Rabu, 01 Juli 2015

teori moralitas

teori tentang pendekatan moral

Pengetahuan Moral dari utilitarianisme

Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. 
Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, berfaedah atau berguna, tapi menfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. 

Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan akibat-akiba tburuknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan masyarakat. Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk. 

Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah 
"the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar".
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleoligis ( dari kata Yunani telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarisme menemui banyak kritik. 

Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar – besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan itu harus dianggap baik. Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarisme mesti mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, kalau mau konsisten, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat. Namun kesimpulan itu sulit diterima oleh kebanyakan etika-wan. 
Sebagai contoh bisa disebut:
kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya adalah kewajiban dan hak. 
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Jeremi Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). 
Bentham merumuskan prinsip utilitarisme sebagai the greatest happiness fot the greatest number (kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin). Prinsip ini menurut Bentham harus mendasari kehidupan politik dan perundangan. Menurut Bentham kehidupan manusia ditentukan oleh dua ketentuan dasar:
  • Nikmat (pleasure) dan
  • perasaan sakit (pain).

Oleh karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan rasa sakit.
Prinsip dasar Ultilitarisme adalah tindakan atau peraturan yang secara moral betul adalah yang paling menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan atau bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakannmu menguntungkan bagi semua yang bersangkutan.

Pembagian Utilitarisme.
  1. Utilitarisme perbuatan (act utililitarianism).Menyatakan bahwa kita harus memperhitungkan, kemudianmemutuskan, akibat-akibat yang dimungkinkan dari setiap tindakanaktual ataupun yang direncanakan.
  2. Utilitarisme aturan (rule utilitarianism).Menyatakan bahwa kita harus mengira-ngira, lalu memutuskan, hasil-hasil dari peraturan dan hukum-hukum.
Kelemahan Utilitarisme.
  1. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
  2. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
  3. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
  4. Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
  5. Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas diantara ketiganya.
  6. Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas .

Pemikiran Kant tentang Moralitas

Menurut Imamnuel kant moralitas (Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang di pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai apabila mentaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan menyadari sendiri bahwa hukum itu merupakan kewajiban.

Moralitas yang dimaksud oleh Kant bukan sekadar hal penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara agama atau adat istiadat. Secara sederhana Kant memastikan bahwa kriteria mutu moral seseorang adalah kesetiannya terhadap suara hatinya sendiri.

Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral, apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban. Kant membedakan antara imperatif kategoris (bersifat langsung) dan imperatif hipotetis (bersifat dugaan) sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikut sertakan struktur “jika.. maka..”.

Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah”. Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepati, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya.

Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Kriteria kewajiban moral menurut Kant, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan
Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan objektif, bukan sesuatu yang berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang!”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita mentaatinya.

Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni. Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara moral, kita juga terbatas: kita sering di dorong oleh nafsu dan keinginan hewani dari pada di dorong oleh pertimbangan moral. Namun demikian, dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa yang benar. Ada cara-cara dimana kita dapat mengerjakan apa tugas kita, melalui prinsif-prinsif penguniversalan dimana kita merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari prinsif-prinsif tersebut untuk menjadi hukum universal (yang disebut “categorical imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris).

Namun demikian, untuk bertindak secara moral bukan sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi melakukan hal yang benar itu sendiri—bukan melakukan itu demi hal itu cocok dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan padanya adalah bukan tindakan moral. Yang bisa di sebut tindakan moral adalah memberi uang pada pengemis karena amal baik bisa di universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang dan membuat kita secara khusus layak di hormati.

Mungkin, implikasi paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari perhitungannya tentang kapasitas moral kita untuk mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana, tapi harus selalu sebagai tujuan. Prinsif orang lain ini menjadi salah satu insfirasi bagi ide Hak Asasi Manusia Universal yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi acuan penting bagi teori di kemudian hari dan bagi etika internasional kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi tolak ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda.

1 komentar:

  1. Menurut saya teori moralitas merupakan suatu perbuatan yang memiliki makna atau merupakan suatu tindakan yang memiliki nilai positif.

    BalasHapus