Filsafat Ilmu - OTHER MIND
Latar belakang:
Kita seringkali secara implisit – dengan tindakan kita, atau secara eksplisit –dengan ungkapan yang kita kemukakan, menyatakan bahwa kita tahu pikiran orang lain. Hal itu terjadi karena secara tidak sadar kita berasumsi bahwa pikiran orang lain itu sama seperti pikiran kita. Apakah memang demikian adanya?
***
Masalah:
Kerangka pikir:
“What is it like to be a bat?” (Nagel 1974)
Kita melihat objek-objek di luar diri kita dengan cara menganalisis gelombang cahaya yang terfokus ke retina, yang kemudian distimulasikan ke otak dalam bentuk impuls-impuls elektrik. Hasilnya adalah stereoscopic vision.
Yang harus diingat di sini adalah bahwa kita tidak “melihat” neuron yang ditembakkan di otak, atau impuls elektrik yang mengalir, atau gelombang cahaya menyentuh retina.
- walaupun kita tahu bahwa pengalaman terjadi hanya ketika ada aktivitas dari otak saya, tidak berarti bahwa pengalaman itu identik dengan aktivitas itu.
- jelas bahwa saya tidak bisa tahu apa pun kesadaran dari dalam diri saya sendiri melalui analisis atas sistem yang diwujudkan oleh kesadaran saya.
- saya tidak bisa menemukan tujuan perjalanan hanya dengan memeriksa cara kerja mesin motor yang sedang melakukan perjalanan.
***
Para psikolog awal (misalnya: Wundt dan Titchner) berharap untuk memahami struktur mind dan menerangkannya dalam kerangka pikir fisikal (= badaniah). Secara umum mereka menentang dualisme Cartesian yang menghasilkan gagasan bahwa mind tidak terakses oleh penyelidikan fisikal; mereka ingin menunjukkan bahwa thinking itu esensinya adalah proses fisik.
Mereka berpendapat bahwa
"proses berpikir itu didasari oleh imaji-imaji (images); dari imaji-imaji itulah dihasilkan sensasi-sensasi sederhana (simple sensations).
Jadi bila proses berpikir dapat dianalisis atau dipecah-pecah ke dalam sensasi-sensasi yang paling sederhana, maka strukturnya dapat dikuak"
Tetapi bagaimana sensasi-sensasi itu diketahui?
Jelaslah bahwa satu-satunya cara untuk menerangkan apa yang dialaminya itu, orang harus memecah pengalaman itu ke dalam unsur-unsurnya. Mereka mengklaim bahwa mereka berhasil mengumpulkan 44.000 elementary sensations! Masalahnya, hal ini tergantung pada kemampuan orang untuk melakukan hal itu secara akurat.
Masalah utama di sini adalah pada permasalahan other minds.
Psikolog tergantung pada apa yan subjek katakan. Peneliti tidak punya cara lain untuk memahami orang yang memiliki sensasi itu. Introspeksi adalah satu-satunya metode karena hanya orang yang memiliki sensasi itu yang dapat tahu dan menerangkannya.
Dengan latar belakang pemikiran demikian, kaum behavioris (contoh: Pavlov, Watson dan Skinner) menggunakan stimulus dan respon sebagai dasar pemikiran mereka. Mereka tidak lagi tergantung pada laporan subjek, karena dengan menggunakan kerangka pikir stimulus dan respon, subjek sekarang menunjukkan pola tingkah laku yang dapat diukur.
Kaum behavioris merasa bisa “menembus” permasalahan other mind; mereka bahkan tidak perlu mengacu pada “internal” states of mind sama sekali. Yang diperlukan hanyalah prediksi atas tingkah laku yang terobservasi. “Tingkat” apa pun yang terjadi antara stimulus dan respons tidak relevan. Yang perlu diperhatikan hanyalah apa yang dapat diamati.
Jelas bahwa permasalahan other mind membentuk perkembangan psikologi sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tergantung pada bukti, dan tanpa bukti objektif tentang cara kerja mind berarti tidak ada itu ilmu pengetahuan tentang mind. Hal inilah permasalahan dasar yang dihadapi psikologi.
Masalah Bahasa?
Semua orang akan setuju bila dikatakan bahwa ketika aktivitas mental berlangsung, ada aktivitas fisik juga di dalam otak manusia. Masalahnya, seperti kata Leibniz di dalam Monadology (section 17), persepsi tidak dapat diterangkan dalam kerangka mekanisme. Orang memang dapat memahami mekanisme itu, tetapi memahami mekanisme tidak berarti sama dengan melihat thought atau sensation itu sendiri.
Jadi, ada jurang antara konsep yang kita gunakan untuk menerangkan mekanisme fisik dan kata-kata yang digunakan untuk menerangkan thought dan sensation itu. Walaupun kita yakin bahwa thought itu identik dengan aktivitas otak, tetapi bahasa untuk menerangkan aktivitas itu tidak sama dengan hukum thought.
Bahkan walaupun kita memiliki komputer yang kelihatannya berpikir, thought itu tidak sama dengan operasi komputer. Ada jurang antara mengatakan bahwa komputer itu melakukan sesuatu dan apa yang komputer pikir.
Ways of knowing
Dengan kerangka pikir dualisme tubuh-jiwa, tidaklah mungkin kita mendapatkan pengalaman langsung terhadap other mind. Kita hanya mengetahui other mind dengan menggunakan analogi dengan mind saya. Ketika saya berbicara, saya sedang mengekspresikan apa yang ada di pikiran saya. Dengan demikian, bila orang lain berbicara, ia juga sedang mengekspresikan apa yang ada di pikirannya.
Dengan mengikuti pandangan Ryle dikatakan bahwa apa yang kita sebut mind adalah
the intelligent and communicative abilities of the other person.
Bila saya tahu tindakan-tindakannya, kata-katanya, dsb. berarti saya tahu pikirannya. Tindakan-tindakan, kata-kata sama dengan mind.
Tetapi cara berpikir demikian punya masalah dalam hal self-knowledge. Bila mental phenomena semata-mata adalah cara untuk menerangkan physical activities atau disposition to act, maka pengetahuan saya tentang diri saya tidak berbeda secara kualitatif dengan pengetahuan orang lain atas diri saya oleh orang lain. Contoh: untuk mengetahuai apakah saya ketakutan atau tidak saat menonton film horor, saya harus bertanya pada orang lain.
Bila dalam kasus orang lain saya tahu mind mereka adalah dari tindakan-tindakan atau kata-katanya, sedangkan dalam kasus saya, pengalaman subjektif tidak disimpulkan dari mana-mana, ia dialami secara langsung. Karena bahasa bersifat “shared” dan sebuah kata harus memiliki makna yang sama bila diterapkan oleh sekelompok orang, maka P.F. Strawson (dalam artikel “Persons” [1958[) berpendapat bahwa konsep person atau individu itu bersifat primitif. Bila satu hal dapat di-predicated-kan ke hal lain berdasarkan suatu observable evidence, atau satu hal dapat di-predicated-kan ke diri saya berdasarkan subjective experience, maka haruslah ada sebuah sense of the person yang lebih dalam daripada sekedar pembagian dualistik yang konvensional antara the inner self dan internal body. Dengan kata lain, ide “person” menyangkut suatu hal yang fisikal dan non-fisikal sekaligus. Contoh: predikat “sedih” yang di-predicated-kan pada ungkapan “Badu sedang sedih” melampaui sekedar penjelasan fisik tentang si Badu – predikat itu memprasyaratkan bahwa objek yang kita “kenakan” itu kita pandang memiliki state of consciousness – dalam hal ini state of consciousness sedih.
Jadi walaupun ways of knowing itu berbeda-beda, tetapi kita memiliki primitive sense of person yang menjustifikasi pengenaan personal predicates ke diri kita dan orang lain. Saya tahu ketika saya dalam keadaan sedih, dan saya bisa melihat bahwa orang lain juga dalam keadaan sedih. Hal ini disebabkan karena ide “person” itu primitif; jadi saya tahu bahwa “sedih” itu mengacu pada pengalaman yang sama.
Ada cara lain untuk mengetahui other mind, yaitu telepati dan bahasa. Telepati tidak bisa kita bicarakan karena ia menyangkut sejumlah data-data yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya secara ilmiah. Jadi telepati tidak ditolak keberadaannya, karena secara prinsip, mau apa lagi, memang dapat dipikirkan tetapi sayang sangat sulit untuk dibicarakan. Tetapi sebaliknya dengan bahasa, kita semua menggunakan bahasa; oleh sebab itu kita bisa membicarakannya.
Secara umum, kita mengetahuai pikiran orang lain adalah melalui bahasa.
- Masalahnya adalah apakah kita bisa tahu bahwa orang lain itu memiliki proses berpikir yang sama seperti kita?
- Tetapi sebelumnya, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa orang lain punya proses berpikir yang sama dengan kita? Apalagi kita dapat merasakan sendiri bagaimana kita mengalami bahwa kata-kata dan konsep-konsep bermain-main di “kepala” kita (in our minds).
- Apakah “permainan” itu sama saja pada setiap orang?
- Bagaimana rasanya punya mind tetapi tidak punya bahasa?
- Apakah kita dapat berpikir tanpa bahasa tertentu?
- Bila bahasa adalah sarana melalui mana proses reflective consciousness terjadi, jadinya mana yang lebih dulu: mind atau bahasa?
Apakah kita tumbuh secara mental melalui bahasa dan komunikasi?
Atau, apakah kita mengembangkan otak dan baru kemudian menemukan bahwa sarana yang alamiah untuk adanya perkembangan otak adalah supaya kita bisa berbahasa dan berkomunikasi?
Jelas bahwa perkembangan mind berjalan bersamaan dengan meningkatnya volume otak, tetapi siapa/ apa menghasilkan siapa/ apa?
Apakah perkembangan mental adalah sesuatu yang terjadi di antara orang-orang atau semata-mata terjadi di individu-individu per orang?
Individual thinking memang bersifat private, tetapi aktivitas thinking tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Karena pengalaman kesadaran menyangkut “inner dialogue” of thought, jelaslah bahwa thought kita yang paling pribadi mengambil dari public domain.
Ilustrasi: The Bicameral Mind (Jaynes [1977/ 1990])
Sekitar 3000 tahun yang lalu, orang menjadi sadar akan diri mereka dengan cara yang berbeda – mereka bisa dialog dengan diri mereka sendiri. Sebelum itu, orang percaya bahwa diri mereka dikendalikan oleh kekuatan spiritual dari luar, berbicara kepada mereka dan memberi perintah kepada mereka.
Di luar masalah philosophy of mind, masalah ini menarik dari segi sejarah agama.
Hal ini disebabkan karena percaya kepada Tuhan atau dewa-dewa itu merupakan segi dari keadaan primitif kesadaran manusia. Tuhan atau dewa-dewa itu merupakan suara “dari luar” yang memberi mereka perintah.
Apakah Kita Sendirian?
Bila hanya mind kita yang dapat kita ketahui secara langsung, karena apa yang dapat kita alami dari orang lain adalah apa yang dapat kita deteksi dari bodies, gestures, kata-kata dan tindakan mereka, berarti kita bisa saja meragukan bahwa other mind itu eksis! Maka jatuhlah kita pada solipsisime.
Argumen yang solispsis ini kelihatan kuat. Dunia yang saya alami itu tidak sama dengan pengalaman saya atas dunia itu – the world I experience ≠ my experience of it. Bila orang lain “memeriksa” saya, orang itu tidak dapat “melihat” apa yang sedang saya alami – mereka hanya melihat organ-organ fisik yang ada.
Mengenali Saya
Descartes memandang bahwa kita menyadari segala sesuatu yang terdapat di dalam mind saya. Karena mind adalah a thinking thing, berarti apa yang ada di mind itu tidak lain dari thought. Dengan kata lain, ia tidak menerima apa yang sekarang kita terangkan sebagai unconscious states. Pandangan bahwa kita memiliki pengetahuan langsung dan pasti atas mind kita, tetapi tidak atas mind orang lain disebut “the previledged access view”.
Pandangan ini telah dikritik habis-habisan. Contoh Hume dan Kant. Ketika mereka menyelidiki mind mereka, yang didapatkan hanyalah a procession of particular thoughts and experiences. Diri (self) itu sendiri tetap elusif. Nagel juga telah menunjukkan bahwa sebuah deskripsi itu tidak sama dengan “what it was like to be”. Dengan kerangka pikir dari Nagel ini bahkan dapat dikatakan bahwa karena bits dan pieces dari diri saya itu merupakan bagian dari deskripsi – hal-hal itu meng-objectify parts of me, maka bits dan pieces itu tidak dapat menunjukkan “what it is like to be me”.
Orang Lain = “Sesuatu” yang Berada di Dalam Diri Saya?
Setiap usaha untuk memberikan deskripsi diri sebagai “saya” akan membuat frustrasi. Saat itu berusaha menerangkannya, sebagai bagian dari dunia yang orang lain juga bisa alami, “saya” itu lenyap dari deskripsi.
Tetapi di sisi yang lain, saya juga melihat bahwa saya tidak dapat mengetahui secara langsung “saya yang lain”; saya harus menyimpulkannya dari fenomena yang saya temui di dunia saya.
Apakah sah atau pun tidak, kita hanya tahu orang lain melalui process of inference yang kompleks dari bahasa dan tindakan-tindakan mereka, dan kita melakukan hal ini melalui analogi dengan pengetahuan tentang diri kita yang bersifat langsung. Jadi ada suatu rasa (pandangan yang bersifat solipsistis) bahwa diri (self) itu sendirian di world of experience; dan bahkan lebih dari itu, diri itu tidak “berada” di dunia.
Inilah yang dikatakan oleh Wittgenstein di dalam Tractatus Logico Philosophicus (5: 641):
The philosophical I is not the man, not the human body or the human soul of which psychology treats, but the metaphysical subject, the limit – not part of the world.
Di sini kita harus ingat bahwa bagi Wittgenstein, “the world is all that is the case” – dengan kata lain, karena bahasa menggambarkan dunia luar, maka batas bahasa kita adalah batas dunia kita. Itulah sebabnya mengapa kematian adalah bukan bagian dari dunia; kita sesungguhnya tidak pernah mengalami kematian kita. Saat mati, kita “sekedar” tidak lagi mengalami hal-hal sama sekali.
Kembali lagi pada pemikiran tentang diri, dalam arti yang sesungguhnya, “kita” itu bukan lagi bagian dari dunia – the philosophical “self” adalah batas dunia. Dengan kata lain pula, apa pun yang saya katakan tentang “Anda”, menjadi bagian dari dunia saya, dan bukan “the philosophical ‘you’”. Apa pun yang saya analisis tentang Anda (atau bahkan juga tentang saya sendiri) menjadi bagian dari saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar