penduduk yang tinggi; 2) inflasi; 3) ketidakmerataan pembangunan antar daerah; 4) investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal; 5) rendahnya mobilitas sosial; 6) pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor; dan 8) memburuknya nilai tukar. Sebagai salah satu negara yang berkembang, pembagian atau distribusi pendapatan di Indonesia juga menunjukkan terjadinya ketimpangan yang semakin parah, yang menurut Nugroho disebabkan karena : 1) ketimpangan dalam distribusi asset; 2) masih besarnya pekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah dan tiadanya jaminan kepastian usaha di masa depan; dan 3) akibat kesalahan kebijakan pemerintah.
3.      Konsep kesenjangan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Untuk melihat kesenjangan antar penduduk dalam suatu wilayah, berbagai studi umumnya menggunakan kurva lorenz dan indek kemerataan distribusi Gini serta kriteria bank dunia, sementara untuk melihat kesenjangan antar wilayah berbagai studi lain menggunakan indeks Williamson.
4.      Aktivitas ekonomi di provinsi Bali tersebar di berbagai Kabupaten dan cenderung terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas. Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dan mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dengan analisis sebagai berikut :
a)      Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator pembangunan suatu wilayah. Provinsi Bali adalah salah satu wilayah yang bertumpu pada pariwisata. Selama kurun waktu 2014, perekonomian Bali mampu tumbuh 6,72 persen (Tahun Dasar 2010). Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya tumbuh 6,69 persen.
b)      Tingkat kesenjangan ekonomi yang terjadi di Bali berkategori sedang, menunjukkan perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Bali belum merata. Nilai Indeks Williamson dari tahun 2009-2013 Provinsi Bali cenderung konstan namun masih berada di bawah rata-rata nasional. Penyebab kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali apabila dikaitkan dengan struktur perekonomian adalah persebaran yang tidak merata dari titik-titik destinasi pariwisata sehingga terdapat ketimpangan yang tidak merata dalam menikmati keuntungan ekonomi dari aktivitas pariwisata.
c)      Hasil susenas tahun 2013 menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali sudah tergolong dalam ketegori menengah, yaitu terletak pada interval 0,4 dan 0,50  atau lebih tepatnya adalah 0,403 pada tahun 2013. Menurut klasifikasi daerah, kesenjangan pendapatan di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan didaerah pedesaan, yaitu sebesar 0,408 untuk indeks gini rasio perkotaan dan 0,335 untuk pedesaan. Distribusi Pendapatan Provinsi Bali menurut Klasifikasi Daerah dan Kriteria Bank Dunia pada tahun 2013 menunjukkan tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, kecuali pada kelompok 20% penduduk berpendapatan tinggi.
d)     Masih tingginya gini ratio Provinsi menunjukkan bahwa masih terjadi ketimpangan pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Pergerakan indeks gini ratio Kabupaten/Kota dari tahun 2010 ke tahun 2014 sangat beragam. Pada tahun 2013 seluruh Kabupaten/Kota berada dalam tingkat ketimpangan dengan kategori rendah (dibawah 0,4), sedangkan pada tahun 2014 hanya Kabupaten Tabanan yang status ketimpangannya meningkat ke tingkat ketimpangan kategori sedang (diatas 0,4). Kenaikan gini ratio yang terjadi di Kabupaten Tabanan menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan di daerah ini. Artinya pemerataan hasil pembangunan kurang berhasil. Secara umum ketimpangan distribusi pendapatan pada Kabupaten/Kota di Bali pada tahun 2013 dan 2014 secara rata-rata masih masuk dalam kategori rendah dan masih dibawah ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Bali yang sudah masuk kategori sedang.
e)      Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Pada tahun 2014 selisih penduduk miskin daerah perkotaan yang dibandingkan daerah pedesaan  menjadi 14,6 ribu. Kondisi kemiskinan di masing masing Kabupaten/Kota di Bali juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan pembangunan di masing-masing wilayah Kabupaten/ Kota yang juga sangat ditentukan oleh sumber-sumber dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing masing wilayah.
f)       Sumber daya manusia yang berkualitas juga sangat penting dalam mendukung percepatan pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja, dan semakin tinggi peluang melahirkan inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan secara berkelanjutan. Kualitas sumber daya manusia di Bali yang ditunjukkan melalui nilai IPM relatif meningkat pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2009.
5.        Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan dan kesenjangan wilayah di Provinsi Bali. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai program-program yang tertuang dalam program Bali Mandara yang terdiri dari : 1) Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi); 2) Jaminan Kredit Daerah (JAMKRIDA); 3) Program Gerbangsadu Mandara; 4) JKBM; 5) Program Bedah Rumah; dan 6) Program Beasiswa dan Pengembangan Sekolah Unggulan. Dan untuk mengurangi ketimpangan di antara Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali, dikembangkan suatu kebijakan untuk meredistribusi kekayaan dari hasil pariwisata di wilayah destinasi wisata yang ‘kaya’ (Kab Badung, Kab Gianyar dan Kota Denpasar) kepada wilayah di 6 Kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli, Buleleng, Klungkung dan Karangasem) yang destinasi wisatanya belum berkembang. Redistribusi tersebut dilakukan melalui mekanisme kompensasi, yang telah diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali sejak tahun 2003 dan kemudian disempurnakan pada tahun 2009.

V.      SARAN
1.      Pemerintah daerah dalam kebijakan pembangunan agar memprioritaskan pemerataan dalam aspek distribusi pendapatan serta pengalokasian infrastruktur dan investasi pada setiap daerah secara merata.
2.      Pemerintah dalam programnya disamping mengejar laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diharapkan pula mampu lebih intensif melaksanakan upaya pemerataan distribusi pendapatan serta pembangunan manusia.
3.      Memberi apresiasi positif terhadap program-program dan Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Bali. Secara umum program-program unggulan Bali Mandara dan kebijakan pembagian PHR Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sudah sangat bagus sebagai upaya untuk pemerataan distribusi pendapatan, hanya saja dalam pelaksanaannya diperlukan pengawasan yang lebih baik dan data yang lebih akurat agar pelaksanaannya menjadi lebih tepat sasaran.


DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Bagian Penerbitan STIE – YKPN
Bank Indonesia Perwakilan Bali. 2015. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional. Denpasar
Bappeda Provinsi Bali. 2014. Informasi Pembangunan Daerah Bali Tahun 2014. Denpasar
Bappenas. 2015.Perkembangan Pembangunan Provinsi Bali 2014. Jakarta
BPS Provinsi Bali. 2015. Bali Dalam Angka 2015.Denpasar
BPS Provinsi Bali. 2015. Tinjauan Perekonomian Bali 2014.Denpasar
De Merta. “Program Bali Mandara : Jawaban Realistis Wacana Ajeg Bali”. http://idemerta.blogspot.com/2014/01/program-bali-mandara-jawaban-realistis.html. diakses tanggal 23 maret 2016
Nugroho.”Penyebab Ketimpangan Distribusi Pendapatan & Cara Mengatasinya”. http://nugroho-sbm.blogspot.co.id/2012/11/penyebab-ketimpangan-distribusi.html, diakses tanggal 23 maret 2016
Savitri, Ayu. 2008. Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial, INPUT. Vol 1: hal, 38-48.
Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik, Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta : Andi
Supriyantoro, G. 2005. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten-Kota di Provinsi Jawa Tengah.(Skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Susanti. 2007. Indikator-Indikator Makroekonomi. Jakarta : Universitas Indonesia
Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga
Wihadanto,Ake dan Firmansyah,Dicky.2013. Mengatasi Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Melalui 'Mekanisme Kompensasi' Di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Provinsi Bali). Makalah Seminar Nasional. Bogor : Institut Pertanian Bogor
www.bali.bps.go.id
www.bi.go.id
www.bps.go.id

1 komentar:

  1. Terima kasih. Sangat bermanfaat utk referensi mata kuliah analisis kebijakan publik.

    BalasHapus