Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan Di Provinsi Bali
LATAR BELAKANG
Dalam sebuah negara pasti tidak akan terlepas dari aktivitas-aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian ini terjadi dalam setiap bentuk aktivitas kehidupan dan terjadi pada semua kalangan masyarakat, baik masyarakat menengah ke bawah maupun pada masyarakat kalangan atas. Dalam pelaksanaannya, perekonomian selalu menimbulkan permasalahan. Terlebih lagi dalam pelaksanaannya di sebuah negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Indonesia merupakan daerah kepulauan yang mempunyai ribuan pulau dan mempunyai 34 provinsi. Masing-masing daerah mempunyai perbedaan ciri khas tersendiri meliputi sumberdaya alam, ekonomi, sosial budaya, adat-istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumberdaya manusia, letak geografis, serta sarana dan prasarana yang tersedia di setiap daerah. Perbedaan karakteristik tersebut berpengaruh pada kemampuan tumbuh masing-masing daerah, sehingga membuat pembangunan di sebagian daerah tumbuh lebih cepat daripada pembangunan daerah lainnya. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini juga diikuti oleh perbedaan pola pembangunan ekonomi yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah.
Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang, pembangunan nasional telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti, namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, diantaranya masih terdapatnya disparitas atau ketimpangan antar daerah. Ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut terpelihara dalam proses pertumbuhannya (Supriyantoro, 2005). Oleh karena itu, ketimpangan pasti akan selalu ada baik di negara miskin, negara sedang berkembang maupun negara maju. Setiap negara hanya bisa menekan nilai ketimpangan serendah mungkin. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang para pengambil kebijakan adalah bahwa kesenjangan perekonomian antar daerah masih dapat ditoleransi sejauh tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan tidak menciptakan ketidakmerataan pendapatan yang luar biasa dalam masyarakat.
Sebagai upaya dalam mengatasi ketimpangan daerah, pemerintah Indonesia memberlakukan sebuah kebijakan yaitu kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal. Dengan alasan, bahwa kebijakan pembangunan yang ditetapkan pemerintah pusat tidak semunya bisa diterapkan di seluruh daerah, daerah yang memiliki daya dukung dan sesuai dengan kriteria kebijakan nasional akan dengan mudah menyerap peluang pembangunan, sedangkan daerah yang tidak sesuai kriteria kebijakan nasional akan mengalami perlambatan dalam pembangunan. Sehingga dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, diharapkan optimalisasi pembangunan akan terjadi. Di mana kebijkan pembangunan ini disesuaikan dengan potensi dan permasalahan daerah.
Adanya otonomi daerah sebagai sistem kerja pemerintah Indonesia, diharapkan kebijakan ini juga dapat memberikan kemudahan dalam percepatan pertumbuhan ekonomi daerah (daerah di sini terutama kabupaten dan kota), pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan serta peningkatan kesetaraan kemakmuran maupun kesejahteraan masyarakat di daerah bersangkutan. Selain itu, ada beberapa keuntungan kebijakan otonomi daerah menurut (Suparmoko, 2002:19), pertama adalah sistem pemerintahan dengan otonomi daerah akan lebih mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan keinginan masing-masing masyarakat, kedua adalah pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri, ketiga adalah dengan adanya otonomi daerah akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang akan dilakukan.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, setiap daerah di Indonesia berlomba-lomba untuk membangun daerahnya lebih baik, dengan harapan seluruh masyarakat di masing-masing daerah tersebut dapat memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, kesenjangan atau ketimpangan antardaerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan mendominasi pengaruh yang menguntungkan terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Kemampuan pemerintah daerah dalam membangun masing-masing daerahnya tentu berbeda-beda, mengingat potensi yang dimiliki tiap daerah berbeda-beda pula.
Akibat dari perbedaan ini kemampuan suatu daerah dalam proses pembangunan juga menjadi berbeda, oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu daerah biasanya terdapat wilayah maju (developed region) dan wilayah terbelakang (underdeveloped region). Ketimpangan pembangunan juga dapat dilihat secara vertikal yakni perbedaan pada distribusi pendapatan serta secara horizontal yakni perbedaan antara daerah maju dan terbelakang (Sjafrizal, 2008). Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia secara makro dipengaruhi oleh adanya kesenjangan dalam alokasi sumber daya alam, sumberdaya manusia, fisik, teknologi dan modal. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda didalam menghadapi isu ketimpangan pembangunan. Indonesia bagian barat menjadi primadona pembangunan ekonomi Indonesia sejak pemerintahan orde baru dimulai, terlebih sebelum era desentralisasi diterapkan di Indonesia. Sementara sebaliknya, untuk wilayah Indonesia Timur, banyak mengalami ketertinggalan diberbagai sektor pembangunan.
Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi tahun 2014 yang ditunjukkan pada Tabel 1.1, jumlah PDRB tertinggi masih didominasi oleh provinsi yang ada di Indonesia bagian barat dan bagian tengah. Hal ini terbukti dari jumlah PDRB tertinggi ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta dengan Rp. 174.824.110,- dan disusul oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Riau. Sementara peringkat terakhir dengan jumlah PDRB terendah ditempati oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Rp. 13.620.020,-. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antarwilayah. Ketimpangan pembangunan antarwilayah yang terjadi di Indonesia tidak saja dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antarwilayah dengan membandingkan penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan PDRB antar pulau. Ketimpangan antarwilayah dapat terjadi di dalam propinsi tertentu antar kota/kabupaten dalam satu pulau. Hal ini disebabkan latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda. Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan regional antar daerah semakin besar.
Tabel
1.1
(Seri 2010) Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita
Atas Dasar Harga
Berlaku Menurut Provinsi tahun 2014 (Ribu Rupiah)
Peringkat
|
Provinsi
|
PDRB
(ribu rupiah)
|
-
|
Indonesia
|
42.432,08
|
1
|
174.824,11
|
|
2
|
155.136,65
|
|
3
|
109.832,52
|
|
4
|
95 567,29
|
|
5
|
95.396,95
|
|
6
|
46 004,12
|
|
7
|
41.960,45
|
|
8
|
39.903,87
|
|
9
|
39.850,48
|
|
10
|
39.850,48
|
|
11
|
38.834,86
|
|
12
|
38.112,66
|
|
13
|
38.045,85
|
|
14
|
36.972,96
|
|
15
|
36.834,82
|
|
16
|
35.592,79
|
|
17
|
33.781,40
|
|
18
|
33.545,74
|
|
19
|
32.549,44
|
|
20
|
32.115,11
|
|
21
|
31.878,01
|
|
22
|
30.110,13
|
|
23
|
28.781,83
|
|
24
|
27.975,16
|
|
25
|
27.613,04
|
|
26
|
26.585,01
|
|
27
|
25.693,39
|
|
28
|
24.520,48
|
|
29
|
23.362,01
|
|
30
|
23.362,01
|
|
31
|
21.124,26
|
|
32
|
19.146,36
|
|
33
|
17.228,76
|
|
34
|
13.620,02
|
Sumber : Badan Pusat
Statistik, 2015
Provinsi Bali sebagai salah satu wilayah dengan sebaran
yang cukup tinggi juga mengalami ketidakmerataan dalam percepatan pembangunan
antar wilayahnya. Bali merupakan suatu provinsi di Indonesia yang terdiri atas
8 kabupaten, 1 wilayah kota dan 57
kecamatan dengan perbedaan karakteristik dimasing-masing wilayahnya. Perbedaan
karakteristik baik dari letak geografis dan potensi sumber daya yang berbeda di
masing-masing wilayahnya mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan
ekonomi di Bali, sehingga pola pembangunan ekonominya menjadi tidak seragam dan
menimbulkan kemampuan tumbuh yang berbeda. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini
pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketimpangan baik pembangunan maupun
hasilnya. Ketimpangan pembangunan dapat meliputi ketimpangan pendapatan
perkapita, dan ketimpangan dalam kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri.
Tabel 1.2
Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 2010-2014
Provinsi
|
Tahun
|
||||
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
|
Aceh
|
0,30
|
0,33
|
0,32
|
0,34
|
0,32
|
Sumatera Utara
|
0,35
|
0,35
|
0,33
|
0,35
|
0,32
|
Sumatera Barat
|
0,33
|
0,35
|
0,36
|
0,36
|
0,33
|
Riau
|
0,33
|
0,36
|
0,40
|
0,37
|
0,35
|
Jambi
|
0,30
|
0,34
|
0,34
|
0,35
|
0,33
|
Sumatera Selatan
|
0,34
|
0,34
|
0,40
|
0,38
|
0,40
|
Bengkulu
|
0,37
|
0,36
|
0,35
|
0,39
|
0,36
|
Lampung
|
0,36
|
0,37
|
0,36
|
0,36
|
0,35
|
Kep. Bangka Belitung
|
0,30
|
0,30
|
0,29
|
0,31
|
0,30
|
Kep. Riau
|
0,29
|
0,32
|
0,35
|
0,36
|
0,40
|
Dki Jakarta
|
0,36
|
0,44
|
0,42
|
0,43
|
0,43
|
Jawa Barat
|
0,36
|
0,41
|
0,41
|
0,41
|
0,41
|
Jawa Tengah
|
0,34
|
0,38
|
0,38
|
0,39
|
0,38
|
DI Yogyakarta
|
0,41
|
0,40
|
0,43
|
0,44
|
0,42
|
Jawa Timur
|
0,34
|
0,37
|
0,36
|
0,36
|
0,37
|
Banten
|
0,42
|
0,40
|
0,39
|
0,40
|
0,40
|
Bali
|
0,37
|
0,41
|
0,43
|
0,40
|
0,42
|
Nusa Tenggara Barat
|
0,40
|
0,36
|
0,35
|
0,36
|
0,38
|
Nusa Tenggara Timur
|
0,38
|
0,36
|
0,36
|
0,35
|
0,36
|
Kalimantan Barat
|
0,37
|
0,40
|
0,38
|
0,40
|
0,39
|
Kalimantan Tengah
|
0,30
|
0,34
|
0,33
|
0,35
|
0,35
|
Kalimantan Selatan
|
0,37
|
0,37
|
0,38
|
0,36
|
0,36
|
Kalimantan Timur
|
0,37
|
0,38
|
0,36
|
0,37
|
0,35
|
Kalimantan Utara
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sulawesi Utara
|
0,37
|
0,39
|
0,43
|
0,42
|
0,42
|
Sulawesi Tengah
|
0,37
|
0,38
|
0,40
|
0,41
|
0,37
|
Sulawesi Selatan
|
0,40
|
0,41
|
0,41
|
0,43
|
0,42
|
Sulawesi Tenggara
|
0,42
|
0,41
|
0,40
|
0,43
|
0,41
|
Gorontalo
|
0,43
|
0,46
|
0,44
|
0,44
|
0,41
|
Sulawesi Barat
|
0,36
|
0,34
|
0,31
|
0,35
|
0,35
|
Maluku
|
0,33
|
0,41
|
0,38
|
0,37
|
0,35
|
Maluku Utara
|
0,34
|
0,33
|
0,34
|
0,32
|
0,32
|
Papua Barat
|
0,38
|
0,40
|
0,43
|
0,43
|
0,44
|
Papua
|
0,41
|
0,42
|
0,44
|
0,44
|
0,41
|
INDONESIA
|
0,38
|
0,41
|
0,41
|
0,41
|
0,41
|
Sumber : Badan
Pusat Statistik, 2015
Ketimpangan
distribusi pendapatan diukur dengan Gini
Concentration Ratio (GCR) atau lazim disebut dengan Gini Ratio. Data pada Tabel 1.2 menunjukkan bahwa ketimpangan atau kesenjangan antar manusia dan antar daerah di Bali yang diukur
dari gini ratio pada tahun 2014 mencapai 0,42
yang masuk
dalam kategori jenis ketimpangan sedang. Pada
tahun 2013 ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Bali berada dibawah
ketimpangan nasional, namun ketimpangan Provinsi Bali mengalami peningkatan
dari 0,40 pada tahun 2013 menjadi 0,42 pada tahun 2014 yang berada diatas
ketimpangan nasional yang sebesar 0,41.
Tambunan
(dalam Savitri, 2008) menyatakan ketimpangan distribusi investasi antar daerah
dapat juga dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Berdasarkan
data Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Bali menurut Kabupaten/Kota tahun
2010-2014, Kabupaten/Kota yang paling banyak mendapat setoran modal dari investor adalah
Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Di Tahun 2014
saja, realisasi penanaman modal di Kabupaten Badung mencapai Rp. 1.658,995
miliar dan di urutan kedua adalah
Kota Denpasar dengan realisasi mencapai Rp. 1.016,228 miliar.
Sementara Kabupaten yang paling rendah mendapat minat dari
investor adalah Kabupaten Bangli, dengan realisasi mencapai Rp. 23,128
miliar. Hal ini dikarenakan pembangunan di
Provinsi Bali masih mengandalkan sektor pariwisata yang hanya berpusat di Bali
bagian selatan, dan Bali bagian lainnya masih mengandalkan sektor pertanian
dalam arti luas.
Tabel 1.3
Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Bali Menurut Kabupaten/Kota,
2010-2014 (Juta Rupiah)
No.
|
Kabupaten/Kota
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
1
|
Jembrana
|
67.183
|
239.990
|
103.631
|
80.267
|
215.646
|
2
|
Tabanan
|
667.977
|
1.141.259
|
734.409
|
108.928
|
98.540
|
3
|
Badung
|
2.868
|
1.743.362
|
3.098.820
|
3.126.279
|
1.658.995
|
4
|
Gianyar
|
43.652
|
1.081.182
|
150.927
|
1.134.498
|
430.417
|
5
|
Klungkung
|
260.037
|
178.342
|
53.487
|
23.954
|
65.372
|
6
|
Bangli
|
31.818
|
26.058
|
31.479
|
21.252
|
23.128
|
7
|
Karangasem
|
60.407
|
45.528
|
74.664
|
163.429
|
78.406
|
8
|
Buleleng
|
266.716
|
109.615
|
393.575
|
201.727
|
259.707
|
9
|
Denpasar
|
1.250.704
|
2.749.143
|
2.965.371
|
2.932.781
|
1.016.228
|
Jumlah Bali
|
2.651.362
|
7.314.479
|
7.606.361
|
7.793.114
|
3.846.438
|
Sumber : BPS Provinsi Bali (Bali Dalam Angka 2015)
Tingginya pembangunan di Bali
bagian selatan, juga berimbas terhadap laju pertumbuhan ekonomi dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Ekonomi suatu daerah
dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat kegiatan
ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat
pada suatu daerah. Apabila pertumbuhan ekonomi suatu daerah meningkat
diharapkan pertumbuhan tersebut dapat dinikmati merata oleh seluruh masyarakat.
Tabel 1.4
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
Gambar 1.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota
Provinsi Bali
Tahun 2013 dan 2014
Sumber
: Bank Indonesia (Kajian
Ekonomi dan Keuangan Regional 2015)
Ketimpangan serupa
juga terjadi pada produk domestik regional bruto. Berdasarkan data PDRB menurut lapangan usaha,
pendapatan tertinggi dimiliki oleh Kota Denpasar dengan Rp. 34.208,83 miliar, sementara Kabupaten Bangli memiliki
pendapatan terendah sebesar Rp. 4.381,65 miliar. Terdapat selisih yang cukup besar antara
nilai PDRB tertinggi dengan nilai PDRB terendah, hal ini menunjukkan terjadinya
ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cukup tinggi antara Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali.
Tabel 1.5
PDRB Kab/Kota atas Dasar Harga
Konstan 2000 dan 2010
Menurut Lapangan Usaha,
2012-2014 (Milyar Rupiah)
No.
|
Kabupaten/Kota
|
2012
|
2013
|
2014
|
1
|
Jembrana
|
1.945,29
|
2.049,93
|
7.134,66
|
2
|
Tabanan
|
2.774,39
|
2.941,82
|
11.904,19
|
3
|
Badung
|
6.738,91
|
7.170,97
|
27.456,37
|
4
|
Gianyar
|
3.854,01
|
4.101,81
|
14.272,75
|
5
|
Klungkung
|
1.467,35
|
1.551,11
|
4.536,26
|
6
|
Bangli
|
1.225,10
|
1.293,89
|
4.381,65
|
7
|
Karangasem
|
2.042,14
|
2.160,73
|
10.785,07
|
8
|
Buleleng
|
3.907,94
|
4.170,21
|
17.740,83
|
9
|
Denpasar
|
6.535,17
|
6.962,61
|
34.208,83
|
Bali
|
32.804,38
|
34.787,96
|
121.777,64
|
Sumber : BPS Bali, 2015
Kondisi
ini merupakan tantangan pembangunan yang harus dihadapi mengingat masalah
kesenjangan itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat
menyulitkan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi nasional yang berlandaskan
pemerataan. Aktivitas ekonomi di provinsi Bali tersebar di berbagai Kabupaten
dan cenderung terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas. Konsentrasi kegiatan
ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya
ketimpangan pembangunan antar wilayah karena proses pembangunan daerah akan
lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi.
Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan
ekonomi yang lebih rendah. Ketimpangan merupakan
permasalahan klasik yang dapat ditemukan dimana saja. Ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, oleh
karena itu tugas pemerintah Provinsi Bali adalah mengurangi tingkat ketimpangan
sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar
keselarasan dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya
melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah dalam tulisan ini sebagai
berikut :
1.
Bagaimana konsep ketimpangan distribusi pendapatan ?
2.
Apa saja penyebab terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan ?
3.
Apa saja indikator ketimpangan distribusi pendapatan ?
4. Bagimana ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Bali ?
5. Apa
saja upaya Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatasi ketimpangan distribusi
pendapatan di Provinsi Bali ?
III.
PEMBAHASAN
3.1
Konsep
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan
dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan
analisis dan kuantitatif (Todaro dan Smith, 2004). Kedua ukuran tersebut adalah :
1) Size distribution of
income ( ukuran distribusi pendapatan )
Ukuran Distribusi pendapatan secara
langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap
individu atau rumah tangga. Berdasarkan ukuran ini, cara mendapatkan
penghasilan tidak dipermasalahkan, apa yang lebih diperhatikan dari ukuran ini
adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari
mana sumbernya. Selain itu, lokasi sumber penghasilan (desa atau kota) maupun
sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber penghasilan (pertanian,
manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan.
2) Functional or factor share distribution
of income (distribusi pendapatan fungsional atau distribusi kepemilikan
faktor-faktor produksi)
Distribusi
Pendapatan Fungsional berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang
diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal).
Teori distribusi pendapatan nasional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase
penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau
faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan
persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba
(masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari
segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan perhatian dari
analisis pendekatan fungsional ini.
Dari dua hal diatas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan atau
meratanya hasil pembangunan suatu daerah atau negara baik yang diterima
masing-masing orang ataupun dari kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan
penduduknya. Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya
ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan
produktivitas yang dimiliki oleh setiap individu dimana satu individu/kelompok
mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan individu/kelompok lain,
sehingga ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya terjadi di Indonesia
saja tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia.
Konsep
tentang ketimpangan/kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang
perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang
lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap
perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral
pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua
orang itu maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap
perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial,
misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial
pada tiap orang itu dan sebagainya.
Pembahasan kesenjangan menghendaki
pendefinisian kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok yang
sejak awal sering digunakan adalah pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut
kelompok – kelompok 10 persen populasi., mulai dari kelompok 10 persen populasi
berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan
pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokan lain adalah
berdasarkan tingkat pendapatan 40 persen populasi dengan pendapatan terendah,
40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi
yang berpendapatan tinggi.
3.2
Penyebab Ketimpangan Distribusi
Pendapatan
Adelman
dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan
ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu
:
1)
Pertambahan penduduk yang tinggi
yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2)
Inflasi di mana pendapatan uang
bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi
barang-barang
3)
Ketidakmerataan pembangunan antar
daerah
4)
Investasi yang sangat banyak dalam
proyek-proyek yang padat modal (capital
intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih
besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja,
sehingga pengangguran bertambah
5)
Rendahnya mobilitas sosial
6)
Pelaksanaan kebijaksanaan industri
substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri
untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7)
Memburuknya nilai tukar ( term of trade) bagi negara-negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat
ketidakelastisan permintaan negara-negara maju terhadap barang ekspor
negara-negara sedang berkembang
8)
Hancurnya industri-industri kerajinan
rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Sebagai
salah satu negara yang berkembang, pembagian atau
distribusi pendapatan di Indonesia juga menunjukkan terjadinya
ketimpangan. Hal tersebut tampak dari makin
meningkatnya Indeks Gini Indonesia. Berdasarkan data, Indeks Gini Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun 2010 sampai tahun 2014. Jika pada tahun 2010 besarnya Indeks Gini adalah 0,38, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi 0,41. Menurut Nugroho (2012), ada beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia
kian parah, yaitu :
1)
Ketimpangan dalam distribusi asset. Ketimpangan tersebut terlihat sangat
parah terutama di sektor pertanian. Berdasarkan data dari sensus pertanian,
57,8 persen petani hanya memiliki lahan rata-rata 0,018 Ha, 38 persen tidak
memiliki lahan, dan hanya 4,2 persen yang memiliki lahan 0,5 Ha atau lebih.
Lahan yang sempit tentu tidak mencukupi bagi petani untuk memperoleh tingkat
pendapatan yang layak. Untuk sektor yang lain, bisa terlihat dengan jelas bagaimana
perusahaan atau pengusaha sedang dan besar dengan mudah mendapatkan kredit
dengan agunan hanya nama baik, sementara Usaha Menengah, Koperasi, dan Mikro
(UMKM) setengah mati untuk mendapatkan kredit.
2)
Masih besarnya pekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang
rendah dan tiadanya jaminan
kepastian usaha di masa depan. Tingginya pekerja di sektor informal disebabkan
makin padat modalnya teknologi produksi yang digunakan oleh para pengusaha. Hal
tersebut terlihat dari makin kecilnya kesempatan kerja yang diciptakan oleh
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika dahulu setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi
menyerap 400.000 pekerja baru, kini pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya menyerap
200.000 orang tenaga kerja baru. Hal tersebut terlihat jelas misalnya di
Industri rokok dimana rata-rata pabrik rokok sekarang hanya mempertahankan para
pekerja lama yang rata-rata sudah lanjut usia. Sementara untuk proses produk secara bertahap akan digantikan oleh mesin.
Sebab lain lagi adalah justru tumbuhnya sektor-sektor jasa (yang sering
disebut non-tradable) seperti
perdagangan dan jasa keuangan (bank dan lembaga keuangan lain) yang menyerap sedikit tenaga kerja
melebihi pertumbuhan sektor produksi seperti manufaktur dan pertanian. Kondisi
ini diperparah dengan masih berlakunya sistem alih daya (out sourcing) dalam perekrutan tenaga kerja dimana pengusaha bisa
sewaktu-waktu memecat pekerja.
3) Akibat kesalahan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh kebijakan
pemerintah yang memperburuk distribusi pendapatan adalah pemberian subsidi BBM, listrik dan pupuk. Subsidi BBM listrik dan pupuk yang kian
besar pada umumnya dinikmati oleh sebagian besar penduduk golongan menengah ke atas. Ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi tersebut mempertimpang distribusi pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama,
memperkuat daya ekonomi (daya usaha dan pendapatan) golongan kaya karena
pengeluaran mereka bisa ditekan lewat subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur
kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang sebenarnya bisa untuk program pengentasan
kemiskinan atau program lain yang pro rakyat miskin tetapi salah alokasi untuk
subsidi bagi golongan yang seharusnya tidak menerima.
3.3
Indikator
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Konsep
kesenjangan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Untuk
melihat kesenjangan antar penduduk dalam suatu wilayah, berbagai studi umumnya
menggunakan kurva lorenz dan indek kemerataan distribusi Gini atau Gini Ratio
serta kriteria bank dunia, sementara untuk melihat kesenjangan antar wilayah
berbagai studi lain menggunakan indeks Williamson.
3.3.1
Kurva Lorenz
Kurva Lorenz merupakan salah satu
metode untuk menganalisis pendapatan perorangan. Dimana jumlah penerimaan
pendapatan dinyatakan dalam sumbu horizontal dalam presentase kumulatif.
Sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima
oleh masing-masing presentase kelompok penduduk. Kurva Lorenz memperlihatkan
hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan
persentase pendapatan total yang benar-benar diterima masyarakat selama satu
tahunnya.
Kurva
ini terletak dalam sebuah bujur sangkar yang sumbu horizontalnya menggambarkan
persentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikalnya menggambarkan
persentase kumulatif pendapatan nasional. Garis diagonal yang membagi bujur
sangkar disebut “garis kemerataan sempurna” dimana Kurva Lorenz akan
ditempatkan. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus)
menggambarkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata, sebaliknya
jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung) berarti distribusi
pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata
Gambar 3.1
3.3.2
Koefisien
Gini (Gini Ratio)
Koefisien
Gini (Gini Ratio) adalah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Ide dasar
perhitungan koefisien gini sebenarnya berasal dari upaya pengukuran luas kurva Lorenz yang menggambarkan distribusi
pendapatan untuk seluruh kelompok pendapatan. Guna membentuk koefisien Gini, grafik persentase
kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu
horizontal dan persentase kumulatif pendapatan digambar pada sumbu vertikal.
Gambar
3.2
Pada
Gambar 3.1, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir.
Sedangkan Koefisien Gini atau Gini Ratio adalah rasio (perbandingan)
antara luas bidang A yang diarsir tersebut dengan luas segitiga BCD. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa bila
pendapatan didistribusikan secara merata dengan sempurna, maka semua titik akan
terletak pada garis diagonal. Artinya, daerah yang diarsir akan bernilai nol
karena daerah tersebut sama dengan garis diagonalnya. Dengan demikian angka
koefisiennya sama dengan nol. Sebaliknya, bila hanya satu pihak saja yang
menerima seluruh pendapatan, maka luas daerah yang diarsir akan sama dengan
luas segitiga, sehingga Koefisien Gini bernilai satu.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa suatu distribusi pendapatan dikatakan
makin merata bila nilai Koefisien Gini mendekati nol (0), sedangkan makin tidak
merata suatu distribusi pendapatan maka nilai Koefisien Gini-nya makin
mendekati satu. Rumus yang dipakai untuk menghitung nilai Gini Ratio adalah :
G
=
Gini Ratio
Pi
=
Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i
Qi
=
Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas-i
Qi-1 =
Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i
k = Banyaknya kelas pendapatan
Kriteria
ketimpangan pendapatan berdasarkan Koefisien Gini (Susanti et. al 2007) adalah
sebagai berikut :
·
Lebih kecil dari 0,4 : tingkat ketimpangan rendah
·
Antara 0,4 – 0,5 : tingkat ketimpangan moderat
·
Lebih tinggi dari 0,5 : tingkat ketimpangan tinggi
3.3.3
Kriteria Bank Dunia
Pengukuran
disparitas menggunakan kriteria Bank Dunia dilakukan dengan membagi penduduk
dalam 3 kelompok yaitu :
a)
20 % penduduk berpendapatan tinggi
b)
40 % penduduk berpendapatan sedang
c)
40 % penduduk bependapatan rendah
Kemudian
berdasarkan kriteria ini, ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung
persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40%
terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Sedangkan formula perhitungan yang
dipergunakan adalah sebagai berikut :
Dimana :
YD4 = Presentase pendapatan yang diterima oleh
40% penduduk lapisan bawah
Qi –
1 = Presentase kumulatif pendapatan ke
i-1
Pi = Presentase kumulatif penduduk ke i
qi = Presentase pendapatan ke i
Selain dari sisi pendapatan,
pengukuran ketimpangan berdasarkan kriteria Bank Dunia tersebut juga dapat
dilakukan dengan menggunakan data pengeluaran. Karena data pengeluaran lebih
mudah diperoleh, maka pengukuran ketimpangan menurut kriteria Bank Dunia ini
lebih sering menggunakan data pengeluaran. Namun, pengukuran ketimpangan
pendapatan dengan pendekatan pengeluaran memiliki kelemahan antara lain data
yang disajikan akan under estimate dibandingkan bila data yang
dipergunakan adalah data yang berdasarkan pendapatan. Hal ini disebabkan adanya
sebagian pendapatan yang tidak dibelanjakan dan disimpan sebagai tabungan (saving).
Penyebab lainnya adalah adanya transfer pendapatan. Dalam masyarakat adalah hal
yang lumrah bila seseorang memberikan sebagian pendapatannya sebagai sokongan
kepada orang tua atau saudara yang tidak mampu. Dengan demikian, tingkat
pengeluaran tidak mencerminkan pendapatan yang diperoleh. Masalah lainnya
adalah sering tidak tercatatnya pengeluaran-pengeluaran terutama bagi
masyarakat yang berpendapatan tinggi.
Kategori
ketimpangan yang ditentukan dengan menggunakan kriteria Bank Dunia adalah
sebagai berikut:
a)
Jika proporsi jumlah
pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total
pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12% dikategorikan ketimpangan
pendapatan tinggi;
b)
proporsi jumlah
pendapatan penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total pendapatan
seluruh penduduk antara 12%-17% dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang
atau menengah;
c)
Jika proporsi jumlah
pendapatan penduduk yang masuk kategori 40% terendah terhadap total pendapatan
seluruh penduduk lebih dari 17% dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.
3.3.4
Indeks
Williamson
Indeks
Williamson adalah suatu indeks yang didasarkan pada ukuran penyimpangan
pendapatan perkapita penduduk tiap wilayah dan pendapatan perkapita nasional.
Jadi Indeks Williamson ini merupakan suatu modifikasi dari standar deviasi. Indeks Williamson bernilai
antara 0 - 1. Makin
tinggi Indeks Williamson berarti kesenjangan wilayah semakin besar dan
begitupun sebaliknya semakin rendah Indeks Williamson maka akan semakin rendah
kesenjangan di wilayah tersebut. Selanjutnya Williamson menganalisis hubungan
antara kesenjangan wilayah dengan tingkat perkembangan ekonomi. Williamson
menggunakan indeks ini untuk mengukur tingkat kesenjangan dari berbagai negara
dengan tahun yang relatif sama. Dalam melakukan perhitungan, Williamson
mengunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita serta jumlah penduduk
dari berbagai negara. Hasil perhitungan ini kemudian digabungkan dengan tingkat
perkembangan ekonomi (berdasarkan tingkat PDB) negara-negara tersebut dari
Kuznets. Berdasarkan penggabungan kedua perhitungan tersebut, Williamson
menyatakan bahwa ada hubungan sistematis antara tingkat pembangunan nasional dan
ketidaksamaan regional. Tingkat ketidaksamaan regional adalah sangat tinggi
dalam golongan pendapatan menegah berdasarkan Kuznets, tetapi secara konsisten
lebih rendah apabila kita bergerak ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi.
3.4
Analisis
Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Provinsi Bali
Aktivitas ekonomi di provinsi Bali
tersebar di berbagai Kabupaten dan cenderung terjadi pemusatan-pemusatan
aktivitas. Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan
cenderung mendorong meningkatnya ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dan
mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
3.4.1
Kondisi
Pertumbuhan Ekonomi Bali
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah
satu indikator pembangunan suatu wilayah. Suatu wilayah dikatakan maju
pembangunannya tatkala mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, Provinsi Bali adalah salah satu
wilayah yang bertumpu pada pariwisata. Selama kurun waktu 2014, perekonomian
Bali mampu tumbuh 6,72 persen (Tahun Dasar 2010). Angka ini lebih besar jika
dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya tumbuh 6,69 persen.
Gambar 3.3
Sumber : Bappeda Prov. Bali (Informasi Pembangunan
Daerah Bali Tahun 2014)
Pariwisata adalah
tumpuan perekonomian Bali. Hal ini terbukti dari tingginya kontribusi sektor
ini terhadap total perekonomian Bali. Selama tahun 2014, sektor pariwisata yang
dalam hal ini diwakili oleh kategori penyediaan akomodasi dan makan minum mampu
memberikan kontribusi sebesar 23,08 persen. Kategori kedua yang juga memberikan
kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Bali adalah kategori pertanian
yakni sebesar 14,64 persen.
Gambar 3.4
Sumber : Bappeda Prov.
Bali (Informasi Pembangunan Daerah Bali Tahun 2014)
3.4.2
Kesenjangan
Ekonomi di Provinsi Bali
Tingkat kesenjangan ekonomi yang
terjadi di Bali berkategori sedang, menunjukkan perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi
Bali belum merata. Nilai Indeks Williamson dari tahun 2009-2013 Provinsi Bali
cenderung konstan namun masih berada di bawah rata-rata nasional. Penyebab
kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali apabila dikaitkan dengan struktur
perekonomian adalah persebaran yang tidak merata dari titik-titik destinasi
pariwisata sehingga terdapat ketimpangan yang tidak merata dalam menikmati
keuntungan ekonomi dari aktivitas pariwisata.
Gambar 3.5
Sumber : Bappenas (Perkembangan Pembangunan Provinsi Bali
2014)
Kesenjangan yang ditimbulkan juga
relatif besar antar wilayah yang memiliki sektor pariwisata dengan yang tidak,
terutama untuk wilayah Badung dan Denpasar dibandingkan dengan Kabupaten-Kabupaten
lainnya. Mayoritas sektor pariwisata menyebabkan pertumbuhan ekonomi Badung lebih
tinggi dibandingkan dengan Kabupaten lainnya sehingga seringkali terjadi adanya
alih fungsi lahan pertanian. Sektor pariwisata di Provinsi Bali terkonsentrasi
di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Gianyar sehingga berpengaruh terhadap
tingginya pendapatan perkapita di ketiga daerah tersebut.
Struktur perekonomian juga
mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan. Struktur perekonomian Provinsi
Bali didominasi sektor perdagangan, hotel, restauran yang menyumbang 29,89
persen dalam PDRB, diikuti oleh sektor pertanian dan jasa-jasa (Tabel 3.1)
Tabel
3.1
Struktur PDRB Menurut Lapangan Usaha (2013)
Distribusi
Persentase (%)
|
||||
No.
|
Lapangan
Usaha
|
|||
PDRB
ADHB
|
PDRB
ADHK
|
|||
2000
|
||||
1.
|
Pertanian
|
16,82
|
17,69
|
|
2.
|
Pertambangan
|
0.80
|
0,75
|
Struktur
|
3.
|
Industri
Pengolahan
|
8,72
|
9,85
|
|
4.
|
Listrik,
Gas, Air Minum
|
2,08
|
1,60
|
|
5.
|
Konstruksi
|
5.14
|
4,48
|
|
6.
|
Perdagangan,
Hotel, Restauran
|
29,89
|
32,14
|
|
7.
|
Angkutan,
Telekomunikasi
|
14,25
|
11,08
|
|
8.
|
Keuangan
|
6,74
|
7,31
|
|
9.
|
Jasa-jasa
|
15,56
|
15,08
|
|
100.00
|
100.00
|
Sumber
: Bappenas (Perkembangan
Pembangunan Provinsi Bali 2014)
Sektor perdagangan, hotel, dan restauran juga menjadi
pendorong utama pertumbuhan wilayah di Bali. Perkembangan pariwisata di Bali terlihat pada
meningkatnya pendapatan yang dihasilkan pada sektor perdagangan, hotel, dan restauran, yaitu dalam bentuk
pengeluaran untuk akomodasi, konsumsi makanan, angkutan wisata, dan jasa-jasa lainnya. Peningkatan
jumlah kunjungan wisatawan di Bali menciptakan dampak langsung terhadap sektor
perdagangan, hotel, dan restauran sehingga meningkatkan PDRB wilayah.
Sementara sektor perdagangan, hotel dan restauran masih terkonsentrasi di Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung sehingga hasilnya hanya masih bisa dinikmati oleh
masyarakat dikawasan Denpasar dan Badung.
3.4.3
Distribusi
Pendapatan Menurut Klasifikasi Daerah
Hasil susenas tahun 2013 menunjukkan
bahwa kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali sudah tergolong dalam ketegori
menengah, yaitu terletak pada interval 0,4 dan 0,50 atau lebih tepatnya adalah 0,403 pada tahun
2013.
Tabel
3.2
Gini
Ratio Menurut Klasifikasi Daerah, Provinsi Bali Tahun 2013
Klasifikasi Daerah
|
Gini
Ratio
|
||||
(1)
|
(2)
|
||||
Perkotaan
|
0,408
|
||||
Perdesaan
|
0,335
|
||||
Bali
|
2013
|
0,403
|
|||
2012á´¿
|
0,430
|
||||
2011á´¿
|
0,410
|
||||
Sumber
: BPS (Susenas 2013)
|
Pada Tabel 3.2 terlihat bahwa indeks
gini rasio Provinsi Bali mengalami penurunan dari 0,430 di tahun 2012 menjadi
0,403 di tahun 2013. Jika dibandingkan menurut klasifikasi daerah, kesenjangan
pendapatan di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan didaerah
pedesaan, yaitu sebesar 0,408 untuk indeks gini rasio perkotaan dan 0,335 untuk
pedesaan. Semakin tinggi tingkat gini rasio suatu wilayah mencerminkan semakin
tinggi pula ketimpangan pendapatan yang terjadi di antara penduduk daerah
tersedut. Lebih tingginya nilai indeks gini rasio di perkotaan lebih disebabkan
karena sifat penduduk perkotaan yang lebih majemuk dan beragam, baik dari segi
jenis pekerjaan, status ekonomi, hingga pendapatan yang mereka peroleh.
Berfluktuasinya pendapatan penduduk perkotaan disebabkan adanya rentang
perbedaan pendapatan rendah dengan penduduk berpendapatan tinggi. Kondisi
inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pendapatan di masyarakat
perkotaan.
Presentase pendapatan yang diterima
oleh masing-masing kelompok pendapatan penduduk, sejalan dengan nilai gini
ratio hasil perhitungan menurut kriteria Bank Dunia juga memperlihatkan bahwa
tingkat kesenjangan pendapatan di Provinsi Bali sudah masuk dalam kategori
menengah. Distribusi Pendapatan Provinsi Bali menurut Klasifikasi Daerah dan
Kriteria Bank Dunia di sajikan pada Tabel 3.3
Tabel
3.3
Distribusi
pendapatan Menurut Klasifikasi Daerah Kriteria Bank Dunia Provinsi Bali Tahun 2013
Klasifikasi
Daerah
|
Kelompok
Pendapatan
|
|||
40%
Penduduk Berpendapatan Rendah
|
40%
Penduduk berpendapatan Manengah
|
20%
Penduduk Berpendapatan Tinggi
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
|
Perkotaan
|
15,53
|
37,81
|
46,66
|
|
Pedesaan
|
19,54
|
39,17
|
41,28
|
|
Bali
|
2013
|
16,32
|
36,77
|
46,91
|
2012
|
16, 21
|
35, 67
|
48,11
|
Sumber
: BPS (Susenas 2013)
Berdasarkan Tabel 3.3, pada tahun
2012, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima kurang dari
17 persen jumlah total pendapatan, yaitu sebesar 16,21 persen, sedangkan pada
tahun 2013 menjadi 16,32 persen. Dengan demikian Bali masih berada pada
kategori ketimpangan menengah (pemerataan sedang). Pada tahun 2013 tingkat
pemerataan pendapatan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah
perkotaan, kecuali pada kelompok 20% penduduk berpendapatan tinggi. Dengan kata
lain, ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi daripada dipedesaan
untuk kelompok pendapatan 40 persen penduduk berpendapatan rendah dan 40 persen
penduduk berpendapatan menengah. Hal ini terlihat dari lebih besarnya porsi pendapatan
yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah dan 40 persen
penduduk berpendapatan menengah di perdesaan dibanding di perkotaan. Jumlah
pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah di
perdesaan mencapai 19,54 persen (masuk kategori ketimpangan rendah karena di
atas 17 persen). Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding porsi pendapatan yang
diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah di perkotaan yang hanya
15,53 persen ( masuk kategori sedang). Tingkat
kesenjangan pendapatan menurut klasifikasi daerah Provinsi Bali Tahun 2013 dapat
divisualisasikan melalui Kurva Lorenz seperti Gambar 3.6
Gambar 3.6
Distribusi
Pendapatan menurut Klasifikasi Daerah Provinsi Bali Tahun 2013
Sejalan dengan dua hasil
penghitungan sebelumnya tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan memang
sudah lebih baik dibandingkan daerah perkotaan. Hal ini tercermin dari garis
distribusi pendapatn daerah pedesaan yang lebih mendekati garis diagonal
dibandingkan garis distribusi pendapatan daerah perkotaan.
3.4.4 Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
Meskipun
secara administrasi wilayah Provinsi Bali terbagi menjadi delapan Kabupaten dan
satu Kota, pemerintah sangat mengupayakan
pembangunan dapat berjalan secara merata sehingga diharapkan
hasil-hasilnya pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
sampai ke pelosok daerah.
Secara
umum, gini ratio pada tahun 2013 dan 2014 di masing-masing Kabupaten/Kota lebih
rendah dibanding nilai gini ratio untuk Provinsi Bali yang mencapai 0,403 pada
tahun 2013 dan 0,415 pada tahun 2014. Masih tingginya gini ratio Provinsi
menunjukkan bahwa masih terjadi ketimpangan pendapatan antar Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali. Gini Ratio masing-masing Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 2010
hingga 2014 tersaji pada Tabel 3.4
Tabel 3.4
Gini Ratio Menurut Kabupaten/Kota, Provinsi
Bali Tahun 2010-2014
No.
|
Kabupaten/Kota
|
Gini Rasio
|
||||
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
||
1
|
Jembrana
|
0,2575
|
0,4020
|
0,3706
|
0,3710
|
0,3863
|
2
|
Tabanan
|
0,2596
|
0,3648
|
0,3473
|
0,3862
|
0,4026
|
3
|
Badung
|
0,2864
|
0,3385
|
0,3258
|
0,3468
|
0,3404
|
4
|
Gianyar
|
0,2717
|
0,3279
|
0,3362
|
0,3254
|
0,3774
|
5
|
Klungkung
|
0,2857
|
0,3777
|
0,3473
|
0,3599
|
0,3543
|
6
|
Bangli
|
0,2217
|
0,2678
|
0,3053
|
0,3073
|
0,3285
|
7
|
Karangasem
|
0,2325
|
0,2916
|
0,2877
|
0,3293
|
0,3371
|
8
|
Buleleng
|
0,2557
|
0,3434
|
0,3330
|
0,3755
|
0,3931
|
9
|
Denpasar
|
0,2950
|
0,3399
|
0,4248
|
0,3638
|
0,3809
|
Bali
|
0,37
|
0,41
|
0,43
|
0,403
|
0,415
|
Sumber : BPS Provinsi Bali (Bali Dalam Angka
2015)
Dari
tabel 3.4, pergerakan indeks gini ratio Kabupaten/Kota dari tahun 2010 ke tahun
2014 sangat beragam. Pada tahun 2013 seluruh Kabupaten/Kota berada dalam
tingkat ketimpangan dengan kategori rendah (dibawah 0,4), sedangkan pada tahun
2014 hanya Kabupaten Tabanan yang status ketimpangannya meningkat ke tingkat
ketimpangan kategori sedang (diatas 0,4).
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa makin beragam dan majemuknya kondisi sosial
ekonomi suatu wilayah dapat memberi pengaruh pada terjadinya ketimpangan
pendapatan di wilayah tersebut. Kenaikan gini ratio yang terjadi di Kabupaten Tabanan
menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan di daerah ini. Artinya pemerataan
hasil pembangunan kurang berhasil. Hal ini dapat juga disebabkan karena sangat
bervariasinya peluang/kesempatan untuk meningkatkan pendapatan, mulai dari
kesempatan peningkatan pendapatan yang sangat signifikan maupun kesempatan
peningkatan pendapatan yang tidak signifikan. Gambaran mengenai distribusi
pendapatan Provinsi Bali menurut Kabupaten/Kota disajikan dalam Tabel 3.5.
Tabel 3.5
Distribusi Pendapatan Provinsi Bali Menurut
Kabupaten/Kota
Tahun 2013 dan 2014
No.
|
Kabupaten/ Kota
|
Distribusi Pendapatan
|
|||||
40% penduduk berpendapatan terendah
|
40% penduduk berpendapatan Sedang
|
40% penduduk berpendapatan tinggi
|
|||||
2013
|
2014
|
2013
|
2014
|
2013
|
2014
|
||
1
|
Jembrana
|
19,84
|
18,44
|
33,96
|
34,04
|
46,20
|
47,52
|
2
|
Tabanan
|
17,87
|
17,35
|
35,79
|
35,38
|
46,34
|
47,26
|
3
|
Badung
|
19,29
|
18,64
|
38,45
|
40,73
|
42,26
|
40,64
|
4
|
Gianyar
|
19,95
|
17,87
|
39,42
|
37,88
|
40,62
|
44,25
|
5
|
Klungkung
|
19,15
|
19,98
|
36,10
|
35,51
|
44,75
|
44,51
|
6
|
Bangli
|
21,67
|
20,94
|
38,16
|
37,27
|
40,17
|
41,80
|
7
|
Karangasem
|
20,65
|
20,67
|
36,90
|
35,95
|
42,45
|
43,38
|
8
|
Buleleng
|
18,80
|
17,66
|
35,31
|
35,17
|
45,89
|
47,17
|
9
|
Denpasar
|
17,60
|
16,13
|
39,51
|
40,47
|
42,88
|
43,39
|
Bali
|
16,32
|
15,49
|
36,77
|
36,54
|
46,91
|
47,98
|
Sumber : BPS (Susenas 2013) dan BPS Provinsi Bali (Bali
Dalam Angka 2015)
Terlihat
pada tabel bahwa 40 persen penduduk berpendapatan rendah di seluruh Kabupaten/Kota
pada tahun 2013 rata-rata sudah menerima lebih 17 persen jumlah pendapatan
didaerahnya. Artinya, distribusi pendapatan di wilayah tersebut berada pada
kategori ketimpangan rendah. Sedangkan pada tahun 2014, hanya Kota Denpasar
yang 40 persen penduduk berpendapatan rendah yang rata-rata menerima kurang
dari 17 persen jumlah pendapatan didaerahnya. Hal ini berarti, pada tahun 2014 ketimpangan
distribusi pendapatan di Kota Denpasar meningkat ke kategori sedang. Meskipun
secara rata-rata hampir seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Bali masih dalam
ketegori ketimpangan rendah, namun kondisi ini tetap harus diwaspadai mengingat
nilai persentasenya yang berfluktuasi. Gambaran distribusi pendapatan dengan
kurva lorenz disajikan pada Gambar 3.7 dan Gambar 3.8.
Gambar 3.7
Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Bali Tahun
2013
Gambar 3.8
Distribusi Pendapatan Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi
Bali Tahun 2014
Sejalan
dengan nilai gini ratio dan kriteria Bank Dunia, terlihat bahwa distribusi
pendapatan di Kabupaten Bangli pada tahun 2013 dan 2014 adalah yang paling
mendekati pemerataan dengan ditunjukkan oleh kurva yang paling mendekati garis
diagonal. Jadi persentase distribusi pendapatan daerah di Kabupaten Bangli
untuk 40 % penduduk berpendapatan terendah pada tahun 2013 dan 2014 adalah yang
paling tinggi dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Bali. Secara umum
ketimpangan distribusi pendapatan pada Kabupaten/Kota di Bali pada tahun 2013
dan 2014 secara rata-rata masih masuk dalam kategori rendah dan masih dibawah
ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Bali yang sudah masuk kategori
sedang, dimana dalam gambar juga terlihat bahwa garis distribusi pendapatan
Provinsi Bali adalah yang paling jauh dari garis diagonal.
3.4.5 Kondisi Kemiskinan di Provinsi Bali
Tidak meratanya distribusi
pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari
munculnya masalah kemiskinan. Menurut BPS Provinsi
Bali (2014), daerah perdesaan di Bali pada umumnya memiliki jumlah penduduk
miskin lebih sedikit dibandingkan daerah perkotaan. Pada tahun 2006-2008
selisih ini mencapai dua digit, namun mengalami penurunan pada tahun 2009
mencapai 2,4 ribu. Sejak tahun 2010, kondisi ini terbalik yakni jumlah penduduk
miskin di daerah pedesaan lebih tinggi daripada perkotaan, jumlah penduduk
miskin di perkotaan sejumlah
83,6 ribu sedangkan di perdesaan sejumlah 91,3 ribu. Pada tahun 2014
selisih penduduk miskin daerah perkotaan yang dibandingkan daerah pedesaan menjadi 14,6 ribu.
Berdasarkan daerah tempat tinggal,
pada periode September 2013-Maret 2014, penduduk miskin di daerah perkotaan
mengalami penurunan sebanyak 3,13 ribu orang (0,16 persen) sementara itu di daerah
perdesaan mengalami kenaikan, yaitu sebanyak 5,56 ribu orang (0,34 persen). Berdasarkan
klasifikasi Daerah Tahun 2004 – 2014, jumlah dan persentase penduduk miskin menurut
klasifikasi daerah di Propinsi Bali dapat dilihat Tabel 3.6
Tabel 3.6
Jumlah
dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali
Menurut
Klasifikasi Daerah Tahun 2004 - 2014
Tahun
|
Jumlah Penduduk Miskin (000 jiwa)
|
Persentase Penduduk Miskin
|
||||
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
Maret 2004
|
87
|
144,9
|
231,9
|
5,05
|
8,71
|
6,85
|
Maret 2005
|
105,9
|
122,5
|
228,4
|
5,4
|
8,51
|
6,72
|
Maret 2006
|
127,4
|
116
|
243,5
|
6,4
|
8,03
|
7,08
|
Maret 2007
|
119,8
|
109,3
|
229,1
|
6,01
|
7,47
|
6,63
|
Maret 2008
|
115,1
|
100,6
|
215,7
|
5,7
|
6,81
|
6,17
|
Maret 2009
|
92,1
|
89,7
|
181,7
|
4,5
|
5,98
|
5,13
|
Maret 2010
|
83,6
|
91,3
|
174,9
|
4,04
|
6,02
|
4,88
|
Maret 2011
|
92,7
|
73,1
|
165,8
|
3,91
|
4,65
|
4,2
|
Sept. 2011
|
100,3
|
81,8
|
182,1
|
4,2
|
5,17
|
4,59
|
Maret 2012
|
90,4
|
76,5
|
166,93
|
3,77
|
4,79
|
4,18
|
Sept. 2012
|
92,1
|
66,9
|
158,95
|
3,81
|
4,17
|
3,95
|
Maret 2013
|
94,79
|
65,1
|
159,89
|
3,9
|
4,04
|
3,95
|
Sept. 2013
|
103,03
|
79,74
|
182,77
|
4,17
|
5
|
4,49
|
Maret 2014
|
99,9
|
85,3
|
185,2
|
4,01
|
5,34
|
4,53
|
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2015
Menurut BPS Provinsi Bali (2014),
Beberapa faktor terkait dengan kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin
di Provinsi Bali selama periode September 2013-Maret 2014 adalah :
1) Di
perdesaan Bali pada periode triwulan III 2013 triwulan I 2014 terjadi inflasi
sebesar 1,67 persen. Pada periode yang sama sebenarnya di perkotaan juga
terjadi inflasi. Ini menunjukkan penduduk di perdesaan lebih rentan terkena
dampak inflasi dibanding perkotaan karena kemiskinan di perdesaan naik,
sedangkan di perkotaan malah turun.
2) Terjadinya
kontraksi di sektor pertanian (pertumbuhan negatif) sebesar 1,95 persen pada
periode tersebut (sektor pertanian adalah sektor utama di daerah perdesaan).
3) Terjadi
kenaikan harga eceran beberapa kebutuhan pokok di Bali pada periode tersebut,
seperti beras (0,90%), minyak goreng (4,25%), cabai rawit (71,65%)
Kondisi kemiskinan di masing masing Kabupaten/Kota
di Bali juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan pembangunan di masing-masing
wilayah Kabupaten/ Kota yang juga sangat ditentukan oleh sumber-sumber dan
potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing masing wilayah. Kabupaten/kota yang
kaya sumber atau potensi ekonomi akan memiliki peluang berkembang lebih cepat dibandingkan
Kabupaten/ Kota yang tergolong daerah miskin. Kabupaten Badung memiliki potensi
besar dalam pengembangan kegiatan pariwisata, Kabupaten Gianyar memiliki
potensi dalam kegiatan industri kecil, dan Kabupaten Tabanan memiliki potensi di
sektor pertanian. Sementara itu, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Bangli memiliki sumber
atau potensi ekonomi yang relatif terbatas yang mengakibatkan
terhambatnya laju pertumbuhan ekonomi. Jumlah dan persentase penduduk miskin di
Provinsi Bali menurut Kabupaten/Kota se-Provinsi Bali pada tahun 2011-2013 dapat
dilihat pada Tabel
3.7
Tabel 3.7
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi
Bali
Menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2011 s/d 2013
Kabupaten / Kota
|
Jumlah Penduduk Miskin (000)
|
Persentase Penduduk Miskin
|
|||||
2011
|
2012
|
2013
|
2011
|
2012
|
2013
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
|
1
|
Jembrana
|
17,6
|
15,3
|
14,9
|
6,56
|
5,74
|
5,56
|
2
|
Tabanan
|
24,2
|
21
|
22,5
|
5,62
|
4,9
|
5,21
|
3
|
Badung
|
14,6
|
12,5
|
14,5
|
2,62
|
2,16
|
2,46
|
4
|
Gianyar
|
26
|
22,6
|
20,8
|
5,4
|
4,69
|
4,27
|
5
|
Klungkung
|
10,7
|
9,3
|
12,2
|
6,1
|
5,37
|
7,01
|
6
|
Bangli
|
11,4
|
9,9
|
12
|
5,16
|
4,52
|
5,45
|
7
|
Karangasem
|
26,1
|
22,7
|
27,8
|
6,43
|
5,63
|
6,88
|
8
|
Buleleng
|
37,9
|
33
|
40,3
|
5,93
|
5,19
|
6,31
|
9
|
Denpasar
|
14,5
|
12,7
|
17,6
|
1,79
|
1,52
|
2,07
|
B A L I
|
183,1
|
158,9
|
182,8
|
4,59
|
3,95
|
4,49
|
Sumber : BPS Provinsi Bali,
2015
Tabel
3.7 menggambarkan bahwa persentase penduduk miskin di Provinsi Bali pada tahun
2012 sempat mengalami penurunan sebanyak 0,64% yang semula sebesar 4,59 % pada
tahun 2011 menjadi 3,95 % pada tahun 2012, namun di tahun 2013 presentase
jumlah masyarakat miskin di Provinsi Bali mengalami peningkatan kembali menjadi
4,49 %. Kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk
miskin paling banyak pada tahun 2013 adalah Kabupaten Buleleng sebanyak 40,3
ribu jiwa dan Kabupaten yang memiliki penduduk miskin paling sedikit adalah
Kabupaten Bangli sebanyak 12 ribu jiwa. Sedangkan berdasarkan persentase, Kota
Denpasar memiliki persentase penduduk miskin paling rendah pada tahun 2013
yaitu sebesar 2,07 % dari jumlah penduduknya, dan Kabupaten Klungkung adalah
Kabupaten yang persentase penduduk miskinnya paling tinggi pada tahun 2013
yaitu sebesar 7,01 % dari jumlah
penduduknya.
Pertumbuhan
ekonomi yang tidak merata di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bali merupakan
salah satu penyebab timpangnya tingkat kemiskinan pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali. Kemiskinan bukan merupakan sesuatu yang
berdiri sendiri, sebab ia merupakan akibat dari tidak tercapainya pembangunan
ekonomi yang berlangsung. Dalam hal ini, kemiskinan akan makin bertambah
seiring tidak terjadinya pemerataan pembangunan. Kemiskinan telah menjadi
masalah yang kompleks dan kronis, baik ditingkat nasional maupun regional,
sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan.
3.4.6 Indek
Pembangunan Manusia (IPM)
Sumber
daya manusia yang berkualitas sangat penting dalam mendukung percepatan
pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah. Semakin tinggi kualitas
sumber daya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja, dan
semakin tinggi peluang melahirkan inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan secara
berkelanjutan. Kualitas sumber
daya manusia di Bali yang ditunjukkan melalui nilai IPM relatif meningkat pada
tahun 2013 dibandingkan tahun
2009.
Tabel 3.8
Indeks Pembangunan Manusia dan
Komponennya
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Bali Tahun 2013
Kabupaten / Kota
|
AHH (e0)
|
AMH
|
RLS
|
PPP (Rp 000)
|
IPM
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
|
1
|
Jembrana
|
72,31
|
92,65
|
7,87
|
640,3
|
74,29
|
2
|
Tabanan
|
74,91
|
91,92
|
8,4
|
643,24
|
76,19
|
3
|
Badung
|
72,24
|
93,93
|
9,51
|
648,25
|
76,37
|
4
|
Gianyar
|
72,56
|
89,38
|
8,9
|
647,37
|
75,02
|
5
|
Klungkung
|
69,52
|
84,47
|
7,43
|
661,73
|
72,25
|
6
|
Bangli
|
72,18
|
85,91
|
6,7
|
645,69
|
72,28
|
7
|
Karangasem
|
68,32
|
76,94
|
5,9
|
657,79
|
68,47
|
8
|
Buleleng
|
70
|
90,53
|
7,55
|
643,38
|
72,54
|
9
|
Denpasar
|
73,46
|
97,95
|
11,05
|
652,54
|
79,41
|
B A L I :
|
||||||
2013
|
71,2
|
91,03
|
8,58
|
643,78
|
74,11
|
|
2012
|
70,84
|
90,17
|
8,57
|
640,86
|
73,49
|
|
2011
|
70,78
|
89,17
|
8,35
|
637,86
|
72,84
|
|
2010
|
70,72
|
88,4
|
8,21
|
634,67
|
72,28
|
|
2009
|
70,67
|
87,22
|
7,83
|
632,15
|
71,52
|
|
Keterangan:
|
||||||
AHH =
Angka Harapan Hidup
|
||||||
AMH =
Angka Melek Huruf
|
||||||
RLS =
Rata-rata Lama Sekolah
|
||||||
PPP
= Paritas Daya Beli
|
Sumber : BPS Provinsi Bali
Nilai
IPM Provinsi Bali pada tahun 2013 adalah sebesar 74,11. Pada indikator angka harapan hidup, terjadi perbaikan dari angka 70,67 tahun pada tahun 2009 menjadi 71,2 tahun pada tahun 2013. Rata-rata lama sekolah di
Provinsi Bali meningkat dari 7,83 tahun pada 2009 menjadi 8,58 tahun pada tahun 2013. Sementara itu pada indikator angka melek huruf,
capaian di Provinsi Bali pada tahun 2009 dan 2013 meningkat dari 87,22 menjadi 91,03 persen.
Untuk
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, pada tahun 2013 IPM tertinggi dicapai oleh
Kota Denpasar sebesar 79,41 yang diikuti oleh Kabupaten Badung sebesar 76,37.
Hal ini dapat dimaklumi karena kedua daerah ini merupakan daerah maju diantara
daerah lainnya. Sedangkan IPM terendah pada tahun 2013 disandang oleh Kabupaten
Karangasem yaitu sebesar 68,47.
Tabel 3.9
Angkatan Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan
No.
|
Pendidikan
Tinggi yang Ditamatkan
|
2008
|
2014 Feb
|
Perubahan
|
|
1
|
≤ SD
|
980.619
|
1.004.561
|
23.942
|
|
2
|
SMTP
|
365.369
|
361.433
|
(3.936)
|
|
3
|
SMTA
Umum
|
566.825
|
776.190
|
209.365
|
|
5
|
Diploma
I/II/III/Akademi
|
83.157
|
87.811
|
4.654
|
|
6
|
Universitas
|
103.308
|
180.427
|
77.119
|
|
Total
|
2.099.278
|
2.410.422
|
311.144
|
Sumber : Bappenas
(Perkembangan Pembangunan
Provinsi Bali 2014)
Berdasarkan
Tabel 3.8 Perbaikan kualitas sumber daya manusia juga tercermin dari komposisi
angkatan kerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Apabila dilihat
dari struktur angkatan kerja berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan,
proporsi angkatan kerja dengan ijasah minimal SMA meningkat dari 22,58 persen
pada tahun 2008 menjadi 31,90 persen pada tahun 2014. Perbaikan struktur
angkatan kerja ini perlu terus didorong untuk mendukung transformasi ekonomi daerah
berbasis agroindustri.
3.5 Upaya Pemerintah Provinsi Bali
Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Provinsi Bali
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan
distribusi pendapatan dan kesenjangan wilayah di Provinsi Bali melalui program-program
unggulan dan kebijakan redistribusi pendapatan.
3.5.1
Program-Program
Pemerintah Provinsi Bali Dalam Mengatasi Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Program Pemerintah Provinsi Bali sebagai upaya mengatasi
kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan dan kesenjangan wilayah disebut dengan program BALI MANDARA yakni
“Terwujudnya Bali yang Maju, Aman, Damai dan Sejahtera”. Program
Bali Mandara sesungguhnya merupakan sebuah program yang lahir dari hasil
analisis kritis dan mendalam atas segala problematika yang dialami oleh
masyarakat Bali terkait dengan :
1)
Kemiskinan dan pengangguran;
2)
Mutu layanan pendidikan dan
kesehatan;
3)
Daya saing;
4)
Industri kecil, pariwisata, dan
UMKM;
5)
Pengelolaan lingkungan hidup dan
pelestarian budaya;
6)
Ketentraman, ketertiban,
penanggulangan bencana dan pengamanan;
7)
Infrastruktur; dan
8)
Reformasi birokrasi dan tata
kelola.
Garis-garis
besar permasalahan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terlahirnya
program-program unggulan Bali Mandara. Program
Program unggulan atau prioritas Bali mandara adalah :
1)
Membangun Desa
Secara Berkelanjutan Dengan Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi)
Sistem pertanian terintegrasi adalah upaya terobosan dalam mempercepat
adopsi teknologi pertanian karena merupakan pengembangan model percontohan
dalam percepatan alih teknologi kepada masyarakat perdesaan. Simantri
mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya baik secara
vertikal maupun horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada. Inovasi teknologi yang
diintroduksikan berorientasi untuk menghasilkan produk pertanian organik dengan
pendekatan ”pertanian tekno ekologis”. Kegiatan integrasi yang
dilaksanakan juga berorientasi pada usaha pertanian tanpa limbah
(zero waste) dan menghasilkan 4 F (food, feed, fertilizer dan fuel).
Kegiatan utama adalah mengintegrasikan usaha budidaya tanaman dan ternak, dimana
limbah tanaman diolah untuk pakan ternak dan cadangan pakan pada musim kemarau
dan limbah ternak (faeces, urine) diolah menjadi bio gas, bio urine, pupuk
organik dan bio pestisida. Sasaran kegiatan Simantri adalah Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) pada satu
wilayah Desa, dengan kriteria :
a)
Adalah desa yang memiliki potensi
pertanian dan terdapat komoditi unggulan sebagai titik ungkit.
b)
Terdapat
gapoktan yang mau dan mampu melaksanakan kegiatan terintegrasi.
c)
Prioritas pada
Desa dengan Rumah Tangga Miskin (RTM) > 35%.
2) Jaminan
Kredit Daerah (JAMKRIDA)
Mengatasi
kendala dalam pemenuhan modal bagi UMKM Pemerintah Daerah Provinsi Bali
mendirikan Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (Jamkrida) Bali. Dengan dorongan
dari Bank Indonesia Cabang Denpasar dan dukungan pihak legislatif, maka pada
tanggal 21 Nopember 2010 berdirilah perusahaan penjamin milik masyarakat Bali
dengan nama PT. Jamkrida
Bali Mandara. Pendirian perusahaan PT. Jamkrida Bali Mandara ini diharapkan
mampu mengatasai permasalahan kekurangan modal usaha bagi UMKM yang usahanya
layak namun kesulitan mengakses kredit karena keterbatasan agunan (jaminan fisk
atau collateral).
3) Gerakan
Pembangunan Desa Terpadu Bali Mandara (Gerbangsadu Mandara)
Program ini
dimulai Tahun 2012, untuk mengakselari percepatan penanggulangan kemiskinan,
peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Program
ini bertujuan :
a)
Menumbuhkan kreatifitas masyrakat
dalam pemanfaatan sumber daya alam dan secara bertahap mampu membangun diri
secara mandiri
b) Menyediakan
prasarana dan sarana peningkatan usaha ekonomi
c) Meningkatkan
dan mengembangkan usaha ekonomi mikro untuk mengurangi pengangguran
d) Meningkatkan
kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi
masyarakat
Program ini menyasar
pada desa-desa dengan tingkat kemiskinan di atas 35%. Di Bali terdapat 82 desa
dengan kondisi seperti tersebut. Satu Desa di alokasikan dana pembangunan Rp. 1
milyar dengan kegiatan yang secara umum diarahkan pada :
a)
Penyaluran Kredit dan Pengembangan
Modal BUMDes.
b) Peningkatan
dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Perdesaan
4) Jaminan
Kesehatan Bali Mandara (JKBM)
JKBM adalah jaminan kesehatan yang diberikan kepada
seluruh masyarakat Bali yang belum memiliki jaminan kesehatan seperti Askes,
Jamsostek, Asabri, Askeskin/Jamkesmas atau jaminan kesehatan lainnya. Dengan
tujuan meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat yang meliputi
:
a) Meningkatkan
cakupan masyarakat Bali yang mendapatkan pelayanan kesehatan
b) Meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Bali
c) Pengelolaan
keuangan yang transparan dan akuntabel
5) Program Bedah Rumah
Program bedah rumah merupakan
salah satu upaya untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di Provinsi
Bali, yang bertujuan agar keluarga miskin memiliki rumah yang layak huni,
dan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal.
Program ini diprioritaskan bagi masyarakat yang memenuhi
kriteria antara lain: masuk dalam daftar RTM, status
tanah yang ditempati adalah hak milik, serta rumahnya tidak
layak huni.
6) Program Pendidikan : Beasiswa
dan Pengembangan Sekolah Unggulan
a)
Mengoptimalkan pelaksanaan program
Wajib Belajar 12 Tahun
b)
Memberikan Bea Siswa untuk Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
c)
Memperluas SMA Bali Mandara dengan
Membangun 2 unit SMA Bali Mandara di Luar Kabupaten Buleleng
d) Menambah Program Bea Siswa untuk Fakultas Langka Peminat (Sastra Bali
dan Pertanian)
e)
Menyiapkan Bea Siswa S1 dan
Standar Sertifikasi Kualitas
f)
Membangun Sekolah Luar Biasa (SLB)
dan Boarding School
g)
Melaksanakan program Kartu Pintar
plus Buku Tabungan Bali Mandara untuk Siswa Tidak Mampu
h) Memperbaiki
Sarana dan Prasarana Sekolah
3.5.2 Upaya
Mengatasi Ketimpangan Melalui Mekanisme Kompensasi
Dalam pembangunan wilayah, gejala
adanya ketimpangan seyogyanya perlu diatasi secara memadai. Persoalan
ketimpangan antar wilayah di Provinsi Bali, perlu dilakukan upaya pemerataan
hasil kegiatan pariwisata yang diarahkan untuk mengembangkan destinasi wisata
di luar wilayah Bali Selatan melalui pembangunan jaringan infrastruktur dan
sarana dan prasarana yang lebih mendorong bagi para wisatawan untuk tinggal
(stay)—tidak hanya berkunjung—di wilayah Bali Utara, Barat dan Timur, serta
memberikan ‘insentif‘ bagi para pengusaha lokal untuk mendorong perkembangan
pariwisata di luar wilayah Bali Selatan.
Salah satu pendekatan untuk
mengurangi ketimpangan di antara Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali adalah
dengan mengembangkan suatu kebijakan untuk meredistribusi kekayaan dari hasil
pariwisata di wilayah destinasi wisata yang ‘kaya’ (Kab Badung, Kab Gianyar dan
Kota Denpasar) kepada wilayah di 6 Kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli,
Buleleng, Klungkung dan Karangasem) yang destinasi wisatanya belum berkembang.
Redistribusi tersebut dilakukan melalui mekanisme kompensasi, yang telah
diinisiasi oleh pemerintah daerah Provinsi Bali sejak tahun 2003 dan kemudian
disempurnakan pada tahun 2009.
Mekanisme ‘kompensasi’ dilaksanakan
sejak tahun 2003 dan diatur dalam Keputusan Gubernur Bali No. 16 tahun 2003
tentang Pembagian Bantuan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung dan
Kota Denpasar kepada 6 (enam) Kabupaten Lainnya. Dalam ketentuan tersebut
menetapkan bantuan pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung sebesar 22
persen dan Kota Denpasar sebesar 10 persen dari realisasi setelah dikurangi
upah pungut kepada 6 (enam) kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli, Buleleng,
Klungkung dan Karangasem).
Pengalokasian
pembagian kepada 6 (enam) Kabupaten tersebut ditentukan sebagai berikut : (a)
50 persen (lima puluh persen) secara merata dan (b). 50 persen (lima puluh
persen) secara proposional dengan memperhatikan tingkat PAD, Luas Wilayah, PDRB
perkapita dan jumlah penduduk miskin masing-masing Kabupaten. Rincian pembagian
kepada 6 (enam) Kabupaten sesuai dengan kriteria pada poin (b) adalah sebagai
berikut : (1) Kabupaten Buleleng (18,71 persen); (2) Kabupaten Jembrana (16,77
persen); (3) Kabupaten Tabanan (10,30 persen); (4) Kabupaten Bangli (18,67
persen); (5) Kabupaten Klungkung (16,28 persen) dan (6) Kabupaten Karangasem
(19,27 persen). Penggunaan Dana Bantuan Pajak Hotel dan Restoran sesuai dengan
ketentuan tersebut diprioritaskan untuk pembangunan dibidang pariwisata,
membiayai kegiatan pelestarian budaya, pemeliharaan lingkungan dan membiayai
sektor-sektor unggulan.
Sejak tahun 2003, mekanisme
‘kompensasi’ melalui Bantuan Pajak Hotel dan Restoran ini diterapkan dengan
pola diberikan langsung oleh Badung dan Denpasar kepada 6 Kabupaten tanpa ada
campur tangan Pemerintah Provinsi Bali. Namun setiap tahun selalu terjadi
perdebatan mengenai besarannya, sementara disisi lain Pemerintah Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar merasa dana itu tidak digunakan sesuai tujuanya karena
penggunaannya tidak ada pengawasan (monitoring). Untuk menghindari konflik
lebih lanjut dan mengurangi ketimpangan antar kabupaten dan kota di Bali,
Pemerintah Provinsi Bali mengambil alih pembagian sumbangan Pajak Hotel dan
Restoran (PHR) dari Kabupaten Badung dan Denpasar mulai tahun 2009.
Dalam
kesepakatan yang baru ini, Pemerintah Provinsi Bali menetapkan bahwa 22 pajak
hotel dan restoran Kabupaten Badung dan 10 persen pajak hotel dan restoran Kota
Denpasar disetorkan ke Pemda Provinsi Bali untuk dikelola dan di bagikan kepada
kepada 6 kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli, Buleleng, Klungkung dan
Karangasem). Dari total pajak hotel dan restoran kedua daerah tersebut, 30
persen ditransfer secara merata ke 6 Kabupaten tersebut, sebanyak 20 persen
diberikan ke Pemda Provinsi Bali untuk promosi dan pengamanan dan 50 persen
dibagi lagi secara proposional yang didasarkan pada tingkat pajak hotel dan
restoran, jumlah obyek wisata yang perlu dirawat, jumlah penduduk miskin, luas
wilayah dan tingkat PDRB masing-masing wilayah penerima.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas, maka kesimpulan yang dapat diambil antara lain sebagai
berikut :
1. Distribusi
pendapatan mencerminkan ketimpangan atau meratanya hasil pembangunan suatu
daerah atau negara baik yang diterima masing-masing orang ataupun dari
kepemilikan faktor-faktor produksi dikalangan penduduknya. Masalah utama dalam
distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Konsep
tentang ketimpangan/kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang
perbedaan. Membicarakan perbedaan kekayaan seseorang umumnya terdapat inklinasi
moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral
dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran,
bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu dan sebagainya.
Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
2.
Adelman dan Morris (1973) dalam
Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi
pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu : 1) pertambahan penduduk
yang tinggi; 2) inflasi; 3) ketidakmerataan pembangunan antar daerah; 4)
investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal; 5) rendahnya
mobilitas sosial; 6) pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor; dan 8)
memburuknya nilai tukar. Sebagai salah satu
negara yang berkembang, pembagian atau
distribusi pendapatan di Indonesia juga menunjukkan terjadinya
ketimpangan yang semakin parah, yang menurut Nugroho disebabkan karena : 1) ketimpangan dalam distribusi asset; 2) masih besarnya pekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang
rendah dan tiadanya jaminan
kepastian usaha di masa depan; dan 3) akibat kesalahan kebijakan
pemerintah.
3.
Konsep kesenjangan umumnya
dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Untuk melihat kesenjangan antar
penduduk dalam suatu wilayah, berbagai studi umumnya menggunakan kurva lorenz
dan indek kemerataan distribusi Gini serta kriteria bank dunia, sementara untuk
melihat kesenjangan antar wilayah berbagai studi lain menggunakan indeks
Williamson.
4. Aktivitas ekonomi di provinsi Bali tersebar
di berbagai Kabupaten dan cenderung terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas. Konsentrasi
kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong
meningkatnya ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dan mengakibatkan
terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan dengan analisis sebagai
berikut :
a) Pertumbuhan
ekonomi merupakan salah satu indikator pembangunan suatu wilayah. Provinsi Bali
adalah salah satu wilayah yang bertumpu pada pariwisata. Selama kurun waktu
2014, perekonomian Bali mampu tumbuh 6,72 persen (Tahun Dasar 2010). Angka ini
lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya tumbuh 6,69 persen.
b) Tingkat
kesenjangan ekonomi yang terjadi di Bali berkategori sedang, menunjukkan
perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Bali belum merata. Nilai Indeks
Williamson dari tahun 2009-2013 Provinsi Bali cenderung konstan namun masih
berada di bawah rata-rata nasional. Penyebab kesenjangan ekonomi di Provinsi
Bali apabila dikaitkan dengan struktur perekonomian adalah persebaran yang
tidak merata dari titik-titik destinasi pariwisata sehingga terdapat
ketimpangan yang tidak merata dalam menikmati keuntungan ekonomi dari aktivitas
pariwisata.
c) Hasil
susenas tahun 2013 menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi di Provinsi Bali sudah
tergolong dalam ketegori menengah, yaitu terletak pada interval 0,4 dan
0,50 atau lebih tepatnya adalah 0,403
pada tahun 2013. Menurut klasifikasi daerah, kesenjangan pendapatan di daerah
perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan didaerah pedesaan, yaitu sebesar 0,408
untuk indeks gini rasio perkotaan dan 0,335 untuk pedesaan. Distribusi
Pendapatan Provinsi Bali menurut Klasifikasi Daerah dan Kriteria Bank Dunia
pada tahun 2013 menunjukkan tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan
lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, kecuali pada kelompok 20% penduduk
berpendapatan tinggi.
d)
Masih tingginya gini ratio Provinsi menunjukkan bahwa masih terjadi
ketimpangan pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Pergerakan indeks
gini ratio Kabupaten/Kota dari tahun 2010 ke tahun 2014 sangat beragam. Pada
tahun 2013 seluruh Kabupaten/Kota berada dalam tingkat ketimpangan dengan
kategori rendah (dibawah 0,4), sedangkan pada tahun 2014 hanya Kabupaten
Tabanan yang status ketimpangannya meningkat ke tingkat ketimpangan kategori
sedang (diatas 0,4). Kenaikan gini ratio yang terjadi di Kabupaten Tabanan
menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan di daerah ini. Artinya pemerataan
hasil pembangunan kurang berhasil. Secara umum ketimpangan distribusi
pendapatan pada Kabupaten/Kota di Bali pada tahun 2013 dan 2014 secara
rata-rata masih masuk dalam kategori rendah dan masih dibawah ketimpangan
distribusi pendapatan Provinsi Bali yang sudah masuk kategori sedang.
e) Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya
ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Pada
tahun 2014 selisih penduduk miskin daerah perkotaan yang dibandingkan daerah
pedesaan menjadi 14,6 ribu. Kondisi
kemiskinan di masing masing Kabupaten/Kota di Bali juga sangat dipengaruhi oleh
kemajuan pembangunan di masing-masing wilayah Kabupaten/ Kota yang juga sangat
ditentukan oleh sumber-sumber dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing
masing wilayah.
f) Sumber
daya manusia yang berkualitas juga sangat penting dalam mendukung percepatan
pertumbuhan dan perluasan pembangunan ekonomi daerah. Semakin tinggi kualitas
sumber daya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja, dan
semakin tinggi peluang melahirkan inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan secara
berkelanjutan. Kualitas sumber
daya manusia di Bali yang ditunjukkan melalui nilai IPM relatif meningkat pada
tahun 2013 dibandingkan tahun 2009.
5.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk
mengatasi kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan
dan kesenjangan wilayah
di Provinsi Bali. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai program-program yang
tertuang dalam program Bali Mandara yang terdiri dari : 1) Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi); 2) Jaminan Kredit Daerah
(JAMKRIDA); 3) Program Gerbangsadu Mandara; 4) JKBM; 5) Program Bedah
Rumah; dan 6) Program
Beasiswa dan Pengembangan Sekolah Unggulan. Dan untuk
mengurangi ketimpangan di antara Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali,
dikembangkan suatu kebijakan untuk meredistribusi kekayaan dari hasil
pariwisata di wilayah destinasi wisata yang ‘kaya’ (Kab Badung, Kab Gianyar dan
Kota Denpasar) kepada wilayah di 6 Kabupaten (Tabanan, Jembrana, Bangli,
Buleleng, Klungkung dan Karangasem) yang destinasi wisatanya belum berkembang.
Redistribusi tersebut dilakukan melalui mekanisme kompensasi, yang telah
diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali sejak tahun 2003 dan kemudian
disempurnakan pada tahun 2009.
V. SARAN
1.
Pemerintah daerah dalam
kebijakan pembangunan agar memprioritaskan pemerataan dalam aspek distribusi
pendapatan serta pengalokasian infrastruktur dan investasi pada setiap daerah
secara merata.
2. Pemerintah
dalam programnya disamping mengejar laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
diharapkan pula mampu lebih intensif melaksanakan upaya pemerataan distribusi
pendapatan serta pembangunan manusia.
3.
Memberi apresiasi positif terhadap
program-program dan Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya mengatasi
ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Bali. Secara umum program-program
unggulan Bali Mandara dan kebijakan pembagian PHR Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar sudah sangat bagus sebagai upaya untuk pemerataan distribusi
pendapatan, hanya saja dalam pelaksanaannya diperlukan pengawasan yang lebih baik
dan data yang lebih akurat agar pelaksanaannya menjadi lebih tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Bagian Penerbitan STIE – YKPN
Bank Indonesia Perwakilan Bali. 2015. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional. Denpasar
Bappeda Provinsi Bali. 2014. Informasi Pembangunan Daerah Bali Tahun 2014. Denpasar
Bappenas. 2015.Perkembangan Pembangunan Provinsi Bali 2014. Jakarta
BPS Provinsi Bali. 2015. Bali Dalam Angka 2015.Denpasar
BPS Provinsi Bali. 2015. Tinjauan Perekonomian Bali 2014.Denpasar
De Merta. “Program Bali Mandara : Jawaban Realistis Wacana Ajeg Bali”. http://idemerta.blogspot.com/2014/01/program-bali-mandara-jawaban-realistis.html. diakses tanggal 23 maret 2016
Nugroho.”Penyebab Ketimpangan Distribusi Pendapatan & Cara Mengatasinya”. http://nugroho-sbm.blogspot.co.id/2012/11/penyebab-ketimpangan-distribusi.html, diakses tanggal 23 maret 2016
Savitri, Ayu. 2008. Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial, INPUT. Vol 1: hal, 38-48.
Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik, Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta : Andi
Supriyantoro, G. 2005. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten-Kota di Provinsi Jawa Tengah.(Skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Susanti. 2007. Indikator-Indikator Makroekonomi. Jakarta : Universitas Indonesia
Todaro, Michael P, dan Smith, Stephen C. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga
Wihadanto,Ake dan Firmansyah,Dicky.2013. Mengatasi Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Melalui 'Mekanisme Kompensasi' Di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Provinsi Bali). Makalah Seminar Nasional. Bogor : Institut Pertanian Bogor
www.bali.bps.go.id
www.bi.go.id
www.bps.go.id
Terima kasih. Sangat bermanfaat utk referensi mata kuliah analisis kebijakan publik.
BalasHapus